News Stream Pro Usai gencatan senjata dan perjanjian perdamaian, pemandangan memilukan terlihat di Gaza. Ribuan warga kembali ke rumah dan lingkungan mereka, mendapati sebagian besar telah hancur lebur. Kehidupan normal seolah menjadi mimpi yang jauh, dan bayangan rekonstruksi membentang di hadapan mereka.
Memulihkan Gaza bukanlah tugas sederhana. Membangun kembali rumah, institusi, bisnis, dan layanan publik membutuhkan upaya yang luar biasa besar, serta pendanaan yang fantastis. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan, biaya rekonstruksi total Gaza mencapai angka yang mencengangkan: 70 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 1,16 kuadriliun (berdasarkan kurs 16 Oktober 2025).
Prof. Andreas Krieg, ahli keamanan Timur Tengah dari King’s College London, bahkan berpendapat bahwa pekerjaan ini jauh lebih berat daripada memulai dari nol. “Ini lebih parah dari sekadar memulai dari nol. Di sini, kita tidak memulai dari pasir, tetapi dari reruntuhan,” ujarnya seperti dilansir dari BBC, Rabu (15/10/2025).
Seberapa parah kerusakan yang terjadi? Jaco Cilliers, perwakilan khusus UNDP untuk Palestina, mengungkapkan bahwa tingkat kehancuran di Gaza saat ini mencapai sekitar 84 persen. Di beberapa wilayah, seperti Kota Gaza, angkanya bahkan lebih tinggi, mencapai 92 persen.
Kerusakan dahsyat ini menghasilkan gunungan puing yang luar biasa besar. Berdasarkan data satelit terbaru, BBC Verify memperkirakan terdapat lebih dari 60 juta ton puing yang harus dibersihkan di seluruh Gaza.
Lantas, langkah-langkah konkret apa saja yang perlu diambil untuk membangun kembali Gaza dari reruntuhan?
Salah satu tantangan utama adalah membersihkan reruntuhan dan sisa-sisa bom yang belum meledak. Puing yang menumpuk bukan hanya berupa beton dan logam, tetapi juga berpotensi mengandung jasad manusia dan bom aktif.
“Dari sudut pandang keselamatan dan kemanusiaan, prioritas utama adalah memastikan lokasi yang telah dibom aman,” tegas Philip Bouverat, mantan eksekutif JCB.
Setelah area dinyatakan aman, puing-puing tersebut akan disortir, dipisahkan, dan dihancurkan. Material seperti plastik dan baja akan dipisahkan untuk didaur ulang, sementara beton dapat dihancurkan dan digunakan kembali sebagai material dasar untuk pembangunan. Meskipun demikian, pembangunan skala besar akan tetap membutuhkan impor material dalam jumlah besar.
“Hal pertama yang perlu dilakukan adalah membangun pelabuhan laut dalam, karena pelabuhan inilah yang nantinya akan mampu menampung ribuan muatan kontainer yang berisi material bangunan,” tambah Bouverat.
Selain membersihkan reruntuhan, pembenahan sistem air bersih dan saluran pembuangan juga menjadi prioritas utama. Akses terhadap air bersih adalah kebutuhan mendesak bagi warga Gaza. UNICEF mencatat bahwa lebih dari 70 persen dari 600 fasilitas air dan sanitasi telah rusak sejak 7 Oktober 2023.
Pengolahan limbah juga krusial untuk mencegah penyebaran penyakit. Gaza diketahui memiliki angka penyakit diare yang tinggi, dan bahkan berisiko mengalami wabah kolera di beberapa daerah. Maher Najjar dari Coastal Municipalities Water Utility (CMWU) mengungkapkan bahwa keenam fasilitas pengolahan limbah di Gaza telah rusak.
Sejak konflik dimulai, upaya perbaikan terhambat oleh serangan udara dan artileri Israel, serta kekurangan peralatan. Beberapa fasilitas yang telah diperbaiki bahkan kembali diserang. Diperkirakan, setidaknya 50 juta dollar AS (sekitar Rp 829 miliar) dibutuhkan hanya untuk mengembalikan 20 persen layanan yang rusak. Kerusakan juga menimpa sumur, jaringan, dan reservoir air bersih.
Membangun kembali perumahan juga menjadi tantangan besar. Kota Gaza, khususnya wilayah Sheikh Radwan, mengalami kerusakan parah. Jalanan yang sebelumnya utuh kini hancur lebur akibat operasi militer. Data dari pusat satelit UN menunjukkan bahwa 282.904 rumah dan apartemen di Gaza telah rusak atau hancur selama perang.
Angka tersebut kemungkinan masih kurang, karena belum mencakup kerusakan terbaru di Kota Gaza. Bahkan, diperkirakan 90 persen jalan di kota yang dikelola Hamas juga mengalami kerusakan. Membangun kembali perumahan bisa memakan waktu puluhan tahun, terutama jika logistik dan material terbatas. Oleh karena itu, perencanaan yang matang sangat penting untuk mempercepat proses tersebut.
Selain itu, menghidupkan kembali pasokan listrik juga sangat penting. Sistem kelistrikan Gaza sudah terbebani bahkan sebelum perang terjadi, dengan pemadaman bergilir yang sering terjadi dan akses listrik yang terbatas bagi sebagian warga. Sumber utama listrik berasal dari jalur yang terhubung dengan Israel. Selain itu, terdapat pembangkit listrik Gaza berbahan bakar diesel dan beberapa panel surya.
Namun, sejak 11 Oktober 2023, hampir seluruh Gaza mengalami kegelapan total setelah pasokan listrik dari luar diputus. Pembangkit listrik lokal juga tidak berfungsi karena kehabisan bahan bakar, dan banyak panel surya yang rusak. Lebih dari 80 persen aset kelistrikan hancur atau tidak beroperasi, dengan perkiraan kerugian mencapai 494 juta dollar AS (sekitar Rp 8,2 triliun).
Sektor pertanian juga mengalami kerusakan yang signifikan. Perkebunan seluas 4 km di Jabalia, yang kemungkinan ditanami pohon zaitun dan jeruk, juga hancur. Secara keseluruhan, diperkirakan 82,4 persen tanaman tahunan dan 97 persen pohon buah rusak selama perang. Kekurangan bantuan dan kerusakan ini menyebabkan krisis pangan serius, bahkan kelaparan, di Gaza pada September 2024.
Pemulihan sektor pertanian membutuhkan pembersihan lahan dari bom dan ranjau yang belum meledak. “Jika mereka bisa bercocok tanam sendiri, mereka bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri, dan semakin cepat kita melakukannya, semakin baik,” ujar seorang sumber.
Membangun kembali sekolah juga merupakan prioritas penting. Mengingat sekitar setengah penduduk Gaza berusia di bawah 18 tahun sebelum perang, akses terhadap pendidikan sangat krusial. Sekolah, yang sering digunakan sebagai tempat penampungan, banyak yang rusak akibat serangan militer.
Badan bantuan PBB untuk Palestina, UNRWA, yang pernah mengoperasikan 288 sekolah di Gaza, memperkirakan bahwa 91,8 persen dari seluruh bangunan sekolah memerlukan rekonstruksi total agar dapat berfungsi kembali.
Ringkasan
PBB memperkirakan biaya rekonstruksi Gaza setelah konflik mencapai 70 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.160 triliun. Tingkat kehancuran sangat parah, mencapai 84% di seluruh Gaza dan hingga 92% di beberapa wilayah seperti Kota Gaza, menyisakan lebih dari 60 juta ton puing yang harus dibersihkan.
Prioritas utama dalam rekonstruksi meliputi pembersihan puing dan sisa-sisa bom, pembenahan sistem air bersih dan saluran pembuangan yang sebagian besar rusak, pembangunan kembali perumahan yang hancur, serta pemulihan pasokan listrik dan sektor pertanian yang terdampak signifikan. Upaya ini membutuhkan pembangunan pelabuhan laut dalam untuk impor material dan perencanaan matang untuk mempercepat proses pembangunan.









