Sudah lama sekali aku menantikan kelahiran anak pertama dari kakakku. Rasanya tak sabar ingin menjenguk.
“Kapan kita jenguk ke rumah sakit? Bukannya sudah lahiran? Katanya anaknya perempuan, lucu dan imut lagi. Yuk, kita lihat dede bayi,” ajak Mama. Aku dan adik perempuanku yang memang selalu antusias, langsung mengiyakan.
Sebenarnya, ada sedikit perasaan campur aduk dalam diriku. Entah kenapa, di keluarga besarku, jumlah perempuan selalu lebih banyak daripada laki-laki. Aku jadi teringat pengalaman cinta monyetku dulu, masa-masa mencoba merasakan bagaimana rasanya pacaran.
Dulu, saat mengantarkan adik atau kakak sepupuku dengan motor, ada kejadian konyol yang tak terlupakan. Aku bertemu pacarku di lampu merah Metro. Dia sedang berboncengan dengan teman perempuannya, sementara aku membonceng adik sepupuku. Secara fisik, kami memang terlihat seumuran.
Sayangnya, pacarku salah paham. Dia tidak percaya penjelasanku, padahal aku sudah berusaha meyakinkannya. Mungkin karena selama ini dia juga jarang mau main ke rumah dan belum mau dikenalkan pada keluargaku.
Aku kira kejadian di lampu merah itu akan jadi bahan candaan yang bisa mempererat hubungan kami. Tapi ternyata tidak. Dia langsung memasang muka cemberut saat bertemu lagi.
“Kemarin kamu sama siapa?” tanyanya dengan nada ketus.
“Ya sama adik sepupu aku,” jawabku santai.
Dia mendengus. “Masa sih? Kok kayak sebaya?”
“Emang gitu, muka dia emang lebih tuaan dikit,” jawabku jengkel.
Dia masih cemberut. “Aku enggak suka lihat kamu boncengin cewek lain.”
Aku bingung. Aku coba jelaskan lagi, tapi dia tetap tidak percaya. Akhirnya, aku memutuskan untuk membiarkannya salah paham. Tapi tetap saja aku merasa kesal. Kenapa orang suka buru-buru menghakimi? Padahal kan bisa bertanya baik-baik dulu.
Aku jadi kepikiran sepanjang jalan menuju rumah kakakku. Sebenarnya, aku sudah lama memikirkan tentang keluarga. Kalau aku mengikuti nafsu cinta dengan pacaran tapi dia tidak mau dikenalkan pada keluarga, itu sama saja aku bodoh atau dia malu, dan juga belum siap. Mungkin dia takut dan malu dikira aku ingin serius.
Aku lebih takut dikecewakan dan mengecewakannya. Kalau sudah saling mengenal, aku akan merasa tenang dan tahu mana pacar cantikku.
Sesampainya di sana, rumah sudah ramai. Jumlah perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki. Bayi kecil yang katanya imut itu sedang digendong Mama, dikelilingi para tante dan sepupu perempuan yang semuanya sibuk berkomentar:
“Ya ampun, pipinya kayak bakpao!”
“Mirip siapa nih, mirip siapa?”
“Ih, lucu banget, pengen gigit!”
“MIRIP AKULAH, EMANYA AJA SUKA JAIL MULU SAMA AKU,” gumamku dalam hati sambil memakan puding buatan ibu si bayi, duduk di pojokan ruang tamu.
Adikku yang duduk di sebelahku, menyengir. “Gimana? Dedenya mirip aku kan? Ya jelas itu pasti mirip aku imutnya.”
“Apansih pede betdah,” jawabku tersenyum kecut sambil menatapnya.
Adikku cengengesan, sok percaya diri. “Seriusan, lo lihat tuh matanya sipit belo, persis gue waktu bayi!”
Aku melirik dedek bayi yang lagi menggeliat di gendongan Mama. Jujur, matanya memang agak sipit, tapi lebih mirip… “Gue rasa sih, dia lebih mirip ayam baru netes,” ucapku pelan.
Ade kesal sambil menepuk bahuku. “Kurang ajar lu, Bang. Masa bayi dibandingin ayam?” mungkin dia mendengar ucapanku itu.
Aku sedikit tertawa sambil mengunyah puding. Di tengah keramaian tante-tante yang masih sibuk mendebatkan bayi ini lebih mirip Bapak atau Emaknya, tiba-tiba si bayi mengeluarkan suara khasnya—setengah tangisan, setengah protes.
“Waduh, mulai deh,” kata salah satu sepupu.
“Nahkan, nangis.”
“Laper kali tuh.”
Benar saja, Mama buru-buru memberikan bayi itu ke ibunya, sementara suara tangisannya makin kencang. Aku dan adikku saling pandang, lalu buru-buru mengambil makanan lagi sebelum ada yang menyuruh membantu.
“Yuk, cabut dulu ke belakang. Amanin cemilan sebelum keburu kehabisan sama emak-emak rempong,” ucapku.
Adikku langsung setuju. Kami menyelinap ke dapur sambil membawa satu piring puding, berharap bisa menikmati sisa cemilan tanpa harus tertangkap untuk menggendong bayi atau disuruh memijat tante-tante yang capek bergosip.
Setelah berjam-jam kami sekeluarga kecil berkunjung, memberikan kado sederhana untuk bayi tersebut, kami memutuskan untuk berpamitan pulang.
Keesokan harinya, di sekolah, dia masih saja marah kepadaku tentang kejadian membonceng “cewek” waktu itu, yang sebenarnya adalah keluargaku sendiri yang dicemburuinya.
Hubungan kami yang sudah berjalan berbulan-bulan terasa seperti kontrakan yang hanya berdurasi mingguan, bulanan, atau tahunan. Banyak orang bisa seperti itu, tapi aku tidak pernah membuat atau memasang Status WhatsApp mengucapkan “Anniversary”.
Pada kenyataannya, cinta butuh saling memahami satu sama lain, dalam sebuah kepastian. Aku tidak bertahan lama. Hubungan kami putus di tengah jalan. Tidak seperti mereka yang bertahun-tahun berpacaran namun tidak kunjung dilamar.
Lebih baik putus cinta di tengah jalan. Menurutku, itu sudah baik, dan baiklah menerima saja hal itu. Daripada putus sekolah, yang mati di tengah jalan, itu hal yang konyol.
Banyak orang bodoh, bandel, dan nakal dengan membawa otak kosongnya sendiri, patah hati seperti diracuni, yang membunuh jiwa semangatnya sendiri.
Kecemburuan memang hal yang wajar, yang tidak wajar adalah cemburu secara berlebihan.
Jika mendapatkan laki-laki berkarir, meskipun diskusi perusahaan bersama lawan jenis (perempuan), pasti tujuannya adalah rumah. Maupun sebaliknya. Namun, jarang laki-laki atau perempuan yang seperti itu. Tergantung pada tanggung jawab masing-masing dan kemampuan untuk saling memahami.
Pembelajaran Cinta Monyet yang Kandas.
JAKARTA-2019
Ringkasan
Artikel ini menceritakan pengalaman penulis mengunjungi bayi baru lahir dari kakaknya. Penulis merasa ada sedikit perasaan campur aduk dan teringat pengalaman cinta monyetnya dahulu. Pengalaman tersebut mengenai kesalahpahaman pacarnya karena cemburu melihat penulis membonceng adik sepupunya, yang berujung pada pertengkaran dan akhirnya perpisahan.
Penulis kemudian merefleksikan pentingnya saling memahami dalam hubungan dan menyimpulkan bahwa lebih baik putus cinta daripada terus berada dalam ketidakpastian. Penulis menekankan bahwa kecemburuan adalah hal yang wajar, tetapi tidak jika berlebihan, dan yang terpenting adalah tanggung jawab serta kemampuan untuk saling memahami dalam sebuah hubungan.









