Sebuah tonggak penting dalam reformasi hukum pidana Indonesia telah tercapai. Pada rapat paripurna DPR, Senin (8/12), Rancangan Undang-Undang tentang Penyesuaian Pidana resmi disahkan menjadi Undang-Undang. Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, yang mewakili Presiden Prabowo Subianto, menyampaikan pandangan akhir pemerintah, menandai persetujuan kolektif atas regulasi krusial ini.
Pemerintah, melalui Supratman Andi Agtas, menegaskan dukungan penuh terhadap Undang-Undang Penyesuaian Pidana ini. Beliau menekankan bahwa beleid ini merupakan kebutuhan mendesak, terutama untuk menyongsong implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru.
Dalam pernyataannya, Supratman menggarisbawahi urgensi RUU tersebut. “Pada hari ini, pemerintah menyampaikan pendapat akhir Presiden atas Rancangan Undang-Undang tentang Penyesuaian Pidana, sebuah rancangan undang-undang yang diperlukan untuk mempersiapkan Indonesia memasuki era baru sistem pemidanaan nasional, seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP,” tuturnya. Pernyataan ini menegaskan visi pemerintah dalam memodernisasi hukum pidana di Indonesia.
Lebih lanjut, Supratman menjelaskan bahwa semangat utama dari undang-undang ini adalah menciptakan keselarasan dan integrasi. Seluruh aturan pidana yang tersebar di berbagai sektor hukum harus diselaraskan agar sistem pemidanaan menjadi lebih terpadu dan konsisten.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah berkomitmen untuk menyesuaikan seluruh ketentuan pidana dalam undang-undang sektoral dan peraturan daerah. Hal ini krusial agar sejalan dengan sistem pemidanaan yang baru, sekaligus melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan dalam KUHP.
Supratman menambahkan bahwa langkah strategis ini tidak semata-mata memenuhi amanat undang-undang. Lebih dari itu, ia berfungsi sebagai jaminan bahwa sistem pemidanaan nasional akan menjadi lebih terpadu, konsisten, dan responsif terhadap dinamika serta perkembangan masyarakat.
Penyusunan Undang-Undang Penyesuaian Pidana ini, menurut Supratman, didasari oleh dua urgensi utama yang tidak dapat ditunda.
Urgensi pertama adalah kebutuhan mendesak untuk melakukan penyesuaian pemidanaan di berbagai undang-undang sektoral. Ini merupakan langkah fundamental untuk harmonisasi regulasi pidana.
Urgensi kedua tak kalah krusial, yakni penyesuaian ini harus segera dilakukan sebelum KUHP baru efektif berlaku pada 2 Januari 2026. Tujuannya jelas: untuk mencegah potensi tumpang tindih aturan, kekosongan hukum, serta disparitas dalam penjatuhan pidana yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dengan demikian, Rancangan Undang-Undang Penyesuaian Pidana telah resmi disahkan menjadi Undang-Undang, berkat persetujuan bulat dari seluruh fraksi dan anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna bersejarah tersebut.
Adapun Undang-Undang tentang Penyesuaian Pidana ini merangkum tiga pokok pengaturan utama yang menjadi inti dari reformasi ini:
1. Penyesuaian pidana terhadap undang-undang di luar KUHP, meliputi penghapusan pidana kurungan, penyesuaian kategori pidana denda, serta penataan ulang ancaman pidana agar selaras dan konsisten dengan buku kesatu KUHP.
2. Penyesuaian pidana dalam peraturan daerah yang secara signifikan membatasi kewenangan pemidanaan hanya pada pidana denda paling tinggi kategori III, sekaligus menghapus pidana kurungan dalam seluruh peraturan daerah.
3. Penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan dalam KUHP itu sendiri, dengan tujuan memastikan implementasinya berjalan efektif, jelas, dan bebas dari potensi multitafsir di masa mendatang.










