Dekan Fakultas Ekonomi, Bisnis, dan Ilmu Sosial (FEBIS) Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45) menjatuhkan sanksi skorsing kepada Damar Setyaji Pamungkas, seorang mahasiswa program studi manajemen. Sanksi ini diberikan karena Damar menyelenggarakan diskusi yang mengangkat isu kontroversial, yakni penolakan terhadap pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto.
Menurut Dekan FEBIS, Bobby Reza, proses pengajuan dan pemberian gelar pahlawan nasional telah diatur secara formal oleh pemerintah. Oleh karena itu, Bobby berpendapat bahwa ranah kampus bukanlah tempat yang tepat untuk memperdebatkan kelayakan Soeharto sebagai pahlawan nasional. “Kondisinya memang kita sudah tahu berproses dan sudah ada di dalam aturan pemerintah bahwa Soeharto mau dijadikan pahlawan. Jadi pahlawan atau tidak, itu sepertinya bukan ranah di kampus,” ujarnya pada hari Minggu, 16 November 2025.
Sanksi terhadap Damar dijatuhkan pada Senin, 10 November 2025, bertepatan dengan pengumuman pemerintah Prabowo Subianto mengenai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Selain Soeharto, sembilan tokoh lainnya juga dianugerahi gelar yang sama, termasuk mantan Presiden Abdurrahman Wahid dan Marsinah, aktivis buruh yang menjadi korban pembunuhan pada masa Orde Baru.
Pada hari yang sama, Damar, yang juga menjabat sebagai Ketua Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) Jakarta Raya, menggelar diskusi bertajuk “Soeharto Bukan Pahlawan: Tantang Fadli Zon, 1000 Dosa Politik Soeharto” di lingkungan kampus UTA 45 Jakarta. Aksi ini justru berujung pada pemberhentian sementara Damar sebagai mahasiswa hingga akhir semester 2025/2026.
Surat keputusan yang dikeluarkan oleh Dekan FEBIS Bobby Reza pada 10 November 2025 menuduh Damar tidak mengindahkan arahan dari kepala program studi dan fakultas untuk tidak mengadakan kegiatan di luar kegiatan akademik yang telah ditetapkan. Selain itu, Damar dianggap telah memobilisasi massa untuk kepentingan politik praktis dan melanggar tata tertib yang tercantum dalam buku panduan akademik UTA 45 Jakarta.
“Dekan FEBIS memberikan sanksi berupa skors sampai semester 2025/2026 berakhir,” bunyi surat Dekan FEBIS nomor 693/FEBIS.UTA45/SS/XI/2025 yang ditandatangani oleh Bobby Reza. Akibat keputusan ini, Damar tidak diperkenankan untuk mengikuti kegiatan perkuliahan, organisasi kemahasiswaan, maupun kegiatan lain yang mengatasnamakan UTA 45 Jakarta.
Bobby Reza membenarkan pemberian sanksi tersebut dan mengklaim bahwa tindakan ini telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di kampus. “Kami sudah rapatkan dengan pimpinan. Ada kesepakatan adanya pelanggaran,” tegasnya.
Bobby menambahkan bahwa pihak kampus tidak melarang adanya mimbar akademik bagi mahasiswa. Namun, kegiatan di luar kegiatan akademik yang bersifat politik atau sosial harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak kampus. “Izin lebih dahulu. Izin disampaikan 3 hari sebelum acara diadakan. Nanti ada kajian,” jelasnya.
Menurut Bobby, diskusi mengenai pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto tersebut diselenggarakan tanpa izin dari pihak kampus. Rektorat maupun fakultas baru mengetahui adanya acara tersebut pada hari pelaksanaannya. Ia juga menduga bahwa diskusi tersebut bermuatan politik praktis. “Di aturan kami bahkan di Kementerian Pendidikan Tinggi ada aturan bahwa kampus tidak berpolitik praktis,” imbuhnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum LMID, Tegar Afriansyah, menyatakan bahwa Damar diberi sanksi karena menyelenggarakan diskusi mengenai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Padahal, diskusi tersebut bertujuan sebagai bentuk refleksi sejarah atas pemberian gelar pahlawan kepada tokoh yang dinilai bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM, praktik korupsi, dan pembungkaman politik. “Sosok yang dalam catatan sejarah bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM, praktik korupsi, dan pembungkaman politik,” tegasnya dalam keterangan tertulis pada Kamis, 14 November 2025.
Tegar kemudian menceritakan kronologi pemberian sanksi kepada Damar. Sebelum diskusi berlangsung, Dekan FEBIS memanggil Damar tanpa disertai surat resmi dan atas dorongan langsung dari pihak rektorat. Dalam pertemuan tersebut, Dekan FEBIS menyatakan bahwa diskusi tersebut dilarang untuk diselenggarakan di kampus karena dianggap sebagai kegiatan politik praktis dan bukan kegiatan akademik.
Tentu saja, Damar membantah tuduhan tersebut. Ia berargumen bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari kebebasan akademik yang dijamin oleh Pasal 28E Undang-Undang 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). “Bagi Damar membahas sejarah politik Soeharto adalah bentuk tanggung jawab moral dan intelektual mahasiswa, bukan tindakan politik praktis,” kata Tegar.
Namun, pihak kampus tetap bersikukuh menggagalkan diskusi tersebut. Petugas keamanan kampus bahkan menggembok area kantin yang rencananya akan digunakan sebagai lokasi diskusi. Selain itu, petugas keamanan kampus juga memasang spanduk ancaman bertuliskan ‘Dilarang Melaksanakan Kegiatan Politik Praktis di Kampus UTA’45 Jakarta, Bagi yang Terlibat Akan Dikenakan Sanksi Skorsing/DO’.
Tindakan UTA’45 ini dinilai oleh Tegar sebagai bentuk kriminalisasi terhadap aktivis mahasiswa dan pelanggaran berat terhadap kebebasan akademik. Ia berpendapat bahwa kampus seharusnya menjadi ruang produksi ilmu pengetahuan, bukan menjadi alat kekuasaan yang takut terhadap sejarah. “Namun, kini berubah menjadi alat kekuasaan yang takut terhadap sejarah,” sesalnya.
Atas nama LMID, Tegar mendesak pihak kampus untuk segera mencabut sanksi skorsing terhadap Damar. Mereka juga menuntut agar kampus memulihkan hak akademik dan kebebasan berekspresi mahasiswa, serta menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap kegiatan intelektual mahasiswa.
Pilihan Editor: Terlepas dari kontroversi ini, peluang untuk membatalkan gelar pahlawan Soeharto tetap menjadi isu yang menarik untuk disimak.
Ringkasan
Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45) menjatuhkan sanksi skorsing kepada seorang mahasiswa FEBIS, Damar Setyaji Pamungkas, karena menyelenggarakan diskusi yang menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Dekan FEBIS, Bobby Reza, berpendapat bahwa kampus bukanlah tempat yang tepat untuk memperdebatkan hal tersebut dan menyatakan bahwa kegiatan di luar akademik yang bersifat politik harus mendapat izin.
Menurut pihak kampus, diskusi tersebut diselenggarakan tanpa izin dan diduga bermuatan politik praktis, melanggar tata tertib kampus. Sementara itu, Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) menilai sanksi tersebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap aktivis mahasiswa dan pelanggaran kebebasan akademik, serta menuntut pencabutan skorsing dan pemulihan hak akademik Damar.








