Cuaca Cerah Berujung Kegelisahan: Ketika Lari Pagi Berubah Jadi Sesi Pemotretan Tak Diharapkan
Akhir pekan yang cerah mendorong Ismail Fahmi, pendiri lembaga pemantau media sosial Drone Emprit, dan istrinya untuk berolahraga lari di kawasan Palembang Icon, Palembang. Namun, alih-alih menikmati kesegaran pagi, pengalaman tak biasa justru menghampiri mereka. Layaknya selebritas, setiap langkah mereka menjadi incaran lensa para fotografer yang berjejer di tepi jalan.
“Fotografernya banyak sekali. Bahkan di satu spot itu bisa sampai enam orang. Kemudian 10 meter berikutnya ada lagi lima orang,” ungkap Fahmi, Selasa (28/10).
Sorotan kamera yang bertubi-tubi ini, bukannya membuat Fahmi dan istri merasa terkesan, malah menimbulkan perasaan tertekan. “Saya yang belum pernah lari di situ, sangat [terasa] intimidatif… enggak nyaman sekali,” imbuhnya.
Kisah ini kemudian ia bagikan di platform X, memicu perbincangan hangat dengan judul: “AI menciptakan lapangan kerja baru”. Unggahan tersebut kemudian memancing beragam opini, dengan pertanyaan pembuka dari Fahmi: “Saya tahu ada pro-kontra. Berikan pendapat kalian”. Dalam waktu tiga hari, cuitan ini telah dilihat lebih dari 12,2 juta kali dan menuai 3.000 komentar.
Tak hanya itu, Fahmi juga mengaku menerima curahan hati dari warganet melalui pesan pribadi. “Banyak itu orang-orang yang ternyata mereka memendam kekesalan cuma enggak ada channel [saluran] untuk mengucapkannya,” katanya.
Fenomena ini erat kaitannya dengan aplikasi bernama FotoYu. Aplikasi ini memungkinkan fotografer (kreator) mengunggah foto orang-orang yang diambil di ruang publik. Subjek foto kemudian dapat mengakses dan membeli foto mereka sendiri.
Dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) pengenalan wajah, pengguna hanya perlu mengunggah foto pribadi untuk diidentifikasi, dan sistem akan mencarikan foto-foto dirinya yang telah diunggah oleh para kreator di aplikasi.
Konsep ini mengingatkan pada jasa foto keliling yang marak di kawasan wisata pada era 90-an dan awal 2000-an. Bedanya, kini, teknologi AI menjadi jembatan antara fotografer dan subjek foto melalui platform digital.
Namun, kemudahan ini justru menimbulkan keresahan bagi sebagian orang yang merasa privasinya dilanggar karena foto dan data pribadi mereka tersimpan di aplikasi, membuka potensi risiko kejahatan digital.
Berpindah Lokasi Lari Demi Menghindari Lensa Kamera
Mukshin, seorang warga Jakarta, turut merespons cuitan Ismail Fahmi, mengamini kekhawatiran akan praktik fotografi di ruang publik.
“Ketika saya olahraga, lari di tempat yang publik, tapi saya dijadikan subjek istilahnya untuk foto-foto, tanpa ada persetujuan dari saya dan juga saya tidak tahu, tidak ada transparansi foto itu nantinya akan digunakan untuk apa,” keluhnya.
Selama sebulan terakhir, Mukhsin memutuskan untuk menghindari Car Free Day Jakarta, Eco Park di Tebet, dan kawasan Gelora Bung Karno sebagai lokasi lari paginya. Pasalnya, keberadaan fotografer di tiga lokasi ini semakin menjamur.
“Dulu kan kayaknya fotografer belum begitu banyak. Tapi sekarang kan udah hampir di setiap berapa meter itu ada fotografer,” ungkapnya, yang telah menekuni hobi lari selama empat tahun terakhir.
“Jadi [sekarang] kadang saya memilih ke area SCBD karena lebih sepi. Yang lari juga lebih sepi, terus fotografernya bisa dibilang enggak ada.”
Pelanggaran Privasi yang Semakin Mengkhawatirkan?
Direktur Eksekutif Catalyst Policy-Works, Wahyudi Djafar, menilai fenomena pemotretan tanpa persetujuan di ruang publik ini sebagai “privacy violation” atau pelanggaran terhadap privasi.
“Sepanjang tidak ada consent (persetujuan) dari subjek, dari pihak atau orang atau individu yang difoto, dan kemudian diunggah dalam satu aplikasi, itu sudah bagian dari privacy violation,” tegas pria yang turut mengawal Undang Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Menurut UU PDP, foto wajah termasuk dalam kategori data pribadi yang bersifat spesifik, setara dengan informasi kesehatan, data genetika, catatan kejahatan, dan data keuangan pribadi. Regulasi ini mengatur bahwa pihak ketiga atau pengendali data pribadi dapat memproses data pribadi spesifik dan umum seseorang, asalkan memenuhi syarat sah secara hukum dan transparan.
Transparansi dalam hal ini berarti memastikan bahwa subjek data mengetahui data pribadi apa yang diproses dan bagaimana data tersebut diproses. Informasi dan komunikasi terkait pemrosesan data pribadi harus mudah diakses dan dipahami, dengan bahasa yang jelas.
Sejalan dengan kekhawatiran akan penyalahgunaan data pribadi, kasus pinjaman online ilegal (pinjol) yang menggunakan foto wajah acak dari internet menjadi perhatian. Selain itu, foto wajah juga rentan disalahgunakan untuk pembuatan akun bodong, dokumen palsu, atau bahkan disunting untuk pemerasan dan penipuan.
UU PDP juga mengatur larangan umum terkait penggunaan data pribadi. Pasal 65 melarang setiap orang memperoleh atau mengumpulkan data pribadi secara melawan hukum dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang dapat mengakibatkan kerugian bagi subjek data pribadi. Mengungkap data pribadi yang bukan miliknya secara melawan hukum juga dilarang, dengan ancaman pidana masing-masing lima dan empat tahun penjara.
Namun, Wahyudi mengakui bahwa regulasi ini belum secara rinci mengatur kasus fotografer asing di ruang publik. Hal ini disebabkan oleh belum terbentuknya lembaga perlindungan data pribadi, yang merupakan amanat dari UU PDP yang disahkan pada tahun 2022.
“Ada satu situasi grey area [wilayah abu-abu]. Tidak kosong. Sebenarnya aturannya ada tapi kemudian aturan itu belum bisa ditegakkan secara optimal untuk memastikan bagaimana kewajiban kepatuhan itu dijalankan oleh setiap pengendali data,” jelas Wahyudi.
Bagaimana Tanggapan Pemerintah Terhadap Isu Ini?
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kominfo, Alexander Sabar, menekankan pentingnya aspek hukum dan etika dalam setiap proses pemotretan dan publikasi foto di era digital.
“Foto seseorang, terutama yang menampilkan wajah atau ciri khas individu, termasuk kategori data pribadi karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang secara spesifik. Foto yang menampilkan wajah seseorang termasuk data pribadi dan tidak boleh disebarkan tanpa izin,” tegas Alexander dalam siaran pers, Rabu (29/10).
Ia menambahkan bahwa setiap bentuk pemrosesan data pribadi, mulai dari pengambilan, penyimpanan, hingga penyebarluasan, harus memiliki dasar hukum yang jelas, seperti persetujuan eksplisit dari subjek data.
Selain itu, Alex juga mengingatkan bahwa fotografer memiliki kewajiban untuk menghormati hak cipta dan hak atas citra diri. “Tidak boleh ada pengomersialan hasil foto tanpa persetujuan dari subjek yang difoto,” sebutnya.
Alex menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk menggugat pihak yang melanggar atau menyalahgunakan data pribadi, sebagaimana diatur dalam UU PDP dan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE.
Seberapa Besar Risiko Penyalahgunaan Foto Wajah Seseorang?
Risikonya sangat besar dan beragam, di antaranya:
* Akun Bodong: Pembuatan akun palsu di media sosial, aplikasi kencan, atau marketplace, yang dapat digunakan untuk penipuan.
* Dokumen Palsu: Penggunaan wajah untuk membuat dokumen palsu seperti KTP digital, SIM, atau identitas lainnya, melalui teknologi AI face swap atau deepfake.
* Menipu Pihak Ketiga: Penggunaan foto wajah acak untuk pinjaman online ilegal (pinjol), pemerasan, ancaman, serta penipuan terhadap anggota keluarga. Wajah juga dapat disunting dan ditempel pada tubuh orang lain untuk menipu, beriklan, bahkan dijadikan fantasi atau pornografi.
“Kita enggak tahu potret itu, sengaja dipotret yang perempuan-perempuan, kayak disimpan sendiri untuk fantasi dia, kan nggak tahu kita,” ungkap Ismail Fahmi.
Dalam diskusi yang terus berkembang di X, Fahmi mendorong pemerintah untuk mencari solusi di tengah polemik ini. “Mungkin ada tempat-tempat khusus [fotografer]. Ada tanda bagaimana kita nggak mau. Aturan etika buat fotografernya seperti apa, misalnya harus ada yang terdaftar… Karena memang gila Indonesia itu dalam hal foto ini. Kita nggak ada privasi,” jelas Fahmi.
Cerita dari Sudut Pandang Fotografer
Keberadaan fotografer yang berkontribusi untuk aplikasi jual-beli foto semakin meluas di berbagai lokasi di Indonesia, mulai dari acara olahraga, taman, tempat wisata, konser, festival, hingga acara wisuda.
Seorang fotografer di Jambi, yang telah berkontribusi untuk FotoYu selama setahun terakhir, mengklaim bahwa mereka tetap menjaga etika dengan tidak memotret pelari yang memberikan gestur menolak.
Pria yang hanya ingin dipanggil Ombo ini mengakui bahwa isu ini memicu perdebatan di media sosial. “Selama aku foto di jalanan, belum pernah ada yang nyamperin. Malah mereka pada bilang, tempat itu jadi ramai karena adanya fotografer,” katanya.
“Yang lebih menyenangkan banyak UMKM yang dapat rezeki dari ramainya CFD. Sebelum ada fotografer sepi”.
Namun, ia pesimistis perdebatan ini akan mencapai titik temu. “Karena orang yang tidak suka akan tetap lantang menyuarakan tidak suka,” katanya.
Tanggapan FotoYu: Mengklaim Keamanan Berlapis dan Kendali Penuh di Tangan Pengguna
Pihak FotoYu menegaskan melalui platformnya bahwa hanya pemilik wajah terverifikasi yang dapat mengakses dan membeli (menebus) dokumentasi mereka sendiri. “Di Fotoyu, setelah foto diunggah, pihak lain selain pemilik wajah dilarang keras untuk membeli foto tersebut,” tulis FotoYu kepada BBC News Indonesia.
Perusahaan ini juga mengklaim bahwa e-commerce ini dibangun untuk mengembalikan kendali penuh kepada individu atas transaksi karya dokumentasi diri mereka, yang didasari oleh teknologi pengenalan wajah untuk verifikasi pribadi, dirancang selaras dengan UU PDP yang berlaku.
Platform ini mengklaim telah menerapkan “sistem keamanan berlapis untuk melindungi privasi data setelah foto diunggah ke platform”. Lapisan teknologi yang dimaksud meliputi persetujuan eksplisit dari pengguna, verifikasi ketat, rekam jejak digital, serta “Manajemen Dokumen Ultra-Privat”.
“Setiap dokumentasi yang diunggah tidak dapat dilihat secara bebas, dienkripsi penuh, dan semua wajah di dalam file disensor secara otomatis,” kata FotoYu. Pelanggan hanya dapat mencari dan menemukan dokumentasi yang terdeteksi memiliki kemiripan dengan wajahnya sendiri. Pemilik wajah bertindak sebagai ‘Human-in-the-Loop’ (pengawas manusia), dengan kontrol penuh mencari dan mengatur akurasi, tulis FotoYu.
“Selain itu, pelanggan memiliki hak untuk menghapus file mereka secara permanen dari sistem kapan saja”. “Non pelanggan juga disediakan mekanisme takedown”.
Interaksi di lapangan antara fotografer dan pelanggan didasari saling membutuhkan dan menghormati, kata FotoYu. “Model marketplace ini menciptakan sistem insentif dan disinsentif yang alami. Uang tebusan dari pemilik wajah adalah sumber pendapatan fotografer di platform Fotoyu”.
“Jika fotografer memotret orang yang tidak mau difoto (dan oleh karena itu tidak ada yang membeli), mereka tidak akan mendapat apa-apa. Ini adalah kerugian waktu, tenaga, dan operasional,” tulis FotoYu.
Polemik ini juga menarik perhatian Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono. Menurutnya, fotografer di jalanan yang secara acak memotret pesepeda dan pelari berpotensi melanggar hak privasi. “Secara etis, memotret seseorang tanpa sepengetahuan dan persetujuan, apalagi dalam konteks yang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman atau bahkan eksploitasi, jelas tidak dapat dibenarkan,” katanya.
“Apalagi jika foto tersebut digunakan untuk kepentingan komersial atau disebarluaskan tanpa kendali”.
Dave menilai perlu adanya dialog antara para fotografer dan pemerintah untuk menyusun pedoman etik memotret di jalanan. “Komisi I DPR RI mendorong agar ada dialog terbuka antara komunitas fotografi, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun pedoman etik yang jelas,” ucap Dave seperti dikutip Kumparan, media mitra BBC News Indonesia.
Kembali ke Mukhsin, yang merasa resah karena beberapa kali dipotret saat jogging di ruang publik. Ia tak pernah tahu apakah foto dirinya disimpan atau dihapus, atau mungkin digunakan untuk hal-hal tertentu. Ia tak bisa menepis pikiran terburuknya.
“Fotografinya itu nanti mungkin dikomersialkan, digunakan perusahaan atau bisnis untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu yang itu menimbulkan profit tanpa pengetahuan saya. Itu yang paling mengerikan,” pungkasnya.
Ringkasan
Artikel ini membahas keresahan masyarakat terkait maraknya fotografer di ruang publik yang memotret tanpa izin, terutama di tempat-tempat olahraga seperti Car Free Day dan taman. Hal ini menimbulkan perasaan tidak nyaman dan dianggap sebagai pelanggaran privasi, mengingat foto wajah termasuk data pribadi yang diatur dalam UU PDP. Aplikasi FotoYu, yang memungkinkan fotografer menjual foto orang yang diambil di ruang publik, menjadi sorotan karena dianggap berpotensi menyalahgunakan data pribadi dan melanggar hak privasi.
Pemerintah melalui Kominfo menekankan pentingnya aspek hukum dan etika dalam pemotretan di ruang publik, serta perlunya persetujuan eksplisit dari subjek foto. FotoYu mengklaim telah menerapkan sistem keamanan berlapis untuk melindungi data pengguna, namun kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan foto wajah tetap ada, termasuk untuk pembuatan akun bodong, dokumen palsu, dan penipuan. Wakil Ketua Komisi I DPR RI mendorong dialog antara fotografer dan pemerintah untuk menyusun pedoman etik memotret di jalanan.








