Kepala Divisi Advokasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menyoroti kontroversi terkait tunjangan gelar pahlawan nasional yang akan diterima keluarga mantan presiden Soeharto. Menurutnya, keluarga Soeharto tidak pantas menerima tunjangan sebesar Rp 57 juta per tahun yang berasal dari negara.
“Keluarga Soeharto tidak layak mendapatkannya. Seharusnya mereka mengembalikan uang hasil kejahatan korupsi kepada negara,” tegas Egi pada Senin, 10 November 2025. Pernyataan ini muncul sebagai respons atas informasi yang disampaikan Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengenai pemberian tunjangan tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada para pahlawan.
Sebelumnya, Gus Ipul, sapaan akrab Saifullah Yusuf, menjelaskan bahwa tunjangan ini merupakan wujud penghargaan dan penghormatan negara kepada jasa-jasa pahlawan. “Bagian untuk menghormati, menghargai. Sehingga keluarga bisa terus membangun semangat dari para pahlawan, kami beri dukungan 57 juta per tahun,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin, 10 November 2025. Gus Ipul juga menambahkan bahwa bantuan ini merupakan bentuk silaturahmi kepada keluarga pahlawan, dan meminta masyarakat untuk tidak terpaku pada nominal yang diberikan.
Namun, Egi Primayogha berpendapat bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto saja sudah merupakan sebuah kemunduran bagi misi reformasi, yang salah satu agendanya adalah mengadili Soeharto atas dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pemberian tunjangan yang bersumber dari APBN, menurutnya, semakin memperburuk keadaan.
Egi bahkan menyebut keputusan Presiden Prabowo Subianto terkait Soeharto sebagai simbol matinya reformasi. “Setelah 27 tahun, perlahan tapi pasti, reformasi masuk ke liang lahat,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa korupsi sistemik yang masih terjadi di Indonesia saat ini merupakan warisan dari era Soeharto. Banyak aktor bisnis dan politik saat ini, lanjutnya, yang masih terhubung dengan rezim Orde Baru.
Egi menekankan bahwa jejak buruk Soeharto tidak pernah diadili secara tuntas. Menurutnya, impunitas yang dinikmati oleh mantan mertua Presiden Prabowo itu memberikan pesan yang salah kepada para penguasa berikutnya, bahwa mereka bebas melakukan tindakan serupa tanpa takut akan konsekuensi hukum.
Melihat situasi ini, Egi mengajak masyarakat untuk tidak lagi menggantungkan harapan pada terwujudnya cita-cita reformasi 1998. “Sudah saatnya kita melupakan reformasi, dan mulai memikirkan langkah berikutnya untuk pemerintahan yang bersih dan berdiri di atas prinsip hak asasi manusia,” serunya.
Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sendiri telah diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 10 November 2025.
Menanggapi berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada mendiang ayahnya, putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto, menyatakan bahwa keluarganya tidak merasa perlu untuk membela diri. Ia meyakini bahwa masyarakat sudah cukup cerdas untuk menilai jasa-jasa Soeharto selama memimpin Indonesia.
“Saya rasa rakyat juga makin pintar. Jadi, bisa melihat apa yang Soeharto lakukan, dan bisa menilai sendiri ya. Kami tidak perlu membela diri atau bagaimana,” ujarnya usai Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 10 November 2025.
Selain Soeharto, tokoh lain yang juga mendapatkan gelar pahlawan nasional adalah Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah. Profil Zainal Abidin Syah, Sultan Tidore yang Menjadi Pahlawan Nasional, menjadi salah satu contoh bagaimana negara memberikan penghargaan atas jasa-jasa tokoh yang berkontribusi bagi bangsa dan negara.
Ringkasan
ICW menolak pemberian tunjangan pahlawan nasional kepada keluarga Soeharto sebesar Rp 57 juta per tahun. Menurut ICW, keluarga Soeharto tidak layak menerima tunjangan tersebut dan seharusnya mengembalikan uang hasil korupsi ke negara. ICW menilai pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dan tunjangannya sebagai kemunduran bagi reformasi dan simbol matinya reformasi.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menjelaskan tunjangan tersebut sebagai bentuk penghormatan negara kepada jasa pahlawan dan bentuk silaturahmi. Putri Soeharto, Tutut Soeharto, menyatakan keluarga tidak perlu membela diri karena yakin masyarakat dapat menilai jasa-jasa Soeharto. Selain Soeharto, Sultan Tidore Zainal Abidin Syah juga menerima gelar pahlawan nasional.









