News Stream Pro
No Result
View All Result
Tuesday, December 23, 2025
  • Login
  • Home
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Traveling
Subscribe
News Stream Pro
  • Home
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Traveling
No Result
View All Result
News Stream Pro
No Result
View All Result
Home Urban Infrastructure

Aceh Tamiang Mencekam: Gelap, Penjarahan, dan Bau Bangkai Hantui Kota

by demo-nspro
December 5, 2025
in Urban Infrastructure
0
Aceh Tamiang Mencekam: Gelap, Penjarahan, dan Bau Bangkai Hantui Kota
152
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kabupaten Aceh Tamiang menjadi saksi bisu dahsyatnya amukan banjir bandang dan longsor yang terjadi pada Rabu (26/11) silam. Dampak terparah dirasakan langsung oleh warganya.

Sembilan hari berlalu tanpa sentuhan bantuan, membuat wilayah ini seolah terisolasi dari dunia luar. Air bersih menjadi barang langka, listrik padam, dan jaringan komunikasi lumpuh total, memutuskan harapan warga untuk meminta pertolongan.

Arif, seorang warga Kampung Dalam, Kecamatan Karang Baru, menggambarkan pilunya kondisi wilayahnya seperti “kota zombie”. Pemandangan porak-poranda di mana-mana, diperparah dengan aroma bangkai yang menyengat, menambah kesan mencekam.

Baru pada Kamis (04/12) dini hari, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, berhasil menerobos masuk ke wilayah yang terisolasi ini. Ia membawa 30 ton bantuan sembako, berisi kebutuhan mendesak seperti air minum, beras, mi instan, biskuit, telur, dan obat-obatan.

Pemerintah pusat pun berjanji untuk mempercepat penanganan bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga.

Kisah pilu ini bermula dari hujan deras yang mengguyur Aceh Tamiang sejak Minggu, hingga berlanjut hingga Senin dan Selasa. Arif menuturkan detik-detik sebelum banjir besar menerjang. “Hari Rabu, saya mengantar istri ke kantor, ternyata kantor sudah banjir, selutut,” ungkapnya dengan nada terkejut.

Arif, yang tinggal bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil di Kampung Dalam, merasa relatif aman karena wilayahnya berada di dataran tinggi. Pada 25 November siang, beberapa kolega dan teman istrinya yang tinggal di pusat kota, memohon untuk menumpang sementara di rumahnya, hingga banjir surut. Arif dengan senang hati membuka pintu rumahnya.

Namun, di keheningan dini hari, pintu rumah Arif tiba-tiba digedor tetangga. “‘Bang, bangun… air sudah sampai halaman’. Saya kaget, tidak menyangka air sampai ke rumah kami.” Tanpa berpikir panjang, 15 orang bergegas menyelamatkan diri ke sebuah masjid dua lantai di Kampung Dalam.

Hanya berselang tiga jam, banjir setinggi pinggang orang dewasa telah menggenangi seluruh kota. “Arusnya deras,” cetusnya menggambarkan kekuatan air yang menghantam.

Di dalam masjid, Arif memperkirakan ada sekitar 500 orang, dari anak-anak hingga lansia, termasuk seorang wanita hamil yang akhirnya melahirkan di sana.

Awalnya, Arif berharap masjid menjadi tempat aman dan bantuan akan datang. Namun, tiga hari berlalu tanpa ada pertolongan. Ironisnya, banjir mulai merangsek masuk ke lantai bawah masjid.

“Mungkin sekitar satu meter lagi, banjir sudah masuk ke lantai 2. Bisa dibayangkan, kalau di jalanan berarti banjir setinggi tiga meter,” ucapnya putus asa. “Apalagi di kampung bawah, di pesisir, sampai enam meter.”

Dari balkon masjid, Arif menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana banjir menenggelamkan kota. Rumah-rumah dari kayu dan seng hanyut terseret arus. Sementara itu, anak-anaknya mulai merengek kelaparan.

“Anak-anak saya sudah kehausan, kelaparan, karena di masjid tidak ada sumber air bersih. Jadi kami berebut air minum dan makan,” ujarnya menggambarkan kondisi yang memprihatinkan.

Pada Sabtu (29/11) pagi, Arif dengan nekat menerobos banjir setinggi 1,5 meter. Sambil berenang, ia dan beberapa kawannya kembali ke rumahnya.

“Saya ingat di rumah ada tong [toren] air yang bisa untuk minum anak-anak,” ungkapnya. “Jadi saya isi air ke botol, saya kembali ke masjid.”

Siang harinya, banjir mulai surut hingga sepinggang orang dewasa. Arif dan teman-temannya memberanikan diri pulang ke rumah.

“Karena saya tahu ada stok air di rumah. Saya ajak teman-teman yang lain, 15 orang itu dari masjid untuk ke rumah saja, tidur di atas rumah.”

“Dua malam kami tidur di loteng, karena mau evakuasi kemana pun, enggak bisa. Rumah sakit banjir, chaos semua,” katanya.

Untuk bertahan hidup, Arif mengais-ngais apapun yang tersisa di rumahnya. Beras yang terendam banjir dibersihkan sebisanya. Mi instan dimasak secukupnya. Untungnya, kompor di rumahnya masih berfungsi.

“Itulah kita bertahan hidup pakai itu semua selama dua hari, Sabtu-Minggu,” ucapnya lemas.

Arif, bersama istri dan dua anaknya, berhasil melewati dua fase kritis dalam hidup mereka. Namun, di fase berikutnya, mereka berada di ambang keputusasaan.

“Anak-anak saya mulai menunjukkan fisik yang lemah, batuk, badan gatal-gatal,” ujarnya. Anak sulungnya baru berusia 6 tahun, dan si bungsu 2 tahun.

Arif merasa mereka tidak akan mampu bertahan lebih lama. Situasinya semakin tidak menentu. Sejak banjir, tidak ada satu pun petugas pemerintah daerah yang datang untuk menyelamatkan warga, baik polisi, pemadam kebakaran, SAR, maupun BPBD.

Pada Minggu (30/11), ia menyaksikan penjarahan toko swalayan dan grosir oleh warga yang putus asa. Puluhan orang memaksa masuk untuk mengambil persediaan makanan.

“Penjarahan di mana-mana,” ujarnya. “Padahal sehari sebelumnya, kami masih berusaha membeli makanan. Kami bawa uang untuk membeli sembako yang dipaketkan seharga Rp80.000.”

“Tapi besoknya, orang sudah tidak mau membeli lagi, mereka pada mengambil saja, karena mungkin terlalu mahal bagi masyarakat. Beras 10 kilogram saja harganya Rp250.000,” kata Arif.

Kota itu nyaris seperti kota mati. Tanpa listrik, air bersih, apalagi jaringan telekomunikasi, mereka merasa terperangkap. Seluruh jalan rusak dan tertutup lumpur setebal 50 sentimeter. Sisa-sisa banjir masih menggenang di beberapa tempat. Mobil-mobil terbalik atau tercebur ke parit.

Rumah-rumah warga banyak yang rusak parah: ambruk, atap bolong, tembok miring, pagar jebol, jendela dan pintu copot. Ranting-ranting pohon berserakan di jalan, bercampur dengan barang-barang milik warga yang hancur diterjang banjir.

Yang tak kalah mengerikan, aroma bangkai menyengat di sepanjang jalan. Arif menyaksikan sendiri hewan ternak warga, seperti sapi dan kambing, mati dan tergeletak begitu saja.

“Bau bangkai tercium sekali, mungkin juga di balik reruntuhan ada mayat [manusia], cuma tak nampak, tapi baunya ada,” ujarnya. “Orang-orang pun sudah tidak peduli lagi sama mayat, karena mereka sibuk mencari makanan dan air. Wajah-wajah penuh lumpur, bingung semua.”

“Seperti kota mati, kalau orang bilang kayak kota zombie,” ucapnya pilu.

Saat malam tiba, kota menjadi gelap gulita. Tidak ada yang berani keluar rumah. Namun, saat matahari terbit, warga berhamburan ke jalan. “Tetapi enggak tahu mau ngapain, berharap aja ada makanan,” kata Arif.

Di tengah keputusasaan, muncul secercah harapan. Arif bercerita bahwa suami seorang temannya berhasil mencapai Aceh Tamiang pada Minggu (30/11) sore, dengan tujuan untuk menjemput istrinya.

“Pertanyaan saya, kok bisa bapak ini datang ke Aceh Tamiang padahal jalan terputus,” katanya dalam hati. “Jadi bapak ini bercerita kalau dia jalan kaki dari perbatasan Aceh-Sumut selama tiga hari. Kemudian naik [perahu] ke Kuala Simpang, lalu jalan kaki ke rumah saya.”

Kisah itu menjadi penyemangat bagi Arif untuk keluar dari situasi yang sulit. Ia bertekad membawa anak-anaknya ke Medan, tempat tinggal mertuanya, dengan cara apapun.

Keesokan harinya, ia bersama 15 orang rekannya mencari informasi ke pasar Kuala Simpang yang saat itu sedang kacau balau. Mereka berjalan kaki sejauh dua kilometer.

Di Kuala Simpang, mereka mendapat informasi tentang jalur laut yang bisa ditempuh dengan kapal nelayan ke Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Mereka pun menanyakan ongkos dan segala macamnya.

“Ternyata satu orang dikenakan biaya Rp150.000, padahal kami sama sekali enggak ada uang, mau tarik [uang] di ATM, tidak bisa. Jadi kami memberanikan diri meminjam ke salah satu warga,” ceritanya.

“Kebetulan saya kenal beliau punya usaha apotek, kami pinjam uang sebesar Rp3 juta untuk kami berangkat 15 orang ke Medan.”

Dari Kuala Simpang, mereka naik truk melewati perkebunan sawit sejauh 18 kilometer hingga ke Salahaji, Kabupaten Langkat. Setibanya di sana, mereka naik kapal nelayan ke Pelabuhan Pangkalan Susu selama dua jam.

“Dari situlah sudah ada jaringan [internet], kami mengisi baterai handphone, kami kabari keluarga,” katanya lega.

“Ada satu teman kami yang kakinya tiba-tiba lumpuh sesaat, kayak syok. Jadi kami gendong, dan ternyata dilihat sama babinsa dan polisi. Kami bilang, kami korban banjir.”

“Langsung kami disambut, diberi makan, minum, didatangkan perawat. Baru setelah itu kami diarahkan ke kantor koramil dan dijemput keluarga di sana [ke Medan],” ucapnya penuh haru.

Sementara Arif dan rombongannya memilih jalur laut, Dedy Tanjung memilih jalur darat dari Medan ke Aceh Tamiang untuk menjemput keponakannya yang berusia tujuh tahun.

Ia bersama seorang kerabatnya menempuh perjalanan sejauh 129 kilometer dengan sepeda motor. “Sebetulnya kami juga waswas, tapi kami jemput ke sana, karena kondisinya sudah porak-poranda,” kata Dedy kepada BBC News Indonesia, Kamis (04/12).

Dedy menceritakan perjalanannya yang penuh tantangan. “Saya berangkat hari Selasa jam sembilan malam,” katanya. “Kami berdua pakai motor, boncengan sambil bawa senter, karena enggak ada penerangan.”

Rute yang ditempuh meliputi Binjai, Stabat, Tanjung Pura, Pangkalan Brandan, Balaban, Sungailiput, hingga akhirnya tiba di Kabupaten Aceh Tamiang.

Sepanjang perjalanan, mereka melihat beberapa daerah masih terendam banjir. Jika demikian, mereka terpaksa turun dari motor dan mendorongnya. Untungnya, beberapa ruas jalan Medan-Aceh Tamiang yang sebelumnya tertutup longsor sudah bisa dilalui, meskipun hanya satu jalur.

“Di Tanjung Pura banyak rumah tenggelam. Sepanjang jalan kami lihat rumah-rumah hanyut,” ujar Dedy.

Semakin mendekati Aceh Tamiang, suasana semakin gelap. Dedy berkendara pelan dan berhati-hati, karena jalan dipenuhi lumpur dan air sisa banjir. Total, mereka menghabiskan empat jam di jalan, padahal biasanya hanya tiga jam.

Mereka tiba di Aceh Tamiang pukul 01.00 dini hari. “Terus ada orang yang mengejar kami, ternyata wakil bupati Aceh Tamiang. Dia heran, kok ada orang bawa senter, sementara sudah lima hari enggak ada daya listrik,” ceritanya.

“Kami ceritakan mau ke Desa Babo, di Kecamatan Bandar Pusaka. Dijawab wakil bupati, ‘Loh air [banjir] dari sanalah asalnya, bahaya kali sudah tengah malam.'”

“Akhirnya kami disuruh istirahat di posko polres, besok pagi baru lanjut cari keponakan tadi,” ujar Dedy.

Desa tempat keponakannya tinggal berada di hulu sungai, dengan kontur wilayah berbukit-bukit. Saat banjir menerjang, banyak rumah kayu warga yang terseret arus.

“Malah ada mobil tangki sampai naik ke atas mobil tangki juga. Berarti kan [banjir] cukup besar,” ujarnya. “Dan waktu kami melintas itu memang bau… bau bangkai. Menyengat betul.”

“Mencekam sekali di sana, seperti dihantam tsunami. Kota dipenuhi lumpur, sampah, kayu. Masyarakat juga enggak banyak kelihatan di jalan, enggak tahu kemana mereka,” klaimnya.

Beruntungnya, keponakannya sudah mengungsi ke posko pengungsian. Di sanalah mereka bertemu dalam kondisi memilukan. Si bocah bercerita tentang bagaimana dia dan penduduk desa bertahan hidup dengan makan dan minum seadanya.

“Kami bawa pulang lah, bonceng bertiga di motor.”

“Makanya begitu jumpa rasanya macam ada mukjizat dari Allah. Dia bisa selamat. Karena masyarakat di kampung itu juga banyak yang hilang.”

Di tengah upaya penyelamatan dan evakuasi korban, distribusi bantuan menjadi krusial. Kabupaten Aceh Tamiang, yang terletak di bagian timur Provinsi Aceh, merupakan gerbang utama menuju provinsi tersebut dari Sumatra Utara.

Pascabanjir, kabupaten ini terisolasi karena jembatan yang menghubungkan dengan provinsi Aceh terputus. Satu-satunya akses transportasi adalah melalui Medan, Sumatra Utara, yang sebagian ruasnya tertimbun longsor.

Pada Kamis (04/12), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan bahwa jalur darat untuk bantuan logistik ke Aceh Tamiang sudah dapat ditembus dari Langkat, Sumatra Utara. Jalur darat lain yang mulai pulih adalah akses dari Pidie Jaya ke Aceh Barat dan Aceh Tengah, serta akses dari Banda Aceh, Aceh Barat, Nagan Raya, Gayo Luwes.

Dengan dibukanya jalur darat ini, truk-truk BBM Pertamina mulai masuk ke Aceh Tamiang. Perbaikan jembatan terus dilakukan.

PLN juga telah memasok genset ke Aceh Tamiang. BNPB mengklaim listrik mulai menyala, meskipun terbatas. “Genset juga akan dioptimalkan agar operasional RSUD yang hari ini sudah mulai dibersihkan bisa beroperasi,” kata Abdul Muhari, Juru Bicara BNPB.

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, tiba di Aceh Tamiang pada Kamis (04/12) dini hari. Ia datang bersama rombongan dalam kondisi gelap gulita, karena listrik belum pulih. Ia menyalurkan 30 ton sembako sumbangan dari warga Medan, Sumatra Utara, berisi air minum, beras, mi instan, biskuit, telur, dan obat-obatan. Ia berjanji bahwa distribusi bantuan akan terus berdatangan.

Muzakir Manaf menyampaikan duka dan empati kepada para korban. “Kita sedih dan pilu melihat kondisi ini. Kita harap rakyat Aceh tabah menghadapi cobaan banjir dan longsor,” kata Mualem. “Besok juga ada truk berikutnya. Kami juga buka posko di Medan untuk teman-teman yang ingin menyumbang ke Aceh.”

Berdasarkan data BNPB per Kamis (04/11), korban meninggal dunia di Aceh Tamiang mencapai 42 orang. Namun, warga setempat meyakini jumlahnya lebih tinggi, karena banyak yang dinyatakan hilang. Data BPBD Aceh Tamiang mencatat total korban bencana banjir bandang sebanyak 225.847 jiwa. Sebanyak 56.384 kepala keluarga mengungsi, dengan 215.652 jiwa berada di pengungsian, dan sisanya bertahan di rumah masing-masing atau mengungsi ke rumah keluarga. Secara keseluruhan, korban meninggal di Provinsi Aceh mencapai 471 jiwa, dengan 354 orang hilang, dan 1.900 orang terluka.

Bencana banjir dan longsor di Sumatra, termasuk di Aceh Tamiang, memicu berbagai permasalahan dan menjadi sorotan. Mulai dari penanganan bencana, kondisi pengungsi, hingga dampak lingkungan. Berikut beberapa isu terkait yang juga perlu diperhatikan:

Pemerintah berkeras tidak menetapkan bencana banjir Sumatra sebagai bencana nasional, meskipun setidaknya 776 orang meninggal dunia. Kisah hidup dan mati dari desa di Pidie Jaya, Aceh, yang terkubur lumpur menjadi pengingat akan dahsyatnya bencana ini. Tragedi warga meninggal saat berebut beras bantuan banjir di gudang Bulog Tapanuli Tengah, menekankan pentingnya cadangan pangan. Gelombang penyakit mengancam anak-anak korban banjir Sumatra, di tengah capaian imunisasi dasar yang sangat rendah. Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut menggambarkan perubahan drastis yang terjadi. Krisis air bersih melanda korban banjir Sumatra, menimbulkan pertanyaan apakah air hujan dan sungai aman dikonsumsi. Lima pernyataan dan tindakan pejabat yang dinilai tidak empati kepada korban banjir Sumatra, menunjukkan perlunya empati yang lebih baik. Kesaksian masyarakat di daerah terisolir di Aceh Tengah mengungkapkan bahwa stok sembako hanya cukup untuk dua sampai tiga hari lagi. Penampakan kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir di Sumatra menjadi indikasi masalah lingkungan yang serius. Pengakuan warga Kabupaten Agam, Aceh Tengah dan Tapanuli Tengah yang terisolasi, “Demi makan, kami harus menembus kubangan lumpur.” Masyarakat mendesak Prabowo untuk menetapkan banjir dan longsor di Sumatra sebagai bencana nasional, karena masyarakat sampai menjarah demi bertahan hidup. Kisah pilu seorang anak mencari ibunya yang hilang di tengah banjir bandang Sumbar berakhir dengan kepergian sang ibu. Ribuan orang mengungsi akibat banjir dan longsor di Sumatra Utara, memunculkan pertanyaan apakah penyebabnya adalah perusakan hutan atau cuaca ekstrem. Terakhir, perjuangan seorang ibu dan tiga anaknya lolos dari maut saat banjir melanda Palembayan, Sumbar menjadi cerita yang mengharukan.

Ringkasan

Kabupaten Aceh Tamiang dilanda banjir bandang dan longsor yang menyebabkan kondisi mencekam. Listrik padam, air bersih langka, dan komunikasi terputus, membuat warga terisolasi selama berhari-hari. Seorang warga menggambarkan wilayahnya seperti “kota zombie” dengan pemandangan porak-poranda dan aroma bangkai yang menyengat.

Gubernur Aceh akhirnya tiba dengan membawa 30 ton bantuan sembako. Bantuan ini diharapkan dapat meringankan beban para korban bencana. Banyak warga yang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, serta menghadapi kesulitan mendapatkan makanan dan air bersih. Penjarahan pun terjadi karena keputusasaan.

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Adu Irit SUV: Xpander Cross vs XL7 vs BR-V, Mana Terbaik?

Adu Irit SUV: Xpander Cross vs XL7 vs BR-V, Mana Terbaik?

June 29, 2025
Trump Umumkan Gencatan Senjata Israel-Iran: Kejutan Dunia!

Trump Umumkan Gencatan Senjata Israel-Iran: Kejutan Dunia!

June 24, 2025
Rumput GBK Level Up Lapangan Kampung di Yogya! Hasilnya Bikin Melongo!

Rumput GBK Level Up Lapangan Kampung di Yogya! Hasilnya Bikin Melongo!

May 31, 2025
Gunung Kuda Longsor: Belasan Korban Diduga Tertimbun, Tim SAR Bergerak!

Gunung Kuda Longsor: Belasan Korban Diduga Tertimbun, Tim SAR Bergerak!

May 31, 2025
Harga iPhone 13 Pro & Pro Max Second Juni 2025: Worth It?

Harga iPhone 13 Pro & Pro Max Second Juni 2025: Worth It?

0
Rahasia Makeup Natural Flawless: 6 Tips Mudah untuk Pemula!

Rahasia Makeup Natural Flawless: 6 Tips Mudah untuk Pemula!

0
Deadline Dividen! 34 Emiten Cum Date Minggu Depan, Jangan Ketinggalan!

Deadline Dividen! 34 Emiten Cum Date Minggu Depan, Jangan Ketinggalan!

0
Terungkap! Alasan Malaysia Tolak Undangan Timnas Indonesia dari Erick Thohir

Terungkap! Alasan Malaysia Tolak Undangan Timnas Indonesia dari Erick Thohir

0

Tragaperras Cleopatra: jugar enlos sparta Ranura en línea excelentes casinos 2025

December 23, 2025

FaFaFa Spadegaming Slot Canada Comment Demo and Free Play

December 23, 2025

1win официальный сайт букмекерской конторы 1вин.12831 (2)

December 23, 2025

Thunderstruck II Position Remark & Free Demonstration

December 23, 2025

Recent News

Tragaperras Cleopatra: jugar enlos sparta Ranura en línea excelentes casinos 2025

December 23, 2025

FaFaFa Spadegaming Slot Canada Comment Demo and Free Play

December 23, 2025

Categories

  • Arts
  • autos
  • Careers
  • Crime
  • Education And Learning
  • entertainment
  • Family And Relationships
  • Fashion And Style
  • finance
  • Food And Drink
  • Gaming
  • General
  • health
  • Hobbies And Interests
  • Home And Garden
  • Personal Development
  • Pets And Animals
  • politics
  • Public Safety And Emergencies
  • Science
  • Shopping
  • Society Culture And History
  • sports
  • technology
  • travel
  • Uncategorized
  • Urban Infrastructure
  • War And Conflicts
  • Weather

Site Navigation

  • Home
  • Advertisement
  • Contact Us
  • Privacy & Policy
  • Other Links

We bring you the best Auto Generate Content News for WordPress Plugins that perfect for news, etc. Check our landing page for details.

© 2025

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Advertisement
  • Contact Us
  • Homepages
    • Home 1
    • Home 2
    • Home 3
    • Home 4
    • Home 5

© 2025