News Stream Pro
No Result
View All Result
Tuesday, December 30, 2025
  • Login
  • Home
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Traveling
Subscribe
News Stream Pro
  • Home
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Kesehatan
  • Keuangan
  • Traveling
No Result
View All Result
News Stream Pro
No Result
View All Result
Home Public Safety And Emergencies

Tragedi Freeport: Maut di Tambang Bawah Tanah, Apa yang Bisa Dicegah?

by demo-nspro
September 26, 2025
in Public Safety And Emergencies
0
Tragedi Freeport: Maut di Tambang Bawah Tanah, Apa yang Bisa Dicegah?
152
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter


Tujuh pekerja PT Freeport terjebak di area tambang bawah tanah pada 8 September lalu akibat luncuran material basah berisi batuan dan lumpur. Insiden ini, menurut seorang guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), terjadi dalam “volume besar yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Dua pekan berlalu, nasib lima pekerja masih belum diketahui, sementara dua lainnya ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Tragedi ini kembali menyoroti standar keselamatan di lingkungan pertambangan bawah tanah.

Freeport, dalam berbagai kesempatan, mengklaim telah membangun ruang perlindungan bagi para pekerja yang bertugas di area tambang bawah tanah, termasuk di Grasberg Block Caving—lokasi terjadinya luncuran material basah.

Pada Mei 2019, misalnya, Freeport merilis pernyataan tentang ruang perlindungan bawah tanah yang menelan biaya US$ 5 juta atau sekitar Rp83 miliar.

“Kami ingin karyawan kami tahu bahwa mereka datang ke tempat kerja yang aman dan kami serius dalam mencegah sesuatu yang buruk terjadi,” kata Chris Zimmer, yang saat itu menjabat sebagai Senior Vice President Underground Divison PT Freeport Indonesia.

Sebelumnya, dalam unggahan di media sosial pada Maret 2018, Freeport menyebut bahwa ruang perlindungan tersebut dapat digunakan pekerja untuk menghindari kebakaran, runtuhan struktur tambang, hingga paparan bahan peledak atau gas beracun.


Namun, menurut Bangun Samosir, seorang praktisi pertambangan yang pernah bekerja lebih dari satu dekade di Freeport, ruang perlindungan tersebut tidak bisa menjamin keselamatan pekerja yang menghadapi luncuran material basah.

Bangun menjelaskan bahwa keberadaan ruang perlindungan itu terbatas di titik-titik tertentu. Kalaupun pekerja berhasil menyelamatkan diri ke ruangan tersebut, ketersediaan oksigen dan makanan yang terbatas akan menyulitkan mereka untuk bertahan.

“Bayangkan saja, batu dan material halus—yang dalam level produksi ukurannya 30 sentimeter—bercampur dengan volume air yang begitu besar. Seperti sungai yang banjir, arus air membawa batu-batu itu,” ujar Bangun.

“Material basah itu masuk ke area produksi, ke tempat para pekerja berjalan, menyumbat ujung-ujung terowongan.”

“Kalau semua jalan tertutup, orang akan sulit keluar karena kalau material ditarik dari luar pun, dia akan terus turun sampai airnya habis,” kata Bangun, menggambarkan betapa berbahayanya situasi saat itu.

Seorang mantan pekerja Freeport lainnya mengungkapkan bahwa insiden yang mengancam nyawa, seperti tertimpa batu atau tersapu luncuran material basah, berulang kali ia hadapi di area tambang bawah tanah.

Keselamatan diri menjadi salah satu pertimbangan utama saat ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan “yang didambakan banyak mahasiswa pertambangan” itu.

“Hari itu kami sedang mengukur dinding terowongan panel produksi, tiba-tiba seperti di video yang beredar, material basah keluar, meluncur dari atas,” ujarnya.

“Bunyinya seperti longsor, bunyinya dari dalam lubang [tempat bijih yang hancur keluar ke corong].”

“Kecepatannya tidak terlalu kencang, tapi bunyinya seperti tanah longsor, terdengar dari dalam lubang. Itu menakutkan,” ucapnya, menggambarkan pengalaman traumatis tersebut.

Hingga saat ini, BBC telah mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Freeport terkait liputan ini, namun belum mendapatkan respons.

Sebagai informasi, Freeport merupakan salah satu pembayar pajak terbesar di Indonesia dengan sumbangan Rp79 triliun ke kas negara pada 2024, dan mempekerjakan sekitar 5.000 orang di tambang bawah tanah.

Sejumlah insiden di tambang bawah tanah telah terjadi di Grasberg, salah satunya adalah peristiwa runtuhnya batuan pada tahun 2013 yang menewaskan 28 pekerja.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Tri Winarno, menyebut insiden luncuran material basah yang terjadi di area tambang bawah tanah Grasberg Block Cave awal September lalu adalah yang terparah sepanjang sejarah pertambangan Indonesia.

Tri mengatakan bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan melakukan investigasi mendalam terkait insiden itu. Namun, mereka hingga kini “masih fokus” mencari lima pekerja yang masih terjebak di bawah tanah.

Sejumlah pertanyaan masih menanti jawaban, terutama apakah Freeport sebenarnya bisa mencegah risiko luncuran material basah yang mengancam nyawa para pekerja mereka?

Apa yang sebenarnya terjadi pada tujuh pekerja Freeport tersebut?

Luncuran material basah di area tambang bawah tanah Grasberg Block Cave terjadi pada 9 September lalu, sekitar pukul 22.00 WIT. Peristiwa itu terjadi di panel produksi 28-30.

Tiga video dari kamera pengawas milik Freeport—yang memperlihatkan detik-detik terjadinya luncuran material basah—beredar tak lama setelah kejadian itu.

Merujuk pada tiga rekaman audio visual tersebut, Bangun Samosir, mantan praktisi pertambangan di Freeport, juga meyakini bahwa area yang dihujam luncuran material basah berada di terowongan panel produksi.

Bangun berpatokan pada satu video yang memperlihatkan mesin penghancur batu. “Rock breaker itu memecah batuan agar bisa masuk ke level transportasi,” ujarnya.

Berdasarkan video berdurasi 16 detik itu, Bangun melihat semburan material basah yang keluar dari drawpoint—lubang tempat bijih mineral yang rontok keluar dan diangkut.

“Semburan ini mengindikasikan adanya sumber air. Seharusnya area ini kering,” kata Bangun.

“Tiba-tiba material basah meluncur, tidak bisa dihindari pekerja yang ada di situ,” tuturnya.


Video lainnya merekam detik-detik luncuran material basah dari pukul 22.04 hingga 22.15.

Pada awal video itu, terlihat seorang pekerja berjalan ke arah yang kemudian menjadi titik keluar luncuran material basah. Sekitar enam menit setelahnya, satu pekerja lain berjalan menuju ke arah yang sama.


Pada pukul 22.11, seorang pekerja terlihat berlari ke arah yang berlawanan dari dua pekerja sebelumnya.

Pukul 22.14, satu pekerja tampak berjalan ke arah yang sama seperti dua pekerja pertama. Satu menit setelahnya, luncuran material basah—termasuk bongkahan batu besar—mengalir deras memenuhi panel produksi, terowongan di mana para pekerja tadi berjalan hilir mudik.

“Terowongan ini panjang, mungkin sampai beberapa ratus meter. Kalau kejadiannya di tengah, pekerja yang di ujung terowongan mungkin tidak tahu, sampai akhirnya panel produksi itu tertutup semua,” kata Bangun.

“Dari yang saya lihat, rekaman ini diambil di dekat drawpoint, tempat menyodok bijih,” tuturnya.


Belakangan, beredar identitas tujuh pekerja yang terjebak di area tersebut. Mereka adalah Irwan, Wigih Hartono, Victor Manuel Bastida Ballesteros, Holong Gembira Silaban, Dadang Hermanto, Zaverius Magai, dan Balisang Telile.

Merujuk pada dokumen interoffice memorandum Freeport tertanggal 9 September, tujuh pekerja itu tengah mengerjakan “pengembangan tambang” saat terdampak luncuran material basah.

Material basah yang berjumlah besar, menurut berkas itu, menutup akses dan membatasi rute evakuasi tim yang hendak menyelamatkan para pekerja tersebut.

Walau begitu, Juru Bicara Freeport Indonesia, Katri Krisnati, dalam keterangan tertulis menyebut bahwa perusahaannya telah mengetahui lokasi tujuh pekerja itu.

“Mereka diyakini aman,” kata Katri. “Penyediaan kebutuhan bagi para pekerja yang terdampak sedang dilakukan,” ujarnya saat itu.

Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, berkata bahwa setelah terdampak luncuran material basah, para pekerja itu masih bisa berkomunikasi dengan tim Freeport melalui radio portabel handy talkie.

Lewat komunikasi itulah, klaim Yuliot, manajemen Freeport mengetahui posisi para pekerja tersebut. Dari komunikasi itu pula, kata Yuliot, Freeport memprediksi dapat mengevakuasi para pekerja dalam 30 jam.

Dalam 30 jam itu, klaim Yuliot, Freeport sebenarnya telah membuat dua terowongan baru. Terowongan itu digali hingga mencapai lokasi luncuran material basah.

Namun, tim evakuasi tetap tak bisa menemukan mereka. Yuliot berkata bahwa evakuasi terkendala oleh terowongan tambang bawah tanah yang berliku-liku.

Seiring waktu, komunikasi antara para pekerja yang terjebak dan manajemen Freeport akhirnya terputus. “Mungkin [handy talkie] habis baterai atau apa,” ujar Yuliot.

Dalam pernyataan tertulis, pada Rabu (24/09), Freeport menyebutkan bahwa luncuran material basah yang terjadi mencapai 800.000 metrik ton. Material basah itu meluap ke beberapa lantai.

Pada 20 September lalu, 12 hari setelah kejadian luncuran material basah, tim evakuasi menemukan dua pekerja: Wigih Hartono dan Irawan. Keduanya dievakuasi dalam kondisi meninggal dunia.

Hingga tulisan ini diterbitkan, Freeport belum memperbarui informasi terkait proses evakuasi lima pekerja yang masih terjebak. Kelimanya adalah pekerja Freeport dari pihak ketiga, yakni PT Redpath Indonesia—kontraktor pertambangan bawah tanah yang menginduk ke Redpath Group di Ontario, Kanada.

Dua dari lima pekerja yang belum dievakuasi merupakan warga negara asing. Satu di antaranya adalah Balisang Telile, yang berasal dari kota Carletonville, Provinsi Gauteng, Afrika Selatan—daerah pertambangan emas yang berjarak 75 kilometer dari ibu kota Johannesburg.

Pekerja dengan status warga negara asing lainnya adalah Victor Manuel Bastida Ballesteros, yang berasal dari Chili.

Adapun tiga pekerja lainnya adalah Holong Gembira Silaban (berasal dari Dolok Sanggul, Sumatra Utara), Dadang Hermanto (Bogor, Jawa Barat), dan Zaverius Magai (Timika).

“Wigih adalah tulang punggung keluarga”

Freeport tidak mempublikasikan informasi terkait identitas para pekerja dan bagaimana mereka berelasi dengan keluarga pekerja usai peristiwa luncuran material basah.

Ketika Wigih Hartono dan Irawan dikabarkan telah ditemukan pada 20 September lalu, tidak ada pula keterangan dari Freeport tentang rencana penerbangan jenazah ke kampung halaman.

Freeport juga tidak memaparkan perihal santunan atau bentuk tanggung jawab lain yang mereka berikan kepada keluarga Wigih dan Irawan.

Pada 20 September sore, jurnalis Endy Langobelen yang berkolaborasi dengan BBC, melihat sejumlah kerabat dari dua pekerja itu menangis di Bandara Moses Kilangin, Timika, yang dioperasikan oleh Freeport.

Sejumlah pegawai Freeport terlihat mendampingi mereka masuk ke bandara.

Sabtu sore itu, jenazah Wigih diberangkatkan ke rumah keluarganya di Ponorogo, Jawa Timur. Minggu dini hari, jenazah laki-laki berumur 37 tahun itu tiba, lantas disemayamkan, disalatkan, dan dikebumikan di pemakaman di Desa Nambak.

Namun istrinya, Jarmini, tidak mengikuti prosesi penguburan. Dia memilih tetap berada di rumah duka. “Dia masih syok,” ujar Imam Susanto, adik Wigih.

Kondisi itu masih tampak di raut wajah Jarmini hingga Minggu siang. Ibu dari dua anak itu beberapa kali membasuh air mata yang menetes ke pipinya, tatkala menyalami para pelayat yang datang.

Jarmini menyandarkan tubuhnya yang terlihat lemah ke dinding di salah satu sudut ruang tamu kediamannya. Sembari duduk selonjoran, perempuan itu sering kali mengusap rambut anak lelakinya yang tertidur di sampingnya.

Anak kedua Wigih dan Jarmini juga terlihat berada di ruang tamu.

Wigih bukanlah staf Freeport. Status kepegawaiannya terikat pada PT Citacontrac, perusahaan yang mengurus kelistrikan di tambang bawah tanah Freeport.

Sebelum terbang ke Tembagapura untuk menjadi teknisi kelistrikan di Freeport, Wigih telah “jatuh bangun,” kata adiknya, Imam.

Setelah lulus sekolah menengah kejuruan di Tulungagung, Wigih mengadu nasib ke Malaysia. Di negara itu, kata Imam, Wigih bekerja serabutan, dari kuli bangunan hingga tukang las.

“Kemudian dia pulang ke Ponorogo dan bekerja ke bengkel las milik orang,” ujar Imam.

Selama tujuh tahun terakhir, Wigih bekerja di Tembagapura. Imam berkata bahwa abangnya setiap tahun pasti mudik.

“Kalau pulang, pasti menengok orang tua di Tulungagung,” ujarnya.

Tak lama setelah Wigih terjebak di terowongan panel produksi Grasberg Block Cave, ponsel Imam berdering. Di ujung telepon, saudara ipar Wigih yang bernama Halim memberi kabar.

“Saya diminta menghubungi keluarga di Tulungagung, untuk menjaga ibu agar tidak kaget,” ungkapnya.

Dalam percakapan itu, Halim juga mengajak Imam untuk ikut terbang ke Timika—untuk memantau proses evakuasi Wigih. Namun, Imam tak bisa mendapat cuti dari pekerjaannya. Akhirnya, Halim berangkat bersama Jarmini.

Imam dan seluruh kerabat terus memelihara harapan. Mereka yakin bahwa Wigih bisa keluar dari bawah tanah dengan selamat.

Namun belakangan, di Tembagapura, Halim dan Jarmini diminta untuk melihat sesosok jenazah. Mereka diminta memastikan identitasnya.

“Kami harus mengikhlaskannya,” kata Imam.

Kerabat Wigih, Mahmudin, merasa iba melihat kematian saudaranya itu. Mahmudin mengetahui bagaimana Wigih membangun kehidupannya—dari anak yang terlunta-lunta setelah ditinggal ibunya yang wafat, lalu mengadu nasib sebagai pekerja migran ke Malaysia dan Tanah Papua.

Wigih, kata Mahmudin, adalah tulang punggung keluarga. Sebelum bekerja di Freeport, perekonomian keluarga Wigih pas-pasan.

“Dari kecil sudah terlunta-lunta. Sekarang kehidupannya sudah agak enak, tapi harus seperti ini (meninggal dunia),” kata Mahmudin.

Seperti Wigih yang kehilangan ibunya saat kanak-kanak, dua anaknya kini akan menanggung nasib yang sama: ditinggal orang tua untuk selamanya.

Pada 21 September itu, bukan hanya keluarga Wigih yang pergi ke pemakaman dan menanggung kepedihan. Pada hari yang sama, jenazah Irawan juga dikebumikan di Cilacap, Jawa Tengah, kampung halamannya.

Seperti Wigih, Irawan juga berstatus sebagai pegawai PT Citacontrac. Dia mulai bekerja di Freeport sekitar sembilan tahun lalu.

Di Tempat Pemakaman Umum Taman Firdaus, istri Irawan, Dwi Saptorini, tak bisa menahan tangis. Bersama dua anaknya, mereka menyaksikan jenazah Irawan dimakamkan.

Sekitar satu bulan sebelum tewas tergulung luncuran material basah di Grasberg Block Cave, Irawan menghabiskan hari-hari cutinya di Cilacap.

Namun, tak lama setelah Irawan kembali ke Tembagapura, Dwi terbang ke kota tambang di kaki Nemangkawi Ninggok—nama asli Puncak Jaya dalam bahasa Amungme.

“Keluarganya ke sana saat evakuasi dilakukan,” kata Mohammad Taufik, tetangga Irawan di Cilacap.

Sigit Wahyudi, saudara kandung Irawan, menyebut adiknya sebagai pribadi pendiam yang tak pernah lupa beribadah.

“Kalau Idul Adha, tidak ada yang tahu, dia langsung berkurban begitu saja,” ujar Sigit.

“Terakhir dia bilang ke saya, dia berencana berkurban lagi. Tapi, niat Irawan belum tercapai,” ucapnya.

“Semua tahu risikonya, tapi tetap ke bawah tanah demi gaji besar”

Mendapatkan gambaran tentang situasi kerja di tambang bawah tanah Freeport bukanlah perkara mudah. BBC telah berbicara kepada sejumlah orang yang bekerja di lokasi itu, tetapi mayoritas dari mereka enggan untuk berbicara secara terbuka.

Namun, satu mantan pekerja Freeport bersedia menceritakan pengalamannya. Laki-laki ini meminta BBC untuk mengidentifikasinya dengan nama Panji. Ia bekerja di Freeport hampir satu dekade.

Selama di Freeport, Panji bekerja di sebuah tim yang memantau pergerakan batuan di bawah tanah, termasuk juga material basah—yang dalam khasanah pertambangan disebut sebagai wet muck.

Timnya, kata Panji, juga bertugas menopang pekerjaan para insinyur yang melakukan fase produksi—menambang bijih mineral.

Dalam kesehariannya, Calvin dan timnya berpindah dari satu blok tambang ke blok tambang yang lain.

Oleh karena itu, ia memiliki pengalaman di seluruh blok tambang bawah tanah Freeport, yakni Grasberg Block Cave (mulai ditambang 2019), Deep Ore Zone (berhenti produksi 2021), Deep Mill Level Zone (dibuka 2004), dan Big Gossan (mulai berproduksi 2009).

“Dalam sehari kami kerja 12 jam. Dalam seminggu lima hari kerja,” ujar Panji via telepon.

Proses produksi di tambang bawah tanah Freeport berlangsung 24 jam dalam sehari, tujuh hari dalam sepekan. Tidak pernah berhenti.

Untuk mengantisipasi risiko kecelakaan kerja, Panji mengatakan bahwa para pekerja mendapatkan pelatihan keselamatan saat pertama kali bergabung ke Freeport.

Pelatihan itu mencakup protokol menghadapi batuan jatuh, luncuran material basah, kebakaran, dan gas beracun. Panji berkata bahwa para pekerja Freeport wajib mengulangi pelatihan tersebut dua kali dalam setahun.

“Setiap pagi kami juga pasti ada evaluasi terkait keamanan kerja. Memang safety di Freeport itu…aduh, ketat sekali,” ujarnya.

“Semua pekerja wajib ikut. Kalau tidak ikut ada sanksi. Konsekuensinya, bagi yang belum ulangi pelatihan, tidak boleh bekerja,” kata Panji.

Walau begitu, pelatihan yang terus berulang itu tak membuat rasa cemas Panji hilang begitu saja. Rasa khawatir, menurut dia, adalah bagian dari jati diri manusia.

“Kalau dengar bunyi batu retak, bunyi material basah, atau lihat luncuran material basah, tetap saja, kami lari,” ujarnya.

Bunyi-bunyi itu didengar Panji setiap hari di tambang bawah tanah. Ia berkata bahwa bunyi itu dipicu oleh teknik penambangan Freeport yang berbasis peledakan untuk membuat bijih mineral retak.

Dengan metode block caving itu, bijih mineral—yang mengandung perak, tembaga, dan emas—merekah, lalu berjatuhan secara perlahan karena terdorong oleh gravitasi.

“Jadi, saat ada aktivitas kendaraan berat atau peledakan, batuan itu mengalami tekanan, pecah atau merekah,” kata Panji.

Panji berkata bahwa Freeport mengembangkan sistem pengaman yang dapat menyangga batuan jatuh—agar tak menimpa para pekerja di bawah tanah.

Namun, berbagai siasat mitigasi itu tak bisa menghindarkan Panji dari peristiwa batuan jatuh dan juga luncuran material basah. Bertugas menganalisis perubahan kondisi batuan, ia kerap masuk ke lubang-lubang tak berpenyangga.

“Suatu hari batuan di atas kepala saya, karena tekanan tadi, pecah. Suaranya seperti ledakan,” kata Panji tentang pengalamannya di blok Deep Mill Level Zone.

“Saya lepas semua alat-alat, lari sekuat tenaga ke jalur evakuasi,” tuturnya.

Pada peristiwa lainnya di blok Deep Ore Zone, Panji berhadapan dengan luncuran material basah.

“Hari itu kami sedang mengukur dinding terowongan panel produksi, tiba-tiba seperti di video yang beredar, material basah keluar, meluncur dari atas,” ujarnya.

“Kecepatannya tidak terlalu kencang, tapi bunyinya seperti tanah longsor, terdengar dari dalam lubang. Itu menakutkan,” kata Panji.

Saya lantas bertanya kepada Panji: Dengan risiko yang mengancam nyawa, mengapa banyak orang bersedia bekerja di tambang bawah tanah Freeport?

“Mungkin ini masalah kebutuhan,” jawabnya.

“Orang-orang tergiur dengan penghasilan yang lumayan. Kerja di underground gila gajinya,” kata Panji.

Namun, beberapa tahun lalu, Panji merasa bahwa dirinya tak semestinya terus bekerja atas dasar mengejar uang atau demi menuntaskan mimpi seorang sarjana pertambangan.

Sebelum memutuskan untuk berhenti dari Freeport, Panji merasa “berada di persimpangan.”

“Saya merasa cukup, bahwa saya harus keluar, mencari pekerjaan yang lebih santai,” ujarnya.

Pengalaman yang dialami Panji juga dirasakan oleh Bangun Samosir. Bangun empat dekade lebih dulu bekerja di Freeport ketimbang Panji.

Bangun pada dekade 1980-an bekerja dalam proyek pengembangan blok tambang bawah tanah Gunung Bijih Timur. Pada satu peristiwa di lokasi itu, Bangun pernah nyaris tertimpa batuan jatuh.

“Waktu itu saya kerja sampai 28 jam, lebih dari satu hari. Saking capainya, saya duduk di bukaan panel yang baru diledakkan,” kata Bangun.

“Tiba-tiba batu sebesar lemari jatuh di samping kaki saya. Saya sudah tidak berpikir akan selamat waktu itu,” ujarnya.

Sejak saat itu, selama kariernya di Freeport, Bangun berusaha meredam kecemasan saat bekerja di bawah tanah. Rasa takut, menurut dia, justru akan mengurangi kesigapan untuk menyelamatkan diri.

“Jangan terlalu mengkhawatirkan kecelakaan kerja supaya bisa waspada,” ucapnya.

“Bagi saya pribadi, kalau sudah masuk ke dalam tanah, saya tidak mengharapkan diri saya hidup.”

“Itu untuk melepas stres. Semakin stres, tingkat kecelakaan kerja makin tinggi,” kata Bangun.

Bisakah Freeport menghindarkan para pekerja mereka dari dampak luncuran material basah?

Sebuah penelitian di lingkup internal Freeport dipaparkan pada sebuah konferensi geomekanika di Australia pada 2024. Merujuk pada riset itu, luncuran material basah pertama kali terjadi di tambang bawah tanah Freeport pada 1989.

Peristiwa itu diyakini terjadi sebagai imbas dari proses kominusi alias peremukan bijih mineral di bawah tanah serta curah hujan tinggi di sekitar area pertambangan.

Riset internal Freeport itu menyebutkan bahwa produksi di blok tambang Deep Ore Zone dari 1996 hingga 2021 memberikan banyak pengalaman tentang peristiwa luncuran material basah.

Dari rentetan kejadian itu, Freeport disebut terus memperbaiki teknis produksi, termasuk mengurangi aktivitas pekerja dengan menggunakan peralatan yang dikendalikan dari jarak jauh.

Riset itu mengklaim bahwa Freeport membangun blok tambang Grasberg Block Cave dan Deep Mile Level Zone berdasarkan evaluasi luncuran material basah di Deep Ore Zone.

Di tengah berbagai klaim dan mitigasi keselamatan yang dikembangkan oleh Freeport, Ridho Wattimena, profesor ilmu pertambangan di ITB, menyebut bahwa risiko luncuran material basah tidak bisa sepenuhnya ditekan.

Alasannya, kata Ridho, hingga saat ini tidak ada teknologi yang bisa memprediksi volume material basah di sebuah blok tambang bawah tanah.

Ridho mengatakan bahwa dia mengetahui betul berbagai aspek pertambangan bawah tanah Freeport. Dalam studi doktoralnya, Ridho secara spesifik membahas metode block caving yang dijalankan oleh Freeport.

“Yang dijadikan acuan terkait luncuran material basah adalah Freeport karena mereka lebih berpengalaman dibandingkan tambang-tambang lainnya,” kata Ridho.

“Tapi saya belum pernah dengar metode untuk memprediksi volume material basah,” ujarnya.

Metode penambangan block caving yang digunakan oleh Freeport, kata Ridho, akan selalu menciptakan material basah. Peledakan bijih mineral menciptakan butiran bijih yang pada saat tertentu bercampur dengan air tanah—yang volumenya bisa meningkat saat curah hujan tinggi.

“Selama ini volume luncuran material basah di Freeport mungkin kecil, jadi masih bisa diatasi dengan standar operasional yang diterapkan. Tapi, yang baru-baru ini terjadi sangat-sangat besar,” ujar Ridho.

Bagaimanapun, Ridho menyebut bahwa investigasi menyeluruh terhadap luncuran material basah di Grasberg Block Cave vital untuk dilakukan. Investigasi itu disebutnya harus digelar oleh pemerintah, melalui inspektur pertambangan di Kementerian ESDM.

Kepala Inspektur Tambang ESDM kini dijabat oleh Hendra Gunawan, yang dilaporkan telah berada di Tembagapura beberapa hari setelah kejadian.

“Pemerintah harus bikin tim investigasi independen untuk melihat apa yang terjadi, prosedur apa yang diterapkan, dan bagaimana caranya agar ke depan tidak terjadi lagi,” kata Ridho.

Ridho, pada 2013, ditunjuk oleh Jero Wacik, Menteri ESDM kala itu, untuk memimpin tim investigasi peristiwa runtuhnya batuan di blok tambang Big Gossan milik Freeport. Peristiwa itu menewaskan 28 pekerja.

“Pemerintah harus mewajibkan Freeport melakukan investigasi,” ujar Ridho.

Dalam pernyataan tertulisnya, Freeport berjanji akan mengusut luncuran material basah yang telah merenggut nyawa para pekerja mereka ini. Tim investigasi yang mereka bentuk dijanjikan akan memuat sejumlah pakar dari luar manajemen Freeport.

“Investigasi diwacanakan selesai tahun 2025 ini,” tulis Freeport.

Selain tragedi yang menimpa para pekerja, penting juga untuk melihat dampak pertambangan terhadap masyarakat Papua. Beberapa waktu lalu, terjadi penolakan terhadap blok minyak terbesar di Indonesia karena kekhawatiran akan terulangnya tragedi bom 1977. Masyarakat adat di Agimuga pun masih menyimpan trauma tentang peristiwa tersebut. Muncul pula pertanyaan mengenai apakah pertambangan benar-benar menyejahterakan masyarakat asli Papua, atau justru sebaliknya.

Kontributor Endy Langobelen melaporkan dari Timika, Nofika Dian Nugroho dari Ponorogo, dan Liliek Dharmawan dari Cilacap.

Ringkasan

Pada tanggal 8 September, tujuh pekerja PT Freeport terjebak akibat luncuran material basah di tambang bawah tanah Grasberg Block Cave. Insiden ini menyoroti kembali standar keselamatan di pertambangan bawah tanah. Meskipun Freeport mengklaim telah menyediakan ruang perlindungan, praktisi pertambangan berpendapat bahwa ruang tersebut tidak menjamin keselamatan dari luncuran material basah karena keterbatasan lokasi dan suplai oksigen.

Dua dari tujuh pekerja ditemukan meninggal, sementara lima lainnya masih dalam proses pencarian. Investigasi menyeluruh dari Kementerian ESDM sedang dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti dan potensi pencegahan risiko serupa di masa mendatang. Tragedi ini memunculkan pertanyaan tentang efektivitas mitigasi risiko Freeport dan standar keselamatan yang diterapkan, serta dampak pertambangan terhadap masyarakat Papua.

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Adu Irit SUV: Xpander Cross vs XL7 vs BR-V, Mana Terbaik?

Adu Irit SUV: Xpander Cross vs XL7 vs BR-V, Mana Terbaik?

June 29, 2025
Trump Umumkan Gencatan Senjata Israel-Iran: Kejutan Dunia!

Trump Umumkan Gencatan Senjata Israel-Iran: Kejutan Dunia!

June 24, 2025
Rumput GBK Level Up Lapangan Kampung di Yogya! Hasilnya Bikin Melongo!

Rumput GBK Level Up Lapangan Kampung di Yogya! Hasilnya Bikin Melongo!

May 31, 2025
Gunung Kuda Longsor: Belasan Korban Diduga Tertimbun, Tim SAR Bergerak!

Gunung Kuda Longsor: Belasan Korban Diduga Tertimbun, Tim SAR Bergerak!

May 31, 2025
Harga iPhone 13 Pro & Pro Max Second Juni 2025: Worth It?

Harga iPhone 13 Pro & Pro Max Second Juni 2025: Worth It?

0
Rahasia Makeup Natural Flawless: 6 Tips Mudah untuk Pemula!

Rahasia Makeup Natural Flawless: 6 Tips Mudah untuk Pemula!

0
Deadline Dividen! 34 Emiten Cum Date Minggu Depan, Jangan Ketinggalan!

Deadline Dividen! 34 Emiten Cum Date Minggu Depan, Jangan Ketinggalan!

0
Terungkap! Alasan Malaysia Tolak Undangan Timnas Indonesia dari Erick Thohir

Terungkap! Alasan Malaysia Tolak Undangan Timnas Indonesia dari Erick Thohir

0

Vorfinden Diese 2023’s Beste Neue Erreichbar Casinos unter anderem booten Diese entfesselt!

December 30, 2025

Many people see it easier to enjoy on the go

December 30, 2025

Casino Spielen Sie book of ra deutsch Slot online ohne Download Prämie abzüglich Einzahlung 2025: No Abschlagzahlung Maklercourtage Sofortig

December 30, 2025

Should i have fun with the 7s Nuts video slot free of charge?

December 30, 2025

Recent News

Vorfinden Diese 2023’s Beste Neue Erreichbar Casinos unter anderem booten Diese entfesselt!

December 30, 2025

Many people see it easier to enjoy on the go

December 30, 2025

Categories

  • Arts
  • autos
  • Careers
  • Crime
  • Education And Learning
  • entertainment
  • Family And Relationships
  • Fashion And Style
  • finance
  • Food And Drink
  • Gaming
  • General
  • health
  • Hobbies And Interests
  • Home And Garden
  • Personal Development
  • Pets And Animals
  • politics
  • Public Safety And Emergencies
  • Science
  • Shopping
  • Society Culture And History
  • sports
  • technology
  • travel
  • Uncategorized
  • Urban Infrastructure
  • War And Conflicts
  • Weather

Site Navigation

  • Home
  • Advertisement
  • Contact Us
  • Privacy & Policy
  • Other Links

We bring you the best Auto Generate Content News for WordPress Plugins that perfect for news, etc. Check our landing page for details.

© 2025

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Advertisement
  • Contact Us
  • Homepages
    • Home 1
    • Home 2
    • Home 3
    • Home 4
    • Home 5

© 2025