Oleh EKO SAPUTRA
News Stream Pro – Kisah Mike Tyson, sang “Leher Beton,” adalah sebuah narasi inspiratif tentang transformasi. Lebih dari sekadar pukulan mematikan di atas ring, kehidupannya menyimpan pelajaran berharga: dari kerasnya jalanan Brooklyn, gemerlap kejayaan tinju dunia, dinginnya penjara, hingga pertemuannya dengan hidayah Islam.
Lahir pada 30 Juni 1966 di Brooklyn, New York, Mike Tyson tumbuh dalam lingkungan yang keras. Ayahnya meninggalkan keluarga saat ia masih bayi, memaksa ibunya berjuang seorang diri membesarkan tiga anak di tengah lingkungan Brownsville yang terkenal dengan kriminalitasnya. Sejak kecil, Tyson terjerumus dalam kejahatan ringan, yang akhirnya mengantarkannya ke sekolah reformasi di usia remaja.
Namun, takdir Tyson berubah ketika ia bertemu dengan Bobby Stewart, seorang pelatih amatir, dan kemudian Cus D’Amato. Tinju menjadi jalan hidup baru baginya. Di usia 20 tahun, ia mencetak sejarah sebagai juara dunia tinju kelas berat termuda, mengalahkan Trevor Berbick pada tahun 1986. Dalam waktu singkat, ia menyatukan sabuk WBC, WBA, dan IBF, mengukuhkan dirinya sebagai sosok yang ditakuti di arena tinju.
Di balik popularitas dan kemewahan, Tyson bergulat dengan tekanan luar biasa, gaya hidup destruktif, dan pengaruh buruk dari lingkungannya. Semua ini menjadi bom waktu yang siap meledak.
Titik balik dalam hidupnya terjadi pada tahun 1992. Tyson dinyatakan bersalah atas tuduhan pemerkosaan dan dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Di usia 25 tahun, saat berada di puncak kejayaan, ia harus mendekam selama kurang lebih tiga tahun di pusat pemasyarakatan di Indiana, Amerika Serikat.
Setelah keluar dari penjara, Tyson terus terlibat dalam berbagai kontroversi. Insiden menggigit telinga Evander Holyfield pada tahun 1997 menjadi noda kelam dalam karirnya. Pukulan telak lainnya datang pada tahun 2003, ketika ia dinyatakan bangkrut setelah menghambur-hamburkan ratusan juta dolar untuk gaya hidup hedonis, manajemen keuangan yang buruk, masalah hukum, perceraian, dan eksploitasi oleh orang-orang di sekitarnya.
Namun, di tengah kegelapan, secercah harapan muncul. Masa penahanan di penjara menjadi titik balik yang berharga bagi Tyson. Di sana, ia mengalami keruntuhan ego, kesendirian, dan kesadaran bahwa kemewahan dunia tak lagi berarti. Dalam kesunyian penjara, ia merenungkan hidupnya dan mulai mencari hidayah.
Menurut berbagai sumber, Tyson mulai mempelajari ajaran Islam di penjara. Ia kemudian memilih menjadi seorang Muslim dan mengambil nama Malik Abdul Aziz sebagai simbol perubahan dan penyerahan diri kepada Allah.
“Leher Beton” yang dulu keras kini melunak hatinya. Ia mulai membasahi wajahnya dengan air wudhu untuk menunaikan shalat lima waktu, merasakan kedamaian setiap kali bersujud dalam doa.
Ia pernah berkata, “If they had chosen me between prison with Islam and to remain luxurious as I was without Islam, I would choose prison“. Jika harus memilih antara kemewahan dunia tanpa Islam atau penjara bersama Islam, ia akan memilih penjara. Pernyataan ini mencerminkan kerendahan hati dan penyerahan dirinya pada kekuatan yang lebih besar.
Tyson menekankan bahwa menjadi Muslim tidak membuatnya menjadi malaikat tanpa cela. Sebaliknya, hal itu menjadikannya “orang yang lebih baik karena saya berusaha menjauhi kejahatan. Jika saya melakukan kesalahan, itu bukan karena Islam tidak sempurna, tapi karena saya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan…”
Perjalanan hidup Mike Tyson mengajarkan bahwa nilai-nilai spiritual dan kesadaran bisa tumbuh dari pengalaman tergelap sekalipun, asalkan seseorang memilih untuk berubah dan menjadi lebih baik. Kejatuhan dan keterpurukan bukanlah akhir dari segalanya. Kemegahan dunia bisa menjadi jebakan, dan iman bisa menghidupkan kembali jiwa yang mati. Ia menjadi bukti bahwa di balik julukan “Si Leher Beton,” ada hati yang rapuh, jiwa yang mencari, dan akhirnya menemukan jalan kembali kepada fitrah.
Ringkasan
Mike Tyson, mantan juara dunia tinju kelas berat, mengalami transformasi hidup yang signifikan. Dari masa kecil yang keras di Brooklyn hingga puncak kejayaan di ring tinju, Tyson kemudian terjerumus dalam masalah hukum dan dipenjara, yang menjadi titik balik dalam hidupnya.
Di penjara, Tyson menemukan hidayah Islam, mengubah namanya menjadi Malik Abdul Aziz, dan mulai menekuni ajaran agama. Ia lebih memilih penjara bersama Islam daripada kemewahan tanpa agama, menandakan perubahan mendalam dalam prioritas hidupnya. Tyson menekankan bahwa Islam membantunya menjadi orang yang lebih baik meskipun ia tetap manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.








