KONFEDERASI Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak dengan tegas besaran kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta untuk tahun 2026 yang diumumkan pada 24 Desember 2025. Presiden KSPI, Said Iqbal, menegaskan bahwa nominal UMP Jakarta yang ditetapkan sebesar Rp 5.729.876 tersebut masih jauh di bawah standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang idealnya mencapai Rp 5.898.511.
Dalam konferensi pers daring pada Rabu, 24 Desember 2025, Said Iqbal menyatakan, “KSPI, bersama dengan dukungan Partai Buruh dan aliansi serikat pekerja se-DKI Jakarta, secara bulat menolak kenaikan upah minimum DKI yang didasarkan pada indeks alfa tertentu, yakni 0,75, sehingga menghasilkan angka UMP Rp 5,73 juta.” Penolakan ini mencerminkan kekecewaan para pekerja terhadap kebijakan pengupahan yang dinilai belum berpihak pada kesejahteraan buruh di ibu kota.
Lebih lanjut, Said Iqbal membeberkan beberapa alasan utama penolakan tersebut. Ia menjelaskan bahwa angka UMP 2026 yang diumumkan oleh Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo berselisih Rp 160.000 lebih rendah dari rekomendasi yang diajukan oleh KSPI. Selain itu, KSPI juga menyayangkan penetapan kenaikan UMP DKI yang ironisnya masih lebih rendah dibandingkan dengan dua kabupaten tetangga di Jawa Barat.
“Tidak masuk akal jika upah minimum Jakarta sebagai ibu kota negara lebih rendah dari upah minimum Bekasi dan Karawang,” tegas Said Iqbal. Ia merujuk pada UMP Kabupaten Bekasi dan Karawang yang saat ini mencapai Rp 5,9 juta, sementara UMP Jakarta ditetapkan hanya Rp 5,73 juta. Pernyataan ini mempertanyakan logika di balik penetapan upah, terutama mengingat biaya hidup di Jakarta yang dikenal sangat tinggi.
Perhitungan UMP DKI Jakarta sendiri merujuk pada formula yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan. PP Pengupahan terbaru ini menetapkan rumus kenaikan upah sebagai inflasi ditambah dengan hasil perkalian pertumbuhan ekonomi dan koefisien alfa. Rentang koefisien alfa yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk UMP 2026 berada di angka 0,5 hingga 0,9. Namun, dalam rapat Dewan Pengupahan, diputuskan untuk menggunakan indeks alfa 0,75 dalam penetapan UMP 2026.
Menurut Said Iqbal, seharusnya Gubernur DKI Jakarta memanfaatkan angka indeks tertinggi, yaitu 0,9. Penggunaan indeks tertinggi ini diyakini akan memperkecil selisih yang signifikan dengan kenaikan upah di dua kabupaten Jawa Barat tersebut. “Apakah benar biaya hidup di Jakarta lebih murah daripada di Bekasi dan Karawang?” tantangnya, menyoroti inkonsistensi kebijakan dengan realitas ekonomi yang dihadapi para pekerja.
Menanggapi polemik ini, Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, memberikan pandangannya. Ia mengapresiasi kenaikan UMP DKI Jakarta sebagai langkah penting dalam upaya menjaga daya beli pekerja. Namun, secara objektif, Rizal menilai angka tersebut belum memadai karena masih di bawah estimasi KHL. “Ini mengisyaratkan bahwa kebijakan UMP saat ini masih diposisikan sebagai batas minimum administratif, bukan sebagai instrumen untuk memenuhi standar hidup layak di wilayah dengan biaya hidup yang sangat tinggi seperti Jakarta,” jelasnya kepada Tempo pada 24 Desember 2025.
Rizal menambahkan, idealnya, penetapan upah minimum di kota besar harus lebih responsif terhadap struktur biaya hidup riil masyarakat. Ia secara khusus menyoroti kenaikan harga perumahan, transportasi, dan pangan yang seringkali melampaui angka inflasi umum, menjadi beban berat yang harus ditanggung oleh pekerja di ibu kota.
Di tengah perdebatan sengit mengenai UMP dan tuntutan kesejahteraan pekerja, dinamika ekonomi lainnya juga turut menjadi perhatian bagi para pelaku usaha. Misalnya, kebijakan yang mengatur pembatasan angkutan barang dapat berdampak serius dan berpotensi menimbulkan kerugian signifikan bagi pengusaha. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi stabilitas operasional dan kapasitas perusahaan dalam mengelola biaya, termasuk komponen upah bagi karyawan, sehingga berimplikasi pada seluruh rantai ekonomi.
Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini










