Anggaran Haji Bocor Rp 5 Triliun? KPK Usut Dugaan Korupsi!

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan segera melakukan kajian mendalam terkait dugaan kebocoran anggaran haji senilai Rp 5 triliun setiap tahunnya. Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi celah-celah krusial yang menjadi penyebab utama kerugian negara tersebut.

Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa Direktur Monitoring akan mengawal proses evaluasi ini. “Terkait dengan anggaran haji yang setiap tahun itu ada kebocoran sekitar Rp 5 triliun, itu bisa dilakukan monitoring oleh Direktur Monitoring, dilakukan evaluasi,” ujarnya kepada wartawan pada Rabu (1/10).

Hasil kajian ini nantinya akan diserahkan langsung kepada Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj). Tujuannya jelas, yakni agar kebocoran anggaran serupa dapat dicegah pada pelaksanaan haji di tahun-tahun mendatang, misalnya mulai tahun 2026 dan seterusnya. “Sehingga dalam pelaksanaan haji di tahun berikutnya, misalkan tahun 2026 dan seterusnya, kebocoran-kebocoran itu bisa diantisipasi, dibuatkan SOP-nya,” tambah Asep.

Langkah antisipasi yang dimaksud bisa beragam, mulai dari penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang lebih ketat hingga penggantian pihak-pihak yang terbukti melakukan kecurangan (fraud). “Atau mungkin juga kalau terjadi fraud oleh beberapa tempat atau beberapa orang atau beberapa kelompok, misalkan bisa diganti, apakah diganti penyelenggara catering-nya, diganti penyelenggara penginapannya atau yang lainnya, atau diganti orangnya, petugasnya dan lain-lainnya,” papar Asep, menekankan pentingnya akuntabilitas.

Lebih jauh, Asep menegaskan bahwa apabila dari hasil monitoring tersebut ditemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi, KPK tidak akan ragu untuk langsung melanjutkan ke tahap penindakan. “Apabila hasil monitoring itu nanti ada ditemukan bahwa terjadi tindak pidana korupsi, itu bisa juga langsung disampaikan kepada Penindakan, Kedeputian Penindakan untuk dilakukan penindakan,” tandasnya.

Di samping upaya monitoring ini, KPK saat ini juga tengah mendalami kasus dugaan korupsi terkait kuota haji. Dalam investigasi tersebut, lembaga antirasuah ini menyoroti dugaan pelanggaran Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal ini dianggap relevan untuk menguji sistem yang ada dan memverifikasi dugaan kerugian keuangan negara yang timbul.

“Karena ada kerugian keuangan negara di situ. Jadi ketika kita membuktikan ada kerugian keuangan negara, kita sekaligus menguji bagaimana sistem dari keuangan di haji ini,” jelas Asep, menggarisbawahi pentingnya integritas sistem keuangan haji.

Sebelumnya, Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) sendiri telah menyuarakan dugaan adanya kebocoran signifikan dalam pembiayaan pelaksanaan pengadaan haji. Mereka meyakini bahwa dengan menutup celah-celah kebocoran ini, biaya haji dapat ditekan secara substansial.

Wakil Menteri Haji (Wamenhaj), Dahnil Anzar Simanjuntak, pada Selasa (30/9) di Kemenhaj, Jakarta, mengungkapkan perkiraan bahwa kebocoran bisa mencapai 20 hingga 30 persen dari total biaya pengadaan dan jasa. “Dari 10 proses pengadaan itu, total pengadaan atau total biaya total haji yang memberangkatkan 203 (ribu) orang itu, ke sana itu totalnya sekitar Rp 17 triliunan,” jelas Dahnil. Target Presiden Prabowo untuk menekan biaya haji menjadi lebih murah dari tahun sebelumnya menjadi pendorong utama untuk menutup kebocoran-kebocoran ini.

Dahnil menambahkan, total dana sekitar Rp 17 triliun yang digunakan harus diawasi dengan ketat. Apabila kebocoran 20 hingga 30 persen dari jumlah tersebut terjadi, maka kerugian per tahun bisa mencapai hampir Rp 5 triliun. Untuk itu, Kemenhaj telah menggandeng Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam upaya pengawasan. “Nah dari kebocoran-kebocoran itulah harapan kami itu nanti bisa menekan biaya ongkos naik haji atau BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) […] bila perlu nol kebocoran,” pungkas Dahnil, menegaskan komitmen untuk menekan kebocoran semaksimal mungkin.