KEPALA Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengungkapkan data mengejutkan terkait program makan bergizi gratis (MBG). Sejak diluncurkan pada Januari 2025 hingga 30 September 2025, tercatat 6.517 penerima manfaat MBG mengalami keracunan. Informasi ini disampaikan Dadan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI.
BGN memetakan kasus keracunan MBG ke dalam tiga wilayah: Sumatera (Wilayah I), Pulau Jawa (Wilayah II), dan Indonesia Timur (Wilayah III). Dadan merinci, wilayah I mencatat 1.307 korban keracunan.
“Wilayah II ini sudah bertambah, tidak lagi 4.147, ditambah dengan Garut, mungkin 60 orang, kemudian wilayah III ada 1.003 orang,” jelas Dadan saat rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 1 Oktober 2025. Data awal menunjukkan 4.147 korban di Wilayah II, namun angka ini bertambah setelah kejadian di Garut.
Kasus keracunan paling banyak terjadi di Pulau Jawa (Wilayah II). Dadan menjelaskan, hal ini sejalan dengan pertumbuhan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah tersebut dalam dua bulan terakhir. Lebih lanjut, Dadan menyebutkan bahwa kasus keracunan sudah terdeteksi sejak awal program. “Dan kami sudah mulai mencatat ada kejadian itu di 14 Januari, delapan hari dari pertama kali di-launching itu ada enam orang yang terdeteksi mengalami gangguan kesehatan,” ungkapnya.
Bahkan, kejadian terbaru pada 30 September lalu di SPPG Cihampelas Pasar Rebo menimpa 15 orang yang merupakan satu kelas. Selain itu, kejadian serupa di Kadungora mengakibatkan 30 orang mengalami keracunan.
Peningkatan kasus keracunan dalam dua bulan terakhir menjadi perhatian serius. BGN menemukan bahwa banyak dapur MBG, atau SPPG, yang tidak memenuhi standar operasional yang telah ditetapkan.
“Kita bisa lihat bahwa kasus kejadian banyak terjadi di dua bulan terakhir dan ini berkaitan dengan berbagai hal dan kita bisa identifikasi bahwa kejadian itu rata-rata karena SOP yang yang ditetapkan tidak dipatuhi dengan saksama,” tegas Dadan. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpatuhan terhadap standar operasional prosedur (SOP). Misalnya, banyak dapur yang membeli bahan baku empat hari sebelum makanan dibagikan, padahal seharusnya dua hari sebelumnya.
Selain itu, BGN menemukan pelanggaran terkait jangka waktu antara proses masak hingga pengiriman makanan. SOP menetapkan batas maksimal enam jam, namun kenyataannya, beberapa dapur memasak hingga 12 jam sebelum pengiriman. “Ada (SOP) yang kami tetapkan processing masak sampai delivery tidak lebih dari 6 jam, karena optimalnya di 4 jam, seperti di Bandung itu, ada yang masak dari jam 9 dan kemudian di delivery-nya ada yang sampai jam 12, ada yang 12 jam lebih,” jelas Dadan. Hal ini tentu mempengaruhi kualitas dan keamanan makanan yang disajikan.
Sejak program MBG diluncurkan, BGN mencatat total 75 kasus keracunan. “Terlihat sebaran kasus terjadinya gangguan pencernaan atau kasus di SPPG dari 6 Januari sampai 31 Juli itu tercatat ada kurang lebih 24 kasus kejadian, sementara dari 1 Agustus sampai malam tadi itu ada 51 kasus kejadian,” papar Dadan. Lonjakan signifikan kasus keracunan dalam dua bulan terakhir ini mengindikasikan perlunya evaluasi dan pengawasan yang lebih ketat terhadap implementasi program MBG agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan besar: Kok Bisa Ribuan Dapur MBG Beroperasi tanpa Sertifikat Higiene? Kondisi ini menyoroti pentingnya pengawasan dan penegakan aturan higiene untuk memastikan keamanan pangan bagi penerima manfaat program MBG.
Ringkasan
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan bahwa 6.517 penerima manfaat program makan bergizi gratis (MBG) mengalami keracunan sejak Januari hingga September 2025. Kasus keracunan ini tersebar di tiga wilayah: Sumatera (1.307 kasus), Pulau Jawa (terbanyak), dan Indonesia Timur (1.003 kasus).
Peningkatan kasus keracunan terjadi signifikan dalam dua bulan terakhir dan disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) di banyak dapur MBG. Pelanggaran SOP termasuk pembelian bahan baku terlalu dini dan rentang waktu masak hingga pengiriman yang melebihi batas maksimal enam jam.









