Ponsel pintar zaman sekarang jauh lebih kuat. Ini memunculkan tren baru: kelompok ‘pemberani’ yang ogah pakai casing. Bagi mereka, “casing itu buat para pengecut!”
Selama sebulan, saya mencoba bergabung dengan kelompok ini. Melepas casing dari ponsel kesayangan, menghubungi para ahli, dan mempersiapkan diri kalau-kalau layar ponsel saya bernasib tragis.
Beberapa waktu lalu, saya membeli iPhone terbaru di Apple Store. Setelah menimbang-nimbang, seorang penjual menyebutkan harganya: US$1.119, atau sekitar Rp19,7 juta.
Dia tertawa kecil saat saya bergumam bahwa harga itu hampir sama dengan sewa apartemen saya sebulan. “Gila, ya?” ujarnya.
Meski harganya bikin dompet menjerit, banyak orang terlihat santai menenteng ponsel mereka tanpa pelindung. Tanpa casing, tanpa pelindung layar.
Ponsel mereka berkilauan, dengan bingkai titanium dan layar kaca yang mulus. Mereka dengan tenangnya menggunakan ponsel itu di atas lantai keramik atau jalanan beton yang keras.
Apakah hanya saya yang dihantui ketakutan akan layar retak dan bodi lecet setiap kali ponsel itu terancam jatuh? Atau, apakah ini hanya paranoia saya saja?
“Sudahlah, rasakan saja sendiri betapa kuatnya ponsel ini,” kata seorang teman beberapa minggu kemudian. Dia bangga menjadi bagian dari kelompok anti-casing.
Dia menyerahkan iPhone-nya. Jujur, ponsel itu tampak jauh lebih elegan tanpa casing. Lebih enak digenggam.
“Sekarang ponsel dibuat lebih tahan banting. Saya sering menjatuhkannya, tapi aman-aman saja,” lanjutnya.
Dari obrolan dengan produsen layar ponsel dan orang-orang yang dibayar untuk merusak ponsel (demi ilmu pengetahuan, tentu saja), sepertinya teman saya ada benarnya.
Para ahli sepakat: ponsel pintar modern jauh lebih tangguh dari generasi sebelumnya.
Tapi, hampir semua orang yang saya kenal justru menggunakan casing.
Jadi, siapa yang aneh di sini? Saya memutuskan untuk mencari tahu.
Sesampainya di rumah, saya langsung melepas casing ponsel saya, menyimpannya dalam laci, dan berkomitmen menjalani gaya hidup tanpa pelindung selama sebulan penuh.
Saya menawarkan ide cerita ini ke editor saya. Dia tertarik, tapi mengingatkan bahwa BBC tidak akan menanggung biaya perbaikan jika eksperimen saya berakhir tragis.
Semoga saya selamat.
Layar Retak: Simbol Status?
Ada anggapan bahwa ponsel tanpa casing sudah menjadi semacam simbol status. Sebuah pernyataan bahwa pemiliknya percaya diri dan berkelas.
Saya perhatikan, para eksekutif teknologi dan pengusaha yang saya wawancarai jarang sekali menggunakan pelindung ponsel.
“Mungkin Anda berpikir, ‘Ah, dia mampu mengganti ponselnya kalau rusak’,” kata Yousef Ali, CEO Blast Radio, sebuah platform audio untuk para DJ.
Tapi, bagi Ali, ini bukan soal pamer. Dia memang tidak pernah memakai casing.
“Menurut saya, membeli perangkat mewah puluhan juta yang desain dan materialnya sangat diperhatikan, lalu menutupinya dengan casing plastik, itu tindakan yang tidak masuk akal,” jelasnya.
Ali menyamakannya dengan memasang penutup vinil pada sofa mahal untuk melindungi kainnya.
“Saya juga punya celana mahal. Apakah saya harus memakai celana dobel untuk melindunginya?” tanyanya.
Jujur saja, minggu pertama tanpa casing tidak membuat saya merasa keren. Justru sebaliknya: seperti mengundang bahaya.
Tren datang dan pergi, tapi yang saya butuhkan adalah fakta. Fakta yang lebih keras dari lantai yang berpotensi menghancurkan layar ponsel saya.
Jika Anda membaca artikel ini di ponsel, kemungkinan besar Anda sedang melihat melalui layar Gorilla Glass, teknologi anti-benturan yang dipatenkan oleh Corning.
Hampir semua produsen ponsel ternama menggunakan Gorilla Glass atau produk Corning lainnya untuk sebagian atau seluruh layar mereka, termasuk Apple, Google, Huawei, dan Samsung.
Memang ada pengecualian untuk ponsel keluaran lama dan merek-merek yang lebih murah, tapi secara umum, Corning mendominasi pasar layar ponsel.
Proses pembuatan Gorilla Glass dimulai dengan merendam kaca dalam larutan garam cair yang dipanaskan hingga 400 derajat Celsius.
“Campuran garam ini menarik ion-ion kecil seperti litium dari kaca dan menggantinya dengan ion-ion yang lebih besar seperti kalium,” jelas Lori Hamilton, direktur teknologi Corning untuk Gorilla Glass.
Hamilton menjelaskan bahwa tekanan kompresif ini menciptakan lapisan yang membuat kerusakan lebih sulit menembus kaca.
Sederhananya, lapisan ini merekatkan partikel kaca dengan sangat kuat sehingga tidak mudah retak.
Corning melakukan berbagai penelitian untuk mencari tahu penyebab kerusakan layar ponsel dan cara mencegahnya.
Ponsel diuji dengan mesin khusus yang menggores kaca, lalu dimasukkan ke dalam wadah berisi kunci mobil untuk mensimulasikan kondisi di dalam saku.
Corning bahkan mengumpulkan ponsel-ponsel rusak dari konsumen untuk mempelajari jenis kerusakan yang tidak biasa.
“Kami melakukan analisis fraktur, seperti di serial TV CSI. Kami mempelajari pecahan kaca kecil untuk memahami sumber keretakan,” kata Hamilton.
Saat ponsel jatuh, layar adalah bagian yang paling rentan rusak.
Namun, menurut Hamilton, teknologi layar ponsel sudah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Ponsel pintar sekarang memiliki layar yang jauh lebih kuat.
Pada tahun 2016, Corning melaporkan bahwa Gorilla Glass 5 berhasil selamat dari jatuh dari ketinggian 0,8 meter di laboratorium.
Ketahanan ini meningkat menjadi 2 meter dengan Gorilla Glass Victus pada tahun 2020.
Sementara Gorilla Armor 2, salah satu produk terbaru Corning yang digunakan pada Samsung Ultra S25, diklaim mampu bertahan dari ketinggian hingga 2,2 meter.
Data eksternal juga mendukung peningkatan kekuatan ini, termasuk peningkatan dalam pemilihan material, konstruksi, dan desain ponsel.
Pada tahun 2024, perusahaan asuransi Allstate, yang menjual paket perlindungan ponsel, menemukan bahwa 78 juta warga Amerika Serikat melaporkan kerusakan pada ponsel mereka. Angka ini menurun dibandingkan dengan 87 juta laporan pada tahun 2020.
“Kami tidak menggunakan istilah ‘anti-retak’,” tegas Hamilton.
“Akan selalu ada kemungkinan gagal. Selalu ada situasi di mana Anda mendapat goresan yang cukup dalam atau menekuk ponsel dengan cara yang salah.”
Namun, Hamilton mengatakan bahwa tidak menggunakan casing adalah hal yang wajar. Pada akhirnya, ini hanyalah masalah preferensi.
“Bagaimanapun, ponsel adalah investasi,” katanya. “Saya sendiri tidak menggunakan pelindung layar, tapi saya pakai casing.”
Bukan casing yang super protektif, Hamilton menjelaskan.
“Itu casing dompet. Saya suka karena bisa sekaligus menyimpan kartu dan uang.”
“Saya Jadi Lebih Hati-Hati Tanpa Casing“
Gorilla Glass awalnya diciptakan untuk iPhone.
Kini, model terbaru Corning menggunakan teknologi serupa yang lebih tangguh, disebut “Ceramic Shield” yang dibuat dengan “kristal nano-keramik”.
Apple mengklaim bahwa Ceramic Shield terbaru pada iPhone 16 membuatnya “2x lebih kuat” daripada layar ponsel pintar lainnya.
Anda mungkin berpikir kristal dan keramik sudah cukup kuat sehingga saya tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk casing. Tapi, produsen seringkali memberikan pesan yang membingungkan.
Apple dengan bangga menjual ketangguhan ‘perisai keramik’ mereka, tapi juga dengan senang hati menjual casing yang dicetak dengan logo Apple.
Penjual iPhone di Apple Store menyarankan agar saya membeli casing biru yang bagus seharga US$49 (sekitar Rp805.000).
Jadi, apakah iPhone sebenarnya butuh perlindungan ekstra? Apple tidak memberikan jawaban pasti. Seorang juru bicara mereka menolak berkomentar.
Di sisi lain, produsen pelindung ponsel Spigen dengan senang hati menyampaikan pendapatnya.
“Memang benar bahwa ponsel pintar sekarang lebih tangguh dari sebelumnya,” kata Justin Ma, juru bicara Spigen.
“Namun, terlepas dari kemajuan itu, perangkat ini selalu rentan terhadap kecelakaan,” ujarnya.
Meski begitu, Ma tidak menganggap casing sebagai barang yang mutlak diperlukan.
“Anda mungkin berharap kami mengatakan bahwa setiap orang butuh casing. Tapi kenyataannya, itu tergantung pada masing-masing individu,” papar Ma.
Beberapa orang menyukai ponsel tanpa pelindung, beberapa menginginkan perlindungan maksimal, dan yang lainnya memilih casing untuk alasan estetika.
Apa pun alasannya, pasar pelindung ponsel sangat besar.
Ma mengatakan casing Spigen digunakan oleh lebih dari 100 juta perangkat di seluruh dunia.
Perusahaan konsultan Towards Packaging mencatat bahwa pasar casing ponsel global mencapai hampir US$25 miliar (sekitar Rp410,8 triliun) pada tahun 2024.
Suatu malam, saya berdiri di dapur sambil minum segelas air. Tiba-tiba, saya ingin mengecek media sosial sebelum tidur.
Saat saya mengeluarkan ponsel dari saku, jari-jari saya terpeleset.
iPhone baru saya meluncur di udara, membentur sisi kulkas, dan jatuh dengan keras ke lantai, tepat di dekat kaki saya.
Tapi, saat saya memeriksanya, ponsel saya baik-baik saja. Mungkin diselamatkan oleh layar yang tangguh, keberuntungan, atau lantai linoleum saya yang ternyata cukup empuk.
Bagi Jonna Valente, seorang warga Carolina Utara yang tidak menggunakan pelindung ponsel, pilihan itu bukan hanya soal sains atau status.
“Ketika saya terakhir membeli ponsel, putri saya memilih warna merah muda. Saya tidak memasang casing karena dia sangat menyukai warna ponselnya,” katanya.
Valente tidak pernah menyesali gaya hidup tanpa casing. Seiring berjalannya waktu, dia menyadari bahwa hidup tanpa casing mengubah hubungannya dengan ponselnya.
“Karena khawatir jari-jari saya tidak dapat menggenggamnya dengan baik, saya jadi lebih sadar dan berhati-hati,” katanya.
“Saya tidak percaya saya mengatakan ini, tapi saya rasa, saya sebenarnya mengurangi penggunaan ponsel saya tanpa pelindung.”
Meski Valente merasakan manfaat lain dari hidup tanpa pelindung, saya tidak bisa mengatakan hal yang sama. Saya tetap menggunakan ponsel saya sesering mungkin, baik dengan atau tanpa casing.
Uji Ketahanan Ponsel: Seberapa Tangguhkah Ponsel Anda?
Di awal karier saya sebagai wartawan, saya bekerja di majalah Consumer Reports. Mereka memiliki laboratorium lengkap tempat tim teknisi merancang uji ilmiah untuk menilai dan mengulas produk selama hampir 90 tahun.
Di ujung lorong kantor saya, ada tim yang sudah menilai ponsel selama beberapa dekade.
Untuk menguji ketahanan, Consumer Reports menggunakan berbagai cara untuk ‘merusak ponsel’.
Jika ada yang tahu seberapa berat uji ketahanan itu, dialah kolega lama saya, Rich Fisco.
“Kami menyebutnya uji jatuh,” kata Fisco, yang mengepalai pengujian elektronik Consumer Reports.
Fisco menjelaskan bahwa ponsel akan dimasukkan ke dalam kotak logam sepanjang satu meter dengan panel beton di kedua ujungnya.
Kemudian, kotak itu diputar dengan cepat sebanyak 50 kali, membanting ponsel ke beton berulang kali.
Setelah proses selesai, teknisi memeriksa perangkat tersebut.
Jika perangkat itu tahan banting, Fisco mengatakan mereka akan mengembalikan ponsel ke dalam kotak dan menjatuhkannya 50 kali lagi.
“Saat uji jatuh pertama kali dimulai, sekitar sepertiga ponsel akan rusak,” kata Fisco.
“Sudah lama kami tidak melihat ponsel yang gagal uji jatuh. Layarnya sudah lebih kuat. Sekarang, tampaknya jauh lebih tangguh,” tambahnya.
Artinya, jika ponsel hanya jatuh dari saku celana saat Anda berjalan, kemungkinan besar ponsel tidak akan rusak.
“Memang benar, Anda tidak perlu lagi menggunakan casing ponsel. Namun, pertanyaan sebenarnya adalah, apakah Anda seorang yang mau terus-menerus bertaruh ponsel itu akan tetap bertahan?” ujar Fisco.
Meskipun tim Fisco menerbitkan hasil yang menunjukkan lusinan ponsel lulus uji jatuh setiap tahun, ia tetap membungkus perangkatnya sendiri dengan casing.
“Tentu saja,” katanya. “Saya pelit.”
Saya terburu-buru keluar rumah pada hari ke-26 eksperimen tanpa casing.
Berdiri di puncak tangga apartemen, saya meraih ponsel untuk memeriksa rute perjalanan saya ke kantor.
Momen berikutnya, ingatan saya sedikit kabur. Saya mungkin ceroboh, tapi tiba-tiba ponsel saya terlepas dari genggaman.
Saya meringis saat ponsel itu memantul menuruni tangga sekali, dua kali, dan tiga kali, sebelum berhenti dengan bunyi berderak di kaki tangga.
Saya bergegas turun untuk menyelamatkannya. Benar saja, ada sedikit penyok di sudut iPhone baru saya. Namun, layarnya secara ajaib tidak tergores.
Saya menghabiskan sisa hari eksperimen saya dengan bermain aman. Menggenggam ponsel erat-erat selama perjalanan di kereta, berhati-hati setiap kali saya menggunakannya, dan secara umum, tidak terlalu sering menggunakan ponsel.
Teman saya, yang saya ceritakan di awal artikel, tidak seberuntung itu.
Saat kami bertemu lagi di taman, saya bertanya kepadanya bagaimana kondisi ponselnya.
“Buruk,” katanya. “Saya menjatuhkannya. Ponselnya pecah, retak di bagian depan dan lensa kameranya rusak.”
Dialah orang pertama yang menyebut hidup tanpa pelindung sebagai hal yang “ironis”.
Namun, dia memiliki iPhone keluaran lama. Mungkin layar ponsel generasi yang lebih baru akan menyelamatkannya dari bahaya jatuh. Mungkin juga tidak.
Tidak peduli berapa kali layar ponsel diperkuat dengan teknologi tangguh, layar yang dibuat dari kaca tetap bisa pecah.
Namun, saya sekarang yakin bahwa dengan perangkat yang lebih baru – dan tangan yang lebih stabil dibanding tangan saya – casing hanyalah pilihan jika Anda bersedia menerima risikonya.
Pada akhir percobaan, saya menyerah.
Saya merasa seperti berjalan di atas tali. Meskipun saya selamat dari banyak benturan dan jatuh, setiap kejadian nyaris celaka itu terasa seperti peringatan.
Pada akhirnya, saya kembali ke casing. Namun, sesekali saya melepaskan casing, hanya untuk sensasi, dan membiarkan ponsel saya merasakan embusan angin di seluruh permukaannya.
Hidup berdampingan dengan teknologi memang menarik, bukan? Pernahkah Anda bertanya-tanya apa yang terjadi di otak saat kita terus-menerus scrolling layar ponsel? Atau mengapa generasi milenial dan Gen-Z enggan mengangkat panggilan telepon? Mungkin juga Anda penasaran dengan istilah ‘digital overload‘ yang sering dialami para ibu rumah tangga. Semua pertanyaan ini mengarah pada satu hal: bagaimana kita menjaga keseimbangan antara manfaat dan dampak negatif teknologi dalam kehidupan kita.
Selain itu, mari kita telaah lebih dalam, benarkah ponsel membuat kita kurang produktif dan ‘menjajah’ kita? Atau, bagaimana prediksi dunia di tahun 2025 jika berkaca pada ramalan 30 tahun silam? Bahkan, mesin tik yang tak lekang oleh waktu pun masih digunakan setiap hari di berbagai belahan dunia, membuktikan bahwa teknologi lama dan baru bisa hidup berdampingan. Semua ini adalah bagian dari evolusi teknologi yang terus memengaruhi cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi.
Versi bahasa Inggris artikel ini yang berjudul “Is it finally safe to ditch your phone case? I put it to the test” bisa Anda baca di tautan ini.
Ringkasan
Artikel ini membahas tentang tren penggunaan ponsel tanpa pelindung (casing) di era modern, di mana ponsel pintar diklaim semakin kuat dan tahan banting. Penulis melakukan eksperimen selama sebulan untuk mencoba gaya hidup tanpa casing dan mencari tahu apakah pelindung ponsel masih diperlukan. Hasilnya menunjukkan bahwa layar ponsel modern memang lebih kuat berkat teknologi seperti Gorilla Glass dan Ceramic Shield, tetapi risiko kerusakan tetap ada.
Meskipun demikian, keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan casing pada akhirnya bergantung pada preferensi individu. Beberapa orang menganggap casing tidak perlu dan menghalangi desain ponsel yang elegan, sementara yang lain merasa lebih aman dan nyaman dengan perlindungan tambahan. Pasar pelindung ponsel tetap besar karena banyak orang masih memilih untuk menggunakan casing demi keamanan dan alasan estetika.









