News Stream Pro
No Result
View All Result
Tuesday, December 23, 2025
  • Login
  • Home
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Traveling
Subscribe
News Stream Pro
  • Home
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Traveling
No Result
View All Result
News Stream Pro
No Result
View All Result
Home Society Culture And History

PSN Merauke: Suku Malind Anim Terancam Punah?

by demo-nspro
October 30, 2025
in Society Culture And History
0
PSN Merauke: Suku Malind Anim Terancam Punah?
152
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Rencana ambisius pemerintah untuk membuka lahan sawah dan kebun tebu hingga tiga juta hektar di Merauke, Papua Selatan, demi program bioetanol, memicu kekhawatiran mendalam akan terjadinya “etnosida” atau pemusnahan budaya terhadap suku Malind Anim. Suku ini merupakan salah satu kelompok masyarakat adat terbesar di wilayah tersebut dan memiliki keterikatan spiritual yang kuat dengan hutan.

Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mulai menggusur hutan dan lahan rawa sejak 2024 ini terus berjalan, meninggalkan jejak yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan, setidaknya sepuluh perusahaan besar telah mengantongi konsesi lahan seluas 563.661 hektare – area yang delapan kali lebih luas dari Jakarta.

Bagi suku Malind Anim, hutan bukan sekadar sumber daya alam, melainkan “mama” yang menjadi akar identitas mereka. Hutan adalah ruang sakral, tempat asal-usul manusia Malind. Pembongkaran hutan, dengan demikian, dipandang sebagai ancaman langsung terhadap keberadaan mereka.

Proyek pangan dan energi yang digagas sejak era pemerintahan Joko Widodo ini menghidupkan kembali perdebatan di kalangan suku Malind Anim dan para akademisi mengenai pelucutan budaya yang telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda, gelombang transmigrasi, hingga kehadiran perusahaan-perusahaan yang menawarkan modernitas.

“Sejak zaman Belanda, kami, orang Malind Anim, sudah ditindas. Kemudian, saat ada program transmigrasi, tanah kami diambil begitu saja,” ungkap Yakobus Mahuze, seorang tokoh generasi muda Malind Anim.

“Pemerintah seenaknya berkata, ‘Tanah ini milik saya, sudah disertifikatkan, ini keputusan pemerintah.’ Banyak tanah kami yang hilang begitu saja,” keluhnya.

Di tengah situasi yang genting ini, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, menjanjikan pembuatan instrumen kebijakan untuk mengaudit perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam PSN dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar HAM.

Sementara itu, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert K. Barume, melakukan kunjungan ke Jayapura, Papua, pada awal Juli lalu. Kunjungan informal ini, yang bukan atas undangan pemerintah, bertujuan mendengarkan langsung keluhan masyarakat adat di Tanah Papua.

“Saya datang untuk melihat dan mendengar, agar saya bisa terlibat dalam diskusi dengan pemerintah [Indonesia], berdasarkan apa yang saya pahami dan lihat,” kata Barume.

Dalam keterangan resminya, Barume menekankan perlunya keterlibatan pemerintah yang lebih aktif dalam mengimplementasikan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) sebagai instrumen untuk mendamaikan negara dengan masyarakat adat.

Menurut laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), salah satu organisasi yang memfasilitasi acara tersebut, masyarakat mengeluhkan perampasan tanah adat mereka, salah satunya akibat PSN lumbung pangan di Merauke, Papua Selatan.

“Negara telah melakukan kejahatan dengan merampas tanah adat kami. Perampasan ini terjadi di seluruh Tanah Papua, dari Sorong sampai Merauke,” tegas Shinta, seorang warga suku Malind Anim yang menjadi korban PSN, dalam keterangan tertulis.

Natalis M. Kuyaka, seorang pemuda Malind Anim yang tidak hadir dalam acara tersebut, berharap kunjungan Pelapor Khusus PBB dapat menyuarakan keluhan mereka terkait “perampasan, pencaplokan, dan penyerobotan yang dilakukan oleh berbagai korporasi terhadap hak-hak ulayat masyarakat adat.”

“Ini berkaitan dengan keberlangsungan hidup kami orang Papua, khususnya orang asli Malind,” imbuhnya.

Kabupaten Merauke, di Papua Selatan, memang menjadi target utama pemerintah untuk pengembangan area persawahan dan kebun tebu. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, bahkan mengungkapkan bahwa pembukaan lahan di Merauke dapat mencapai tiga juta hektare, dengan dua juta hektare untuk sawah dan satu juta hektare untuk perkebunan tebu.

Luas lahan ini setara dengan lima kali Pulau Bali atau 45 kali luas daratan Jakarta. Proyek yang menjadi bagian dari program Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke ini ditargetkan rampung dalam lima hingga tujuh tahun ke depan.

“Jika kita ingin swasembada [pangan], presiden memerintahkan menterinya, termasuk swasembada energi yang mendasar, tentu ini memerlukan pembukaan lahan baru,” jelas Zulkifli Hasan.

Namun, klaim ini dibantah oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, yang menyatakan bahwa tidak ada deforestasi besar-besaran dalam proyek lumbung pangan di Merauke.

“Kawasan food estate di Papua Selatan itu dimulai dengan 60% lahan kosong. Tidak ada kayu, tidak ada hutan. Maka, deforestasi tidak sebesar itu,” kata adik dari Presiden Prabowo tersebut.

Perubahan Nomenklatur

Baru-baru ini, tepatnya pada 10 September 2025, pemerintah mengubah status PSN Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke, Provinsi Papua Selatan, menjadi Program Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional. Perubahan ini tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian No.16/2025 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Menteri Bidang Perekonomian No.07/2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Upaya konfirmasi telah dilakukan dengan menghubungi pejabat di Kemenko Perekonomian pada Selasa (27/01), namun hingga berita ini diturunkan, belum ada respons.

Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, berpendapat bahwa perubahan nomenklatur ini tidak akan membawa dampak signifikan di lapangan. “Di sana, aktivitas korporasinya masih terus berjalan,” katanya.

Lebih lanjut, Franky menegaskan bahwa perubahan nama tidak akan menyelesaikan persoalan utama, yaitu pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Sebaliknya, proyek ini justru akan diperluas cakupan wilayah dan programnya di Papua Selatan, meliputi Merauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel.

“Jadi, itu artinya diperluas ke seluruh provinsi Papua Selatan,” tambahnya. Perluasan ini akan dibarengi dengan perubahan fungsi kawasan hutan.

Meskipun pemerintah telah mengubah istilah PSN wilayah Merauke menjadi Program Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional, Yayasan Pusaka berpendapat bahwa perubahan ini tidak menyelesaikan persoalan di lapangan. Sebaliknya, program ini justru semakin luas cakupan wilayah dan proyeknya di Papua Selatan.


Di lapangan, rencana ini disambut dengan kecemasan oleh sebagian suku asli yang mendiami Merauke, terutama suku Malind Anim. Kecemasan ini tercermin dari raut wajah Yakobus Mahuze di Kampung Senayu, Distrik Tanah Miring. Tatapannya penuh curiga terhadap orang-orang asing yang datang.

Ayah tiga anak ini mengaku terpaksa melepas 5.000 hektare tanah adatnya bersama marga lain kepada sebuah perusahaan untuk ditebang dan diubah menjadi kebun tebu – bagian dari PSN.

“Karena kami juga berpikir, jangan sampai ada hal-hal buruk yang terjadi pada keluarga kami,” ungkapnya.

Dampak dari pembukaan perkebunan tebu ini sudah terasa. Sumber air yang biasa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari kini keruh karena tercampur tanah dari pembongkaran hutan. Ikan-ikan di rawa dan sungai yang menjadi hewan buruan juga kemungkinan telah menghilang.

Meskipun keluarganya masih memiliki 50.000 hektare hutan adat, Yakobus bersikeras tidak akan memberikan sejengkal tanah pun untuk dibongkar dan dijadikan perkebunan.

“Kalau kita kasih semua, terus binatangnya mau tinggal di mana? Hutan itu kan budaya kami orang Malind, tempat kami mencari nafkah,” tegasnya.

Siapa Suku Malind Anim?

Yakobus Mahuze adalah salah satu generasi terkini suku Malind Anim. Suku ini diperkirakan telah mendiami wilayah Papua bagian selatan selama ribuan tahun. Wilayah adat mereka membentang antara Pulau Kolepom (Pulau Dolok/Yos Sudarso) di sebelah barat, Kali Digul di sebelah utara, dan perbatasan dengan Papua Nugini di sebelah timur.

Suku Malind Anim mendiami daerah aliran Sungai Buraka, Bian, Eli, Kumbe, dan Muting. Secara administratif, wilayah ini masuk dalam Kabupaten Merauke dan tersebar di Distrik Okaba, Merauke, Kimaam, Muting, Anim-ha, dan Naukenjerai.

Di Merauke, populasi suku Malind Anim merupakan yang terbesar dibandingkan suku-suku asli lainnya, seperti suku Yei, Kanum, Mandobo, dan Muyu. Mereka masih mempertahankan sistem klan atau marga yang berpusat pada sistem kepercayaan yang disebut sebagai Dema.

Saat ditanya tentang arti Dema, Yakobus terdiam sejenak dan menurunkan nada bicaranya. “Itu kepercayaan kami sebenarnya. Leluhur kami, moyang kami, yang mereka sebut di sini, Dema itu tuan tanah,” jelasnya.

Ia meyakini bahwa leluhurnya telah mengalihkan hak kepadanya sebagai generasi penerus untuk menjaga tanah. “Kalau kita kasih [tanah pada perusahaan] semua, berarti kita sudah mengkhianati leluhur kami,” tambahnya.

Beberapa orang Malind menggambarkan Dema sebagai roh leluhur, atau sosok (fisik) hewan, tumbuhan atau benda-benda yang belum menjadi manusia.

Kehadirannya diyakini masih ada sampai hari ini, dan menempati hutan, sungai, rawa—apa yang disebut sebagai “tempat-tempat sakral untuk ritual adat”.

Kalangan antropolog masih punya pandangan yang berbeda tentang Dema.

Ada yang menyebutnya sebagai mitologi asal-usul manusia Malind, mencipta dan mengatur, tapi dianggap tak berpengaruh lagi setelah berlalunya masa pendahuluan mitos—beberapa tahun pertama kehidupan manusia hingga kanak-kanak.

Antropolog asal Belanda, Jan Van Baal, mengatakan Dema sebagai makhluk yang hidup di era mitos.

“Biasanya mereka mengambil bentuk manusia, tetapi kadang-kadang berubah menjadi hewan atau muncul berbentuk binatang,” tulisnya dalam tesis berjudul Dema: Description and Analysis of Marind-Anim Culture (1966).

Tak banyak yang bisa menggambarkan Dema secara utuh, bahkan generasi Malind anim saat ini.

Menurut sebuah penelitian, hal ini dikarenakan sejarah Dema sengaja ditutupi para generasi Malind di masa lalu.

Bagaimana pun, kalangan peneliti sepakat Dema adalah nenek moyang dari marga dan sub-marga dan berkaitan dengan totem—benda, tumbuhan atau binatang yang dianggap suci—Malind Anim.

Suku Malind Anim memiliki beberapa marga dan submarga, yaitu Gebze (kelapa), Mahuze (sagu), Kaize (kasuari), Samkakai (walabi), Balagaize (buaya), Basik-Basik (babi), dan Ndiken (burung Ndik).

Kehadiran PSN di Merauke berpengaruh terhadap kemelekatan totem Malind Anim. Musababnya, semua totem ini menggantungkan hidupnya dari alam.

Ketua Forum Masyarakat Adat Malind dan Kondodigun di Merauke, Simon Petrus Balagaize, yang memiliki totem buaya, mengatakan bahwa keberadaan hutan, rawa, dan sungai sangat erat kaitannya dengan hidup dan mati suku mereka.

“Ketika buldoser atau perusahaan menghilangkan hutan dan rawa-rawa, mereka menghilangkan tempat persembunyian [buaya], otomatis dia hilangkan roh saya,” tutur Simon.

“Maka ketika buaya itu habis, roh saya kemudian lambat laun akan menjadi lemah,” tambahnya.

Emiliana Ugahiwag Gebze, Ketua Forum Perempuan Penjaga Hutan Merauke, mewakili suara perempuan Malind Anim. Baginya, hutan adalah “supermarket” mereka, tempat mereka mendapatkan obat-obatan dan bahan pangan lokal. “Hutan adalah segala-galanya bagi kami perempuan,” tegas Emilia.

Hutan Dibongkar, Populasi Orang Asli Papua Menyusut

Paulinus Naki Balagaize, seorang tetua adat Malind Anim berusia 72 tahun dengan totem buaya dan burung garuda, menjelaskan bahwa bagi orang Malind, tanah, pohon, dan hewan-hewan mewakili leluhur mereka, kehidupan, dan diri mereka sendiri.

“Ketika tanahnya hilang, dia terputus dari tali pusar dan tanahnya. Dia sudah tidak punya tujuan hidup lagi,” kata Paulinus.

“Penyambungan tanah ini terjadi karena persatuan antara laki-laki dan perempuan… makanya dianggap sakral karena itu,” tambahnya.

Pastor Pius Cornelius Manu di Merauke menjelaskan bahwa relasi laki-laki dan perempuan Malind Anim dilakukan “di tanah leluhur mereka yang disakralkan”. Hampir seluruh subetnik Malind Anim mengasosiasikan hutan, rawa, dan sungai, yang bagi mereka adalah tempat-tempat sakral, dengan mama, ibu, atau rahim mama.

Namun, tempat-tempat sakral itu semakin terdesak oleh pembangunan, pembalakan liar, pemukiman, dan kehadiran PSN Merauke. Hal ini dikaitkan dengan populasi Malind Anim yang tidak berkembang.

Meskipun data populasi Malind Anim terbaru belum tersedia secara rinci, pada awal abad ke-20, mereka mendominasi wilayah Papua bagian selatan. Pada tahun 1900, diperkirakan jumlah Malind Anim di wilayah pesisir Laut Arafuru antara 8.500 hingga 10.000 jiwa, sedangkan di wilayah pedalaman mencapai 6.000 jiwa.

Namun, sebuah penelitian mengungkap bahwa jumlah suku Malind Anim saat ini hanya sekitar 19% dari seluruh populasi di Kabupaten Merauke. Secara umum, jumlah orang asli Papua juga mengalami penyusutan dalam beberapa dekade terakhir. Di sisi lain, jumlah pendatang melalui transmigrasi atau migrasi spontan meningkat dari 4% di tahun 1970-an menjadi 41% di tahun 2005; sedangkan orang Papua pada periode yang sama dari 96% turun drastis menjadi 59%.

‘Etnosida’

Di tengah proyek yang berdampak pada hutan dan penyusutan populasi, beberapa orang Malind menyinggung kekhawatiran soal “etnosida”—istilah yang pertama kali dikenalkan seorang Yahudi Polandia, Raphael Lemkin (1944) pada era perang dunia II atas kekerasan yang dilakukan Nazi.

Makna etnosida sering kali berkelindan dengan genosida. Namun, menurut PBB, genosida melibatkan tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, baik secara keseluruhan maupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama. Sebaliknya, meskipun etnosida tidak selalu disertai dengan kekerasan fisik, tapi melibatkan bentuk penghancuran yang lebih halus—ditargetkan pada elemen-elemen tak berwujud dari identitas suatu kelompok.

Ini adalah proses yang dapat terjadi secara terbuka, seperti pemindahan paksa anak-anak dari keluarga untuk dibesarkan di lingkungan budaya yang berbeda, dan terselubung, seperti pengikisan bertahap praktik-praktik budaya melalui hukum dan kebijakan. Cara ini kerap digunakan negara-negara Eropa dan Barat mulai abad ke-15 dalam melakukan kolonialisasi di daerah jajahannya, khususnya ditargetkan kepada masyarakat adat.

Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, melihat etnosida merupakan genosida secara perlahan.

“Ketika mereka sudah kehilangan tanahnya, mereka akan tergusur, tidak memiliki akses terhadap hutan, tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan kesehatan dan pekerjaan. Sehingga sama saja membunuh mereka pelan-pelan,” katanya.

Pius Cornelius Manu, pemuka agama yang kritis terhadap proyek pembangunan di Papua, menilai etnosida terhadap Malind Anim bukan sesuatu yang baru. Ini adalah proses yang terus berlangsung. Indikasinya, kata dia, adalah penyusutan hutan karena proyek perkebunan dan cetak sawah dimulai dari era Belanda—yang biasanya diikuti dengan gelombang transmigran, sampai pemekaran wilayah yang membuat orang Papua “baku sepak”.

Di sisi lain, populasi orang asli Papua menyusut dengan kualitas rendah—indeks pembangunan manusia (IPM) menunjukkan hampir seluruh wilayah Papua di bawah rata-rata nasional. “Kalau seandainya orang Melanesia yang merupakan warga negara Indonesia di tanah Papua, kemudian tidak berkembang dan menuju kepunahan, ini dosa negara,” katanya.

Manusia Sejati

Banyak penelitian menunjukkan bahwa jati diri Malind Anim mulai terkoyak sejak kehadiran Belanda di Merauke pada 1902—dengan pembukaan pos di muara Kali Maro. Pada tahun ini juga lahirlah Kota Merauke—yang namanya diambil dari kesalahpahaman pendatang saat bertanya suatu perkampungan kepada warga setempat yang dijawab “Maro-ke” yang artinya “Itu sungai Maro”.

Pendudukan wilayah Merauke oleh Belanda dilatarbelakangi keluhan pemerintah Inggris terhadap kebiasaan mengayau (perburuan kepala manusia) Malind Anim ke wilayah-wilayah hingga Papua Nugini—yang saat itu dikuasai Inggris. Sejumlah literatur menyebutkan bahwa tujuan mengayau bukan memperluas wilayah atau memakan daging manusia, melainkan memperoleh nama dari target yang diserang agar bisa diberikan kepada anak-anak keturunan Malind Anim.

Sasaran yang diserang, sebelum kepalanya ditebas, ditanyakan dulu namanya. Nama ini yang kemudian diberikan kepada keturunan laki-laki mereka. Pendeta asal Belanda, J.P.D Groen, menceritakan bahwa seorang ahli bahasa bernama Pastor Drabbe pernah menemui seorang Malind dengan “nama yang aneh”. Menurut bahasa suku lain, namanya itu berarti “Ibu, tolong saya!”, yang lainnya memiliki nama “Saya mati”.

“[Tapi] sebelum awal abad ke-20 praktik mengayau itu lama-kelamaan mulai ditinggalkan,” tulisnya dalam situs yang merekam sejarah gereja lokal Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia–Papua (GGRI-P).

Jan van Baal, antropolog yang kemudian menjabat Gubernur Nugini Belanda pada 1953, mengatakan bahwa maraknya perburuan kepala manusia oleh Malind Anim kala itu, dimotivasi oleh ketersediaan nama yang sudah habis. Pada saat bersamaan, ada begitu banyak éwati—pejuang Malind anim yang punya hasrat besar bertarung.

Bagaimanapun, analisis antropologis terkait praktik pemburuan kepala di komunitas adat Malind Anim masih terbatas. Dalam perkembangannya, sejumlah antropolog pada era pascakolonial menyebutkan bahwa praktik pemburuan kepala semestinya tidak diinterpretasi dalam sudut pandang tunggal, apalagi diidentikkan dengan masyarakat non-Barat yang terbelakang.

“Kami tidak melihat pemburuan kepala sebagai bentuk ‘peperangan primitif’ pada tahapan evolusi… juga bukan sebagai ekspresi dari ‘sifat agresif manusia’ atau ‘kekerasan tak terelakkan’ dalam masyarakat tanpa negara akibat persaingan memperebutkan sumber daya yang langka,” tulis Janet Hoskins, profesor ilmu antropologi di University of Southern California.

Janet menuliskan pernyataan itu dalam buku berjudul Headhunting and the Social Imagination in Southeast Asia.

Terlepas dari interpretasi praktik pemburuan kepala mereka, istilah Malind Anim diyakini diambil dari perawakan mereka yang tinggi dan berotot serta ketangkasan berburu-bertarung. Kata “anim” berarti manusia. Menurut penuturan keturunan Malind Anim dan sejumlah antropolog, komunitas asli di Papua Selatan ini disebut ditakuti oleh berbagai kelompok lain di sekitar ruang hidup mereka.

Orang-orang Malind Anim menyebut pencapaian identitas diri sebagai Anim-ha (manusia sejati). Sebutan ini adalah representasi kedewasaan seorang Malind dengan kekuatan fisik dan atribut adat yang melekat di tubuh, dan memiliki kekuatan gaib.

Leonardus Moiwend, anggota MRP Merauke menyebut bangsa Malin Anim sebagai Anim-ha. “Karena kamilah di wilayah ini, Papua ini yang menerima matahari duluan, daripada mereka di Sorong dan Jayapura”.

“Matahari itu dia bisa kasih hidup pohon, air bisa jernih, ikan bisa hidup, segala macam bisa hidup,” katanya.

Peneliti Fellow di Centre of Transdisciplinary and Sustainability Science (CTSS) IPB, Laksmi Adriani Savitri, mencatat bahwa dulunya penamaan anak laki-laki Malind terdiri dari tiga bagian: nama pertama berasal dari perburuan kepala, nama kedua diambil dari nama tanah (igih), dan ketiga berasal dari nama marga atau submarga.

Nama pertama ini, ia sebut sudah hilang seiring larangan kebiasaan perburuan kepala oleh misi Katolik dan pemerintah kolonial Belanda periode 1902-1931.

“Tetapi nama kedua tetap ada sebagai tanda asal-usul dan kepemilikan tanah,” tulisnya di Journal of Rural Indonesia (2013).

Pendudukan oleh Belanda

Sebelum mendirikan pos di Merauke, usaha Belanda menduduki wilayah Malind Anim sebenarnya sudah dimulai pada 1891. Salah satunya dengan mendirikan pos di Sarira atau Salerika—daerah pesisir timur. Tapi gagal.

November 1982, kapal “de Zwal” membawa residen Ternate dan Calon Kepala Pos Sarira, van Ahee bersama 10 polisi, 10 pegawai pertanian dan orang narapina untuk membangun rumah berpagar sebagai tempat perlindungan di sana.

Tapi sebulan kemudian, pos ini diserang orang Malind pada malam hari. Sebanyak 10 orang cedera dan seorang tewas, serta semua barang dicuri.

Belanda kembali mengirimkan banyak kapal untuk menemukan titik pos baru. Tapi upaya ini kembali mendapat serangan dari kaum Malind Anim yang menyebabkan tiga perwira kapal tewas.

Aksi balasan dari Belanda terus berlanjut, salah satunya dengan straf expedite (ekspedisi hukuman) pada 1900.

Namun, tak banyak sumber yang menjelaskan dampak serangan ekspedisi ini terhadap bangsa Malind anim.

Singkatnya, pada 1902 setelah pos Belanda berdiri di Merauke, “program peradaban” yang sistematis perlahan menghapus ritual-ritual Malind Anim, hingga ke titik mereka kehilangan budaya. Belanda mengerahkan persenjataan dan hukuman, yang mengubah kebiasaan Malind Anim.

‘Demam Besi’ dan Wabat Penyakit

Jeroen A. Overweel dalam buku The Marind in a Changing Environment (1992), mencatat pengaruh kolonial Belanda di Merauke terhadap Malind Anim dimulai dari transaksi mereka dengan pedagang China atau Indonesia.

Orang Malind biasa menyebut pendatang sebagai pu-anim (“pu” diasosiasikan dengan suara senapan, “anim” berarti manusia).

Sejak berdiri pos Belanda di Merauke, orang Malind mulai menukar kelapa dengan besi. Besi, bagi mereka adalah barang baru, karena secara tradisional, mereka menggunakan batu untuk kerja berat seperti mengolah sagu dan membuat perahu. Dengan besi, kerjaan menjadi lebih mudah. Maka saat itu, terjadilah “demam besi”.

Perkakas logam ini kemudian membuat laki-laki Malind mengalihkan pekerjaan menebang pohon sagu kepada perempuan. Perempuan dianggap bisa mengolah sagu dengan kapak besi karena itu adalah pekerjaan mudah.

“Meskipun tidak disengaja, pengenalan peralatan besi sebagai alat barter untuk kelapa menyebabkan pergeseran dalam pembagian kerja di antara kedua jenis kelamin,” kata Overweel.

Selain perdagangan, kehadiran Misi Katolik Roma juga memengaruhi budaya Malind Anim, dimulai dari kedatangan empat misionaris “Hati Kudus” pertama di Merauke pada 1905. Dari kacamata Barat, bangsa Malind Anim dianggap primitif dan tidak bermoral, sehingga kalangan misionaris membawa sikap khas abad ke-19 yaitu “misi peradaban”.

Pada tahun-tahun pertama, para misionaris lebih banyak digunakan untuk belajar bahasa lokal, sisanya mengobati orang sakit. Dalam prosesnya, ditemukanlah wabah yang dimulai sekitar 1909—belakangan diketahui sebagai penyakit menular seksual granuloma veneris.

Beragam spekulasi muncul tentang asal usul penyakit ini, termasuk yang dikatakan Paulinus Naki Balagaize, sebagai salah satu tetua adat Malind Anim. Ia meyakini penyakit tersebut sengaja disebarkan.

“Karena orang Belanda [saat itu] masih di [kota] Merauke ini saja. Mereka takut jalan ke hutan ke mana-mana, takut pasti kami dibunuh… disebarlah penyakit itu,” katanya. Betapapun, belum ada bukti sejarah tentang klaim ini.

Namun demikian, sebagian besar peneliti meyakini wabah ini berasal dari orang luar. Wabah yang membunuh banyak kaum Malind ini berlangsung tepat setelah Kota Merauke berdiri.

Maaike Derksen, pengajar budaya dan sejarah di Radboud University Nijmegen, menyebut misionaris Katolik memegang peran dalam struktur kolonial yang diterapkan Belanda di wilayah Papua Selatan. Analisis Maaike itu terbit dalam tulisan di Journal of Pacific History tahun 2016.

Bukan cuma menjalankan apa yang mereka klaim sebagai “misi peradaban”, Maaike menyebut misionaris Katolik juga melakukan pasifikasi terhadap orang-orang Malind Anim. Istilah pasifikasi, dalam konteks kolonialisasi, salah satunya didefinisikan sebagai “upaya mengeliminasi masyarakat adat yang dengan cara membangun masyarakat baru di tanah yang dirampas”.

Pada konteks Malind Anim, Maaike Derksen menyebut, “kolaborasi misionaris Katolik dari ordo Kongregasi Misionaris Hati Kudus (MSC) dengan otoritas kolonial Belanda makin intensif pada dekade 1920-an, dalam rangka pasifikasi Nugini Belanda wilayah selatan”.

Salah satu wujud proyek pasifikasi yang disebut Maaike adalah mendirikan “kampung-kampung percontohan” untuk memukimkan komunitas Malind Anim.

Angka kematian akibat wabah di tanah Malind Anim telah memangkas seperempat populasi mereka. Menurut laporan misionaris Okaba pada 1918, populasi Malind di pantai selatan berkurang 40% dalam lima tahun, seperti dikutip dari penelitian Muntaza yang dirilis Sajogja Institute (2013).

Di tengah situasi ini, muncul gagasan mengurangi penyebaran penyakit, dengan mendirikan “Desa Teladan” yang dimulai pada 1913 di Okaba, dan yang kedua pada 1914 di Merauke.

Desa teladan ini bertujuan mencegah penyebaran penyakit dengan membuat rumah-rumah bagi Malind Anim sebagaimana orang Barat: tinggal di rumah keluarga yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya—hal yang bukan menjadi tradisi Malind.

Tradisi Malind Anim adalah mereka memiliki tempat tinggal terpisah antara laki-laki dan perempuan, bahkan saat mereka sudah menjadi ‘suami-istri’.

Untuk mengatasi wabah, rumah sehat juga didirikan. Gunanya, memisahkan mereka yang sakit dan sehat.

Orang-orang Malind mulai diberikan pakaian—yang secara otomatis memaksa mereka melepas atribut adat yang melekat di tubuh.

“Salah satu orang Malind di bagian selatan daratan Merauke, mengingat dan mengisahkan cerita yang diwarisi dari neneknya yang menyaksikan orang Malind menangis terisak-isak ketika atribut adat dilepaskan dari tubuhnya,” tulis Muntaza.

Sebaran penyakit ini juga diperparah dengan wabah influenza yang terjadi pada 1918. Akibatnya, populasi Malind makin berkurang rata-rata 18,5% dalam waktu dua pekan.

Serangan penyakit menular yang membunuh orang Malind Anim ini telah menjadi perhatian para misionaris, karena mereka menganggap suku Malind sudah berada di ambang kepunahan.

Salah satu misionaris yang menaruh perhatian terhadap penyelamatan ini adalah Pastor Vertenten. Ia memulai kampanye dengan menulis artikel Zuid-Nieuw-Guinea sterft uit (Nugini Selatan punah) di koran-koran Hindia Belanda pada 1919 dan 1920.

Pemerintah Belanda kemudian mulai melakukan intervensi dengan penelusuran jenis penyakit hingga pengobatan. Oada 1948, Malind Anim disebut telah terbebas dari penyakit granuloma veneris.

Bagaimana Budaya Malind Anim Memudar?

Menurut Overweel, kehadiran Belanda di tanah Merauke membawa aturan-aturan, termasuk larangan perburuan kepala. Aturan ini secara tidak langsung ikut melenyapkan kebiasaan mereka, terutama laki-laki: berperang.

Dampaknya, laki-laki Malind mengurangi kegiatan membuat persenjataan, dan perahu perang. Pesta yang disertai tari-tarian yang berkaitan dengan mengayau juga semakin dibatasi.

Program ‘desa teladan’ untuk mengurangi wabah penyakit, secara tidak langsung juga melucuti budaya Malind Anim.

Semua pesta adat, dan tarian yang terkait dengan ritual kesuburan dilarang.

Di desa-desa ini kemudian menjadi “pusat peradaban”, tempat sekolah-sekolah misi didirikan.

Program yang diusulkan Pastor Vertenten ini dianggap berhasil karena “penyakit pes menghilang di wilayah pesisir, dan jumlah bayi baru lahir yang sehat kembali meningkat”.

“Namun, dari sudut pandang budaya, program ini benar-benar mengubah masyarakat Malind dengan menyingkirkan aspek-aspek yang memainkan peran penting dalam keseluruhan kompleks sosio-religius, yang terpenting adalah perburuan kepala dan upacara inisiasi dan kesuburan,” kata Overweel.

Kehadiran Korporasi dan Kendali Atas Malind Anim

Laksmi Adriani Savitri dalam bukunya Korporasi dan Politik Perampasan Tanah (2013), menyebut program Desa Teladan sebagai awal penguasaan dan pengendalian tanah Malind anim. Kaum Malind Anim di setiap kampung-kampung kecil yang tersebar, sudah punya tatanan sosial budaya yang mengatur siapa tuan tanah dan siapa yang bukan.

Mereka juga sudah punya aturan siapa yang berhak memanen, menanam, dan mengambil, dan siapa yang tak memiliki hak tersebut. Nama tengah Malind Anim juga merujuk pada asal usul tanah.

“Kalau pada awalnya semua menjadi tuan di tanah sendiri, setelah masa-masa penyatuan kampung, ada yang menjadi ‘penumpang’,” tulis Laksmi.

“Artinya, ia tidak memiliki hak atas tanah yang ditinggali, kecuali hak untuk menjaga yang diberikan oleh si tuan tanah atau tuan dusun.”

Kendali atas tanah Malind Anim berlanjut dengan proyek padi Kumbe Belanda pada 1954, ketika perusahaan swasta asing diberikan konsesi areal seluas 10.000 hektare. Pembukaannya, dimulai 60 hektare di wilayah Kurik sampai Kumbe sebagai percobaan.

Rencana menjadikan Papua bagian selatan sebagai pusat pertanian dan peternakan, tak lepas dari rencana enam negara Barat, yaitu Belanda, Australia, Selandia Baru, Prancis dan Amerika Serikat untuk pengembangan daerah Pasifik Selatan.

Sedari awal, Belanda menanam bukan untuk warga lokal, tapi untuk kebutuhan mereka sendiri, terutama Perang Pasifik.

Saat itu disebut belum ada tenaga kerja dari luar. Oleh karena itu, warga setempat (Muyu dan Malind) dilibatkan sebagai pekerja kasar, seperti membuat polder.

Hasil produksi padi pada 1956 mencapai 32 ton—diangkut dari Kurik ke Merauke. Beras juga dikirim sampai ke Holandia (sekarang Jayapura) dan Biak.

Namun tidak semua hasil sawah memuaskan, karena di beberapa tempat bentuk padi gepeng dan banyak yang hampa. Hal ini karena tanahnya berpasir dan asam.

“Rice estate ini berproduksi mulai dari 1956 sampai 1962, bahkan awalnya direncanakan untuk dikembangkan sampai ke perkebunan tebu,” jelas Laksmi.

“Usaha ini berhenti ketika terjadi peralihan pemerintahan dari Belanda ke Indonesia.”

Pada era orde baru, situs padi Kurik ini berubah menjadi Balai Benih Industri, dengan wilayah kendali penanaman mencakup 60 hektare.

Proyek kolonial Belanda ini lalu dijadikan bukti kejayaan pengusahaan padi berskala luas oleh Bupati Merauke, John Gluba Gebze. Ia kemudian mengajukan konsep Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) pada 2001.

Gayung bersambut, pemerintah pusat kemudian

Ringkasan

Rencana ambisius pemerintah melalui PSN untuk membuka lahan sawah dan kebun tebu di Merauke, Papua Selatan, mengancam keberadaan suku Malind Anim, salah satu kelompok masyarakat adat terbesar di wilayah tersebut. Proyek yang telah menggusur hutan dan lahan rawa sejak 2024 ini, dinilai sebagai ancaman langsung terhadap identitas dan keberlangsungan hidup suku Malind Anim yang memiliki keterikatan spiritual kuat dengan hutan. Data menunjukkan luasnya konsesi lahan telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar.

Suku Malind Anim menganggap hutan sebagai “mama” dan akar identitas mereka, sehingga pembongkaran hutan dipandang sebagai bentuk “etnosida” atau pemusnahan budaya. Meskipun pemerintah telah mengubah nomenklatur PSN, banyak pihak menilai perubahan ini tidak menyelesaikan persoalan utama terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Kecemasan dan kekhawatiran mendalam dirasakan oleh masyarakat adat, khususnya terkait perampasan tanah dan hilangnya sumber daya alam yang menunjang kehidupan mereka.

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Adu Irit SUV: Xpander Cross vs XL7 vs BR-V, Mana Terbaik?

Adu Irit SUV: Xpander Cross vs XL7 vs BR-V, Mana Terbaik?

June 29, 2025
Trump Umumkan Gencatan Senjata Israel-Iran: Kejutan Dunia!

Trump Umumkan Gencatan Senjata Israel-Iran: Kejutan Dunia!

June 24, 2025
Rumput GBK Level Up Lapangan Kampung di Yogya! Hasilnya Bikin Melongo!

Rumput GBK Level Up Lapangan Kampung di Yogya! Hasilnya Bikin Melongo!

May 31, 2025
Gunung Kuda Longsor: Belasan Korban Diduga Tertimbun, Tim SAR Bergerak!

Gunung Kuda Longsor: Belasan Korban Diduga Tertimbun, Tim SAR Bergerak!

May 31, 2025
Harga iPhone 13 Pro & Pro Max Second Juni 2025: Worth It?

Harga iPhone 13 Pro & Pro Max Second Juni 2025: Worth It?

0
Rahasia Makeup Natural Flawless: 6 Tips Mudah untuk Pemula!

Rahasia Makeup Natural Flawless: 6 Tips Mudah untuk Pemula!

0
Deadline Dividen! 34 Emiten Cum Date Minggu Depan, Jangan Ketinggalan!

Deadline Dividen! 34 Emiten Cum Date Minggu Depan, Jangan Ketinggalan!

0
Terungkap! Alasan Malaysia Tolak Undangan Timnas Indonesia dari Erick Thohir

Terungkap! Alasan Malaysia Tolak Undangan Timnas Indonesia dari Erick Thohir

0

VORTELLI’S CAFE ¡Tratar Gratuito Online!

December 23, 2025

Slotomania Aplicación móvil gate777 Slots Tragamonedas Aplicaciones referente a Google Play

December 23, 2025

No-deposit incentive gambling enterprises and you may coupons November 2025

December 23, 2025

Excelentes Casinos Online 2025 Funciona En Camino joviales Dinero Positivo

December 23, 2025

Recent News

VORTELLI’S CAFE ¡Tratar Gratuito Online!

December 23, 2025

Slotomania Aplicación móvil gate777 Slots Tragamonedas Aplicaciones referente a Google Play

December 23, 2025

Categories

  • Arts
  • autos
  • Careers
  • Crime
  • Education And Learning
  • entertainment
  • Family And Relationships
  • Fashion And Style
  • finance
  • Food And Drink
  • Gaming
  • General
  • health
  • Hobbies And Interests
  • Home And Garden
  • Personal Development
  • Pets And Animals
  • politics
  • Public Safety And Emergencies
  • Science
  • Shopping
  • Society Culture And History
  • sports
  • technology
  • travel
  • Uncategorized
  • Urban Infrastructure
  • War And Conflicts
  • Weather

Site Navigation

  • Home
  • Advertisement
  • Contact Us
  • Privacy & Policy
  • Other Links

We bring you the best Auto Generate Content News for WordPress Plugins that perfect for news, etc. Check our landing page for details.

© 2025

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Advertisement
  • Contact Us
  • Homepages
    • Home 1
    • Home 2
    • Home 3
    • Home 4
    • Home 5

© 2025