News Stream Pro
No Result
View All Result
Tuesday, December 23, 2025
  • Login
  • Home
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Traveling
Subscribe
News Stream Pro
  • Home
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Traveling
No Result
View All Result
News Stream Pro
No Result
View All Result
Home Society Culture And History

Misteri Foto Tersembunyi 1965: Pawai PKI dan 2 Jenazah

by demo-nspro
October 14, 2025
in Society Culture And History
0
Misteri Foto Tersembunyi 1965: Pawai PKI dan 2 Jenazah
152
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Peristiwa kelam 1965, sebuah tragedi yang membekas dalam sejarah Indonesia, kini telah memasuki usia 60 tahun. Seiring berjalannya waktu, berbagai penelitian terus bermunculan, berupaya menelisik dan memberikan analisis serta perspektif baru yang menantang narasi tunggal yang selama ini didominasi oleh pemerintah Orde Baru. Dalam sebuah buku terbaru tentang 1965, dua akademisi mengambil langkah serupa, namun dengan pendekatan yang berbeda: melalui kekuatan visual.

Geoffrey Robinson dan Douglas Kammen, dua nama di balik penelitian ini, mengumpulkan ratusan hingga ribuan foto dari rentang waktu awal 1960-an hingga 1970-an. Foto-foto ini akan menjadi inti dari buku mereka yang berjudul Exposed: A Visual History of the Destruction of the Indonesian Left, atau disingkat Exposed.

Bagi Geoffrey Robinson, foto-foto ini adalah “arsip sejarah penting” yang mampu menggambarkan bagaimana dinamika politik dalam negeri berubah menjadi salah satu genosida terburuk di abad ke-20. Ia mengungkapkan, “Buku ini dibuat dengan semangat untuk mengungkap apa yang telah disembunyikan, dan untuk membuka kemungkinan pemahaman sejarah yang lebih mendalam,” sembari menambahkan harapan akan terbukanya jalan bagi keadilan bagi para korban.

Salah satu foto yang terdapat dalam buku tersebut menunjukkan ratusan orang yang ditahan di Kraton Surakarta pada Desember 1965, diduga terkait dengan PKI atau organisasi massa ‘Kiri’ lainnya. Foto lain menampilkan pemandangan serupa, dengan ratusan orang berada di sebuah lapangan di Jawa Tengah, ditangkap oleh militer karena dianggap sebagai bagian dari kelompok Kiri.

Namun, buku ini tidak hanya mendokumentasikan para korban 1965. Geoffrey dan Douglas juga berhasil mengumpulkan foto-foto yang menyingkap elite-elite di pusaran politik saat itu, termasuk tokoh militer, pemimpin PKI, serta Presiden Sukarno. Salah satu foto memperlihatkan Ketua PKI, DN Aidit, yang wajahnya ditutup kain, saat diringkus oleh tentara. Foto ini diduga diambil sebelum Aidit dieksekusi di Jawa Tengah pada akhir 1965.

Douglas Kammen menambahkan bahwa foto-foto yang mereka peroleh merupakan jendela untuk melihat kembali masa lalu, mengungkap apa yang disembunyikan oleh negara dan militer, serta apa yang terungkap secara tidak sengaja melalui foto-foto tersebut.

Visual 1965 yang Minim dan Tidak Lengkap

Ketertarikan Geoffrey Robinson terhadap Peristiwa 1965 berawal pada medio 1970-an, terinspirasi oleh dua senior dan mentornya di Universitas Cornell, Benedict Anderson dan George Kahin. Anderson, bersama Ruth McVey, menulis riset kontroversial tentang penyebab kekacauan 1965, berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia. Riset yang dikenal sebagai ‘Cornell Paper’ ini menuding adanya campur tangan militer di balik peristiwa tersebut dan sempat membuat TNI geram, hingga menyebabkan Anderson dicekal masuk ke Indonesia. Sementara itu, Kahin dikenal melalui bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952) dan pendirian Cornell Modern Indonesia Project (CMIP), yang menjadi wadah bagi penelitian para akademisi luar negeri tentang Indonesia, terutama di bidang politik dan sosial.

Bagi Geoffrey, Indonesia adalah “negara yang indah.” Keindahan itu ia rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di Bali. Namun, di balik keindahan alamnya, Bali menyimpan rahasia, peristiwa buruk yang menimpa masyarakat, yang menggambarkan betapa drastisnya perubahan politik Indonesia saat itu. Rahasia tersebut kemudian ia ungkap dalam bukunya The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali (1995), yang menjelaskan bagaimana politik membentuk wajah Bali, menarik garis sejarah dari masa kolonial Belanda hingga Peristiwa 1965.

Dalam konteks 1965, Geoffrey menulis bahwa “sekitar 5% penduduk Bali yang kurang dari dua juta jiwa [saat itu] menjadi korban pembantaian massal.” Kengerian di Bali, menurutnya, merupakan titik kelam dalam lanskap dunia modern. Sejak saat itu, Geoffrey mencurahkan perhatiannya pada Tragedi 1965 dan Indonesia secara keseluruhan. Ia menilai bahwa daya rusak 1965 sangat besar, setara dengan pembantaian politik global lainnya seperti di Rwanda, Armenia, hingga Kamboja. Diperkirakan, korban 1965 mencapai antara 500.000 hingga 1 juta orang, yang dibunuh, dipenjara, dan dihilangkan secara paksa.

Setelah tumbangnya kediktatoran Soeharto, upaya untuk mengungkap sejelas mungkin Peristiwa 1965 semakin banyak bermunculan, melalui penelitian, publikasi, dan film dokumenter. Namun, Geoffrey merasa masih ada yang kurang. “Bukti visual tentang 1965 sangat minim dan tidak lengkap. Dan ini adalah kelemahan yang, menurut kami, telah berkontribusi pada pengetahuan soal 1965 itu sendiri yang relatif rendah di kalangan umum,” tegasnya. “Di lain sisi, kesalahpahaman atas peristiwa ini juga sering ditemukan.”

Niat untuk menyediakan dimensi “baru” pada Peristiwa 1965 pun melekat di benaknya. Bersama Douglas Kammen, seorang akademisi dan pengajar di National University of Singapore, Geoffrey memulai langkah untuk merealisasikan apa yang dia definisikan sebagai “sejarah visual.”

Proyek Exposed dimulai pada sekitar tahun 2017. Foto-foto diperoleh dari berbagai sumber, termasuk pemerintah, militer, jurnalis lokal dan internasional, media massa, organisasi sipil, hingga seniman. Terdapat tiga linimasa utama yang disorot: sebelum 1965, saat 1965, dan setelah 1965.

Masing-masing sumber foto memiliki karakteristik yang berbeda. Geoffrey mencontohkan foto yang didapatkan dari lemari penyimpanan negara atau militer. Pertama, foto-foto 1965 yang berasal dari TNI umumnya menggambarkan korban sebagai pengkhianat dan tanpa identitas, sementara pelaku—negara, militer, serta organisasi masyarakat (ormas)—di-framing sebagai pahlawan yang mempertahankan hukum dan ketertiban. Kedua, gambar resmi mengenai 1965 hampir tidak pernah memperlihatkan kekerasan yang meluas dan ekstrem oleh pelaku utama, yaitu tentara dan sekutu sipil. Dan ketiga, dalam banyak foto, tentara serta aliansinya berpose dengan sombong, seolah-olah menandai atau memperingati kemenangan yang kelak dinikmati generasi mendatang.

“Sebaliknya, sebagian besar tahanan politik tampak putus asa, lesu, dan kalah. Mungkin karena mereka tidak melihat jalan keluar, atau mungkin karena mereka telah diperingatkan oleh tentara untuk tidak mengungkapkan emosi mereka,” jelas Geoffrey.

Tangkapan Foto 1965: Tahanan yang Dikumpulkan sampai Pawai PKI

Geoffrey menerangkan bahwa salah satu fotografer lokal yang menyumbang banyak foto perihal 1965 adalah Moelyono. Pada 1960-an, Moelyono bekerja di surat kabar Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Saat peristiwa 1965 pecah, Moelyono direkrut militer untuk mengambil foto-foto dalam operasi “penumpasan PKI.”

Hasil tangkapan kamera Moelyono memperlihatkan jenazah dua anak laki-laki yang terbaring tengkurap di lumpur. Foto ini dibuat ketika Moelyono turut dalam rombongan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang tengah menghabisi orang-orang “Kiri” di Jawa Tengah, akhir 1965.

Berpuluh tahun setelah “tugas” itu, Moelyono bercerita kepada antropolog asal AS, Karen Strassler, bahwa tentara memberlakukan batasan ketat terhadap apa yang boleh dia foto dan gambar mana yang akhirnya dipublikasikan. Yang terpenting, menurut Moelyono, kamera tidak boleh memotret kekerasan yang dilakukan tentara. “Moelyono juga diminta untuk tidak menunjukkan wajah anggota PKI atau yang terhubung dengan PKI yang sudah tewas. Sehingga ini cukup membantu menjelaskan posisi aneh dalam foto mayat tersebut,” papar Geoffrey.

Geoffrey dan Douglas mengakui bahwa foto-foto bernuansa kekerasan eksplisit, yang berujung hilangnya nyawa, sangat sedikit mereka temukan. Potret lokasi pembantaian massal juga tidak tersedia. Keadaan ini tercipta karena, sekali lagi, militer memegang penuh kendali atas distribusi informasi pada 1965. Secara garis besar, foto-foto yang dihasilkan pada periode 1965-1967 merupakan representasi bagaimana militer membangun propaganda dengan begitu terstruktur melalui Pusat Penerangan Angkatan Darat. Pesan yang hendak disampaikan ke publik berisikan penegasan betapa bengis dan jahatnya PKI beserta anggota maupun simpatisannya.

“Ada satu foto yang setelah kami telusuri diambil pada [Peristiwa] Madiun 1948, ketika tentara dan PKI berkonflik. Foto korban kekerasan 1948 itu disebarluaskan lagi oleh militer Indonesia untuk membingkai bahwa PKI brutal dan pengkhianat,” Geoffrey memberi tahu BBC News Indonesia.

Sejak awal, Geoffrey melanjutkan, militer sengaja menciptakan narasi palsu tentang orang-orang “PKI.” Dan saat tujuan itu berhasil, dalam arti publik terpengaruh secara emosional, militer seketika merebut ruang yang kosong dengan menanamkan propaganda baru ke ingatan kolektif masyarakat. “PKI itu kejam, dan tentara adalah pahlawan yang menyelamatkan [Indonesia],” tambah Geoffrey.

Walaupun sebagian besar visual ihwal 1965 dimaksudkan untuk mempertebal otoritas militer, Geoffrey dan Douglas berpendapat bahwa foto-foto yang mereka kumpulkan juga memperlihatkan, dengan tidak sengaja, kekerasan sistematis kepada orang-orang yang dituduh PKI.

Sebagai contoh, sebuah foto menunjukkan seorang pejabat militer lokal berbicara di hadapan kerumunan orang di Purwodadi, Jawa Tengah. Orang-orang di dalam foto memegang senjata (bambu runcing) serta dikelilingi tentara yang membawa senapan. Kerumunan tersebut merupakan bagian dari kelompok milisi yang digandeng tentara untuk menumpas orang-orang komunis. Dalam foto lain, ratusan orang ditempatkan di lapangan di satu desa di Jawa Tengah. Mereka dalam posisi duduk, terdiri dari anak kecil dan laki-laki dewasa, dengan anggota milisi lokal yang menenteng bambu runcing berdiri di hadapan mereka. Tidak jauh berbeda, foto lain menggambarkan tahanan dikumpulkan di balai desa di Klaten, Jawa Tengah, diawasi oleh militer dan masyarakat lokal.

“Selain [foto kekerasan dan tahanan] itu, ada satu foto yang benar-benar menarik perhatian saya. Foto pawai PKI di Yogyakarta, yang diambil sebelum [Peristiwa] 1965 [pecah],” ujar Geoffrey. “Dan foto ini juga dapat memberikan semacam refleksi atas propaganda militer terhadap PKI.”

Dalam foto yang dituturkan Geoffrey, yang diambil Moelyono sekitar tahun 1965, sekelompok anak muda terlihat menikmati acara pawai yang diselenggarakan PKI di alun-alun Kraton Yogyakarta. Beberapa mengarahkan pandangan langsung ke arah kamera dan tertangkap mengeluarkan senyum.

Geoffrey menyatakan bahwa tidak semua foto berhasil dikumpulkan, terutama foto penyiksaan tahanan, kekerasan seksual, atau saat korban 1965 diangkut untuk dibantai di suatu lokasi. Namun, sebagai sejarawan, Geoffrey percaya bahwa foto-foto yang dia peroleh bersama Douglas bisa membuka bagian dari masa lalu yang selama ini disembunyikan. Foto-foto tersebut, menurutnya, memberikan analisis mengenai babak penting dalam sejarah kelam yang berjalan relatif singkat, dari 1965 sampai 1967.

“Kami percaya ketika ditempatkan dalam konteks yang tepat dan dengan memperlihatkan kondisi produksinya, baik itu secara politik atau sosial, gambar-gambar ini dapat mengingatkan kita pada hal-hal yang telah diabaikan dalam narasi konvensional,” sebut Geoffrey.

Douglas berharap foto-foto yang disusun dalam Exposed mampu mengisi celah sejarah 1965 yang masih tersedia. Ia menggarisbawahi betapa Exposed diharapkan “menantang narasi resmi yang telah membentuk ingatan sosial masyarakat di Indonesia.” “Kami menginginkan foto dan gambar ini ditempatkan dalam konteks sejarah agar kelak interpretasi baru dapat terbentuk setelah lebih dari setengah abad propaganda pemerintah bergerak [memberi pengaruh] ke masyarakat dan politik, bahkan sampai saat ini,” pungkasnya.

Ringkasan

Buku “Exposed: A Visual History of the Destruction of the Indonesian Left” karya Geoffrey Robinson dan Douglas Kammen menghadirkan ratusan foto dari era 1960-an untuk mengungkap sisi lain tragedi 1965. Foto-foto ini diharapkan memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan menantang narasi tunggal yang didominasi Orde Baru, serta membuka jalan bagi keadilan bagi para korban. Buku ini menyoroti foto-foto tahanan yang dikumpulkan, elite politik, hingga jenazah korban, yang diperoleh dari berbagai sumber termasuk pemerintah, militer, dan jurnalis.

Koleksi foto “Exposed” bertujuan mengisi kekosongan bukti visual terkait peristiwa 1965, yang selama ini minim dan tidak lengkap. Meskipun banyak foto dipengaruhi propaganda militer yang menggambarkan PKI sebagai pihak jahat, buku ini juga menampilkan foto-foto yang secara tidak sengaja menunjukkan kekerasan sistematis terhadap orang-orang yang dituduh terkait PKI. Salah satu contoh foto menarik adalah pawai PKI di Yogyakarta sebelum 1965, yang memberikan refleksi terhadap propaganda militer saat itu, diharapkan mampu memicu interpretasi baru setelah lebih dari setengah abad propaganda pemerintah.

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Adu Irit SUV: Xpander Cross vs XL7 vs BR-V, Mana Terbaik?

Adu Irit SUV: Xpander Cross vs XL7 vs BR-V, Mana Terbaik?

June 29, 2025
Trump Umumkan Gencatan Senjata Israel-Iran: Kejutan Dunia!

Trump Umumkan Gencatan Senjata Israel-Iran: Kejutan Dunia!

June 24, 2025
Rumput GBK Level Up Lapangan Kampung di Yogya! Hasilnya Bikin Melongo!

Rumput GBK Level Up Lapangan Kampung di Yogya! Hasilnya Bikin Melongo!

May 31, 2025
Gunung Kuda Longsor: Belasan Korban Diduga Tertimbun, Tim SAR Bergerak!

Gunung Kuda Longsor: Belasan Korban Diduga Tertimbun, Tim SAR Bergerak!

May 31, 2025
Harga iPhone 13 Pro & Pro Max Second Juni 2025: Worth It?

Harga iPhone 13 Pro & Pro Max Second Juni 2025: Worth It?

0
Rahasia Makeup Natural Flawless: 6 Tips Mudah untuk Pemula!

Rahasia Makeup Natural Flawless: 6 Tips Mudah untuk Pemula!

0
Deadline Dividen! 34 Emiten Cum Date Minggu Depan, Jangan Ketinggalan!

Deadline Dividen! 34 Emiten Cum Date Minggu Depan, Jangan Ketinggalan!

0
Terungkap! Alasan Malaysia Tolak Undangan Timnas Indonesia dari Erick Thohir

Terungkap! Alasan Malaysia Tolak Undangan Timnas Indonesia dari Erick Thohir

0

Finest The newest Internet casino Websites 2025 Real cash and Sweepstakes

December 23, 2025

Máquinas tragamonedas Vive su mejor practica sobre Casino gaming club giros gratis juegos de chiripa

December 23, 2025

Funciona De balde a los wolf run giros sin ranura Novedosas Tragamonedas Online

December 23, 2025

OnlySpins Gambling enterprise: around five-hundred, 2 hundred FS Welcome Bonus 2025

December 23, 2025

Recent News

Finest The newest Internet casino Websites 2025 Real cash and Sweepstakes

December 23, 2025

Máquinas tragamonedas Vive su mejor practica sobre Casino gaming club giros gratis juegos de chiripa

December 23, 2025

Categories

  • Arts
  • autos
  • Careers
  • Crime
  • Education And Learning
  • entertainment
  • Family And Relationships
  • Fashion And Style
  • finance
  • Food And Drink
  • Gaming
  • General
  • health
  • Hobbies And Interests
  • Home And Garden
  • Personal Development
  • Pets And Animals
  • politics
  • Public Safety And Emergencies
  • Science
  • Shopping
  • Society Culture And History
  • sports
  • technology
  • travel
  • Uncategorized
  • Urban Infrastructure
  • War And Conflicts
  • Weather

Site Navigation

  • Home
  • Advertisement
  • Contact Us
  • Privacy & Policy
  • Other Links

We bring you the best Auto Generate Content News for WordPress Plugins that perfect for news, etc. Check our landing page for details.

© 2025

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Advertisement
  • Contact Us
  • Homepages
    • Home 1
    • Home 2
    • Home 3
    • Home 4
    • Home 5

© 2025