Lima belas perwira menengah Polri baru saja menyandang bintang di pundak mereka, usai resmi menyandang pangkat Komisaris Besar (Kombes) dalam upacara kenaikan pangkat yang digelar di Markas Besar Polri pada 6 Oktober 2025. Namun, promosi ini tidak serta merta membuat mereka semua tetap bertugas di dalam institusi kepolisian. Sebagian dari mereka dipercaya untuk mengemban amanah di berbagai kementerian dan lembaga negara.
Penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil seperti ini, sayangnya, harus segera diakhiri. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 13 November 2025, mengeluarkan putusan yang melarang Kepala Kepolisian RI (Kapolri) menugaskan personel polisi aktif untuk menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan sipil. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan amar putusan yang bersejarah tersebut.
Putusan MK ini merupakan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite. Keduanya menggugat frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (3) dan penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Menurut MK, penjelasan frasa tersebut justru memperluas makna norma yang ada di dalam batang tubuh Undang-undang.
Padahal, norma Pasal 28 ayat (3) secara eksplisit menyatakan bahwa anggota Polri baru dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mereka mengundurkan diri atau pensiun. “Frasa tersebut justru mengaburkan substansi norma, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan membuka peluang bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun,” demikian bunyi pertimbangan MK.
Majelis hakim MK sepakat dengan pandangan penggugat yang menilai penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara. Praktik ini juga dinilai menciptakan “dwifungsi Polri” yang mengaburkan batas yang jelas antara fungsi keamanan dan fungsi pemerintahan. “Rumusan tersebut bersifat tegas dan tidak memerlukan tafsir lain,” kata Ridwan, kuasa hukum penggugat, menegaskan.
Lantas, mengapa selama ini banyak anggota polisi aktif yang menduduki jabatan di luar organisasi Polri?
Praktik penempatan polisi di luar institusi Polri memang bukan hal baru. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Soleman Ponto, yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh pemohon dalam persidangan, mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 4.351 anggota Polri yang saat ini bertugas di jabatan sipil. Sebagai contoh, Brigadir Jenderal Arnapi, yang ditempatkan sebagai Asisten Deputi Pengelolaan Data Kementerian Koperasi.
Selain itu, ada pula nama Brigjen Mashudi yang sejak 9 Januari 2025 menjabat sebagai Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Kapolri juga menugaskan Komjen Mohammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komjen Nico Afinta sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM. Fenomena ini memunculkan berbagai pertanyaan dan analisis.
Peneliti Setara Institute, Azeem Marhenda Amedi, berpendapat bahwa pola penempatan ini muncul akibat adanya penumpukan perwira tinggi di tubuh Polri, sementara jumlah jabatan yang tersedia di dalam organisasi tidak mencukupi. Akar masalah ini terletak pada pola rekrutmen yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil lembaga. “Banyak perwira yang akhirnya tidak tertampung,” jelas Azeem.
Menanggapi putusan MK ini, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Muhammad Choirul Anam, menegaskan bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat. Ia mendorong adanya proses transisi yang terencana dan sistematis pasca-putusan MK. Polri, menurutnya, perlu menata ulang struktur internal agar para jenderal yang saat ini menjabat di luar organisasi dapat kembali masuk atau memilih untuk tetap bertahan di jabatan eksternal dengan konsekuensi mengundurkan diri sebagai anggota Polri.
“Secara internal perlu ditata lagi mana struktur yang perlu diperkuat sehingga bisa diisi oleh orang yang sekarang di luar,” kata Anam. Ia mencontohkan beberapa struktur di internal Polri yang sebenarnya membutuhkan penguatan, seperti unsur pengawasan organisasi yang saat ini diemban oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum). Dengan penataan yang tepat, Polri dapat memaksimalkan potensi sumber daya manusia yang dimilikinya.
Ringkasan
Mahkamah Konstitusi (MK) telah melarang penempatan polisi aktif di jabatan sipil pemerintahan, sesuai dengan putusan yang mengabulkan gugatan terkait Undang-Undang Kepolisian. Putusan ini dilatarbelakangi kekhawatiran akan netralitas aparatur negara dan potensi “dwifungsi Polri” yang mengaburkan batas antara fungsi keamanan dan pemerintahan.
Praktik penempatan polisi aktif di luar Polri disebabkan oleh penumpukan perwira tinggi dan ketidaksesuaian antara rekrutmen dan kebutuhan riil lembaga. Kompolnas mendorong transisi terencana pasca-putusan MK, dengan menata ulang struktur internal Polri agar dapat mengakomodasi para perwira yang kembali atau memberi opsi pengunduran diri bagi yang ingin tetap di jabatan sipil.








