DESAKAN restrukturisasi utang dan penghentian penambahan pinjaman baru menjadi poin utama dalam tuntutan ‘Reset Ekonomi Indonesia’ yang diajukan oleh Center of Economic and Law Studies (Celios). Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyoroti kekhawatiran mendalam mengenai ruang fiskal yang semakin menyempit akibat lonjakan pembayaran bunga utang pemerintah.
Menurut Bhima, tuntutan ini mendesak untuk segera dijalankan karena beberapa alasan krusial. “Ruang fiskal semakin terbatas, beban bunga utang terus meningkat, dan ironisnya, banyak utang yang digunakan secara tidak produktif. Oleh karena itu, penambahan utang harus segera dihentikan,” tegasnya kepada Tempo, Sabtu, 6 September 2025.
Lantas, seberapa kritis sebenarnya kondisi utang pemerintah saat ini?
Bhima menjelaskan bahwa cara paling tepat untuk mengukurnya adalah dengan menghitung kemampuan negara dalam membayar kewajiban utang. Data Celios menunjukkan bahwa rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan pajak terus melebar setiap tahunnya. Ini mengindikasikan bahwa beban pembayaran utang semakin membebani dibandingkan dengan pendapatan pajak yang berhasil dikumpulkan.
Pada tahun 2010, beban bunga utang terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 12 persen. Namun, di era pandemi Covid-19 tahun 2020, angka ini melonjak tajam menjadi 25 persen. Sempat mengalami penurunan pada tahun 2021 dan 2022, beban utang terhadap penerimaan pajak kemudian kembali naik secara konsisten hingga tahun ini.
Pada tahun 2025, pemerintah mengumumkan proyeksi penerimaan pajak hanya mencapai 94,9 persen atau sekitar Rp 2.076,9 triliun. Di sisi lain, bunga utang yang harus dibayar tahun ini mencapai Rp 552,8 triliun. Artinya, sekitar 26 persen dari penerimaan pajak dialokasikan hanya untuk membayar bunga utang.
“Kenaikan rasio bunga utang terhadap penerimaan pajak ini jelas menunjukkan bahwa kondisi keuangan negara sudah tidak sehat,” ujar Bhima.
Berdasarkan Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, pembiayaan utang digunakan untuk mendukung peran APBN, termasuk memitigasi risiko perekonomian yang meningkat dan memastikan program-program pembangunan prioritas dapat dilaksanakan dengan baik.
Selama ini, pemerintah mengukur kemampuan membayar utang melalui rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio yang jauh di bawah ambang batas 60 persen terhadap PDB seringkali dianggap sebagai indikator positif.
Dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026 di Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa rasio utang tahun depan diperkirakan masih berada di angka 39,96 persen terhadap PDB. “Tidak ada perubahan signifikan dalam tiga tahun terakhir,” kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.
Namun, Bhima berpendapat bahwa kurang tepat jika hanya mengukur rasio utang terhadap PDB atau keseluruhan aktivitas ekonomi. Sebab, meskipun utang pemerintah terlihat rendah jika dibandingkan dengan ukuran ekonomi (PDB), kemampuan riil pemerintah untuk mengumpulkan pendapatan dari aktivitas ekonomi, yaitu melalui pajak, juga masih rendah.
“Memang betul rasio utangnya rendah, tapi rasio pajaknya juga rendah. Artinya, jumlah aktivitas ekonomi yang dapat digunakan untuk membayar utang juga terbatas,” jelas Bhima.
Tahun depan, pemerintah diperkirakan akan membayar bunga utang sebesar Rp 599,4 triliun, meningkat 8,6 persen dari proyeksi tahun ini. Beban pembayaran bunga di tahun-tahun berikutnya juga diprediksi akan semakin berat. Hal ini disebabkan oleh imbal hasil obligasi pemerintah yang masih dipatok tinggi. Pada tahun 2026, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun ditetapkan sebesar 6,9 persen.
Celios menilai bahwa imbal hasil ini seharusnya bisa diturunkan. Sebagai perbandingan, Filipina, yang memiliki peringkat utang stabil seperti Indonesia, memiliki defisit utang terhadap PDB yang jauh lebih tinggi. Namun, imbal hasil obligasi pemerintah Filipina justru lebih rendah.
Investor memang lebih tertarik membeli surat utang di Indonesia karena imbal hasilnya yang menarik. Namun, hal ini akan berdampak pada beban fiskal yang semakin berat, kata Bhima.
Selain itu, Celios juga menyoroti bahwa peningkatan jumlah utang pemerintah tidak berkorelasi dengan penurunan rasio modal terhadap output tambahan (ICOR). Ini mengindikasikan bahwa semakin besar utang yang ditarik, efisiensi ekonomi justru semakin menurun.
Di tengah beban utang yang semakin meningkat, ambisi untuk proyek-proyek yang belum terlalu mendesak sebaiknya dapat diredam. “Program-program seperti makan bergizi gratis, pengadaan alutsista, dan koperasi desa merah putih perlu dievaluasi kembali agar pemerintah tidak perlu menambah utang dalam jumlah besar,” saran Bhima.
Pada tahun 2026 mendatang, posisi utang pemerintah diperkirakan mencapai Rp 9.107,7 triliun. Dengan nilai tersebut, Celios menghitung bahwa total utang pemerintah yang ditanggung oleh setiap penduduk Indonesia bisa mencapai Rp 32 juta per orang. Seharusnya, nilai sebesar itu dapat dialokasikan secara lebih efektif pada program-program yang memberikan dampak lebih besar bagi masyarakat dan perekonomian.
Senada dengan pandangan tersebut, Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menjelaskan bahwa perlu juga dicermati rasio beban utang atas pendapatan atau debt service ratio (DSR) yang mencakup pembayaran pokok utang dan bunga utang. Rasionya telah mencapai 45 persen pada tahun 2024. “Sulit untuk diturunkan pada tahun 2025 karena kemungkinan pendapatan tidak mencapai target. Rasio ini juga telah melampaui rekomendasi IMF yang berada di kisaran 25-35 persen,” ungkapnya.
Pembayaran bunga utang yang sangat besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun ini membatasi alokasi untuk jenis belanja lainnya. “Selama 2 tahun terakhir, pembayaran bunga utang merupakan pos pengeluaran terbesar, bahkan melebihi belanja pegawai, apalagi jenis belanja lainnya.”
Caesar Akbar berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Ringkasan
Center of Economic and Law Studies (Celios) mendesak restrukturisasi utang dan penghentian pinjaman baru pemerintah karena ruang fiskal yang menyempit akibat pembayaran bunga utang yang melonjak. Beban bunga utang terhadap penerimaan pajak terus meningkat, mencapai 26% pada tahun 2025, menunjukkan kondisi keuangan negara yang tidak sehat. Celios berpendapat bahwa mengukur utang terhadap PDB saja tidak cukup, karena rasio pajak yang rendah membatasi kemampuan membayar utang.
Pemerintah diproyeksikan membayar bunga utang Rp 599,4 triliun pada tahun 2026, naik 8,6% dari tahun sebelumnya. Celios menyoroti bahwa imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia terlalu tinggi dibandingkan negara lain dengan peringkat utang yang sama. Selain itu, peningkatan utang tidak berkorelasi dengan penurunan rasio modal terhadap output tambahan, menunjukkan inefisiensi ekonomi. Ekonom lain juga menyoroti rasio beban utang atas pendapatan yang telah melampaui rekomendasi IMF.








