Anggota Komisi IV DPR, Rahmat Saleh, menyinggung soal pejabat negara di Filipina yang mengundurkan diri akibat bencana banjir. Sindiran ini dilontarkan dalam rapat kerja antara Komisi IV dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang membahas bencana ekologis banjir bandang dan tanah longsor di Pulau Sumatera.
Rahmat Saleh mencontohkan bagaimana dua menteri di bawah Presiden Filipina, Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr., rela melepaskan jabatannya terkait penyelidikan dugaan korupsi dalam proyek infrastruktur pengendali banjir. Tindakan tersebut dipandang sebagai bentuk tanggung jawab moral atas dampak bencana yang terjadi.
“Saya pernah membaca, ya, tanggal 18 November itu kabinetnya Pak Ferdinand Marcos di Filipina, mereka itu banjir penyebabnya tapi _gentlemen_, dua menterinya mengundurkan diri karena merasa menganggap tidak mampu mengatasi itu,” ungkap Rahmat di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 4 Desember 2025.
Politisi PKS ini berpendapat bahwa tidak ada salahnya jika seorang menteri mengundurkan diri dari jabatannya, terutama jika merasa tidak mampu mengatasi bencana yang terjadi. “Itu adalah tugas yang mulia, menurut saya,” imbuhnya. Pernyataan ini seolah menyiratkan kritik terhadap penanganan bencana di Indonesia.
Dalam rapat kerja tersebut, Rahmat Saleh juga mengkritik pernyataan Raja Juli yang menyebutkan bahwa deforestasi di tiga provinsi terdampak bencana, yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, mengalami penurunan dari tahun ke tahun. “Dan pesan yang kami tangkap (setelah klaim penurunan) itu menguatkan bahwa Kementerian Kehutanan dalam hal ini masih menganggap bahwa penyebab utama banjir itu bukanlah deforestasi atau masalah pembalakan hutan,” tegas Rahmat. Dengan kata lain, Rahmat Saleh meragukan klaim penurunan deforestasi dan menyoroti potensi dampak pembalakan hutan terhadap terjadinya banjir.
Bencana ekologis berupa banjir dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera pada November 2025 lalu, telah menimbulkan kerugian yang besar. Hingga saat ini, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat masih berjuang untuk pulih dari dampak bencana.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Kamis pagi, 4 Desember 2025, jumlah korban meninggal akibat bencana di tiga provinsi tersebut mencapai 776 jiwa. Data ini bersumber dari Geoportal Data Bencana Indonesia milik BNPB yang diakses pukul 6.48 WIB.
Selain korban meninggal, BNPB juga mencatat sebanyak 564 jiwa dinyatakan hilang dan 2,6 ribu jiwa mengalami luka-luka. Secara rinci, di Provinsi Aceh, korban meninggal berjumlah 277 jiwa dan 193 orang masih dinyatakan hilang. Di Sumatera Utara, 299 orang ditemukan meninggal dan 159 orang masih hilang. Sementara itu, di Sumatera Barat tercatat 200 orang tewas dan 212 orang belum ditemukan.
Bencana ekologis ini berdampak pada 51 kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Lebih dari 10,4 ribu rumah dilaporkan rusak. Selain itu, ratusan fasilitas umum juga mengalami kerusakan, termasuk 354 fasilitas umum, 9 fasilitas kesehatan, 213 fasilitas pendidikan, 132 rumah ibadah, 100 gedung atau kantor, hingga 295 jembatan.
Pentingnya mitigasi bencana menjadi sorotan, terutama saat peringatan dini telah dikeluarkan. Lantas, bagaimana seharusnya pemerintah memitigasi bencana saat ada peringatan dini? Pertanyaan ini menjadi krusial untuk meminimalkan dampak bencana di masa depan.
Ringkasan
Anggota Komisi IV DPR, Rahmat Saleh, menyinggung pengunduran diri menteri di Filipina sebagai bentuk tanggung jawab moral atas bencana banjir, saat rapat kerja dengan Menteri Kehutanan terkait banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera. Ia mempertanyakan penanganan bencana di Indonesia dan mengkritik klaim penurunan deforestasi yang disampaikan Menteri Kehutanan.
Bencana banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada November 2025 menyebabkan kerugian besar. BNPB mencatat 776 korban meninggal, 564 hilang, dan 2,6 ribu luka-luka. Lebih dari 10,4 ribu rumah dan ratusan fasilitas umum rusak akibat bencana yang melanda 51 kabupaten/kota tersebut.








