Wabah campak tengah melanda Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menimbulkan kekhawatiran mendalam. Dalam delapan bulan terakhir, penyakit menular ini telah merenggut nyawa 12 anak dan menginfeksi hampir 2.000 jiwa lainnya. Lonjakan kasus yang signifikan ini mendorong otoritas kesehatan setempat untuk menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).
Data dari Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DKP2KB) Kabupaten Sumenep mencatat adanya 1.944 kasus campak yang menyerang balita dan anak-anak sejak Januari hingga pekan ketiga Agustus. Angka ini menunjukkan peningkatan yang mencolok dibandingkan tahun sebelumnya, yang hanya mencatat 319 kasus.
Lantas, apa yang menyebabkan peningkatan drastis kasus campak di Sumenep? Faktor utama yang disinyalir menjadi penyebab adalah rendahnya cakupan imunisasi di wilayah tersebut. Akibatnya, virus campak dapat menyebar dengan lebih mudah dan cepat di antara populasi yang rentan.
Beberapa orang tua yang ditemui oleh wartawan BBC News Indonesia, Ahmad Mustofa, mengungkapkan alasan di balik keputusan mereka untuk tidak memberikan vaksin campak kepada anak-anaknya. Mereka mengaku diliputi rasa “takut” terhadap vaksin. Selain itu, karantina selama pandemi Covid-19 juga menjadi kendala, menghalangi mereka untuk mengakses layanan imunisasi.
Kondisi di Sumenep ini mencerminkan permasalahan yang lebih luas di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hingga awal Agustus 2025, terdapat 40 KLB campak yang terjadi di 37 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jumlah kasus terkonfirmasi mencapai 3.282, dengan total kasus sebanyak 22.074. Cakupan imunisasi yang tidak merata dan capaian imunisasi yang belum optimal menjadi faktor utama di balik lonjakan kasus campak secara nasional.
Pemerintah kini berupaya keras untuk mengatasi masalah ini dengan mempercepat program vaksinasi dan memperkuat layanan kesehatan. Namun, pertanyaan penting yang muncul adalah: seberapa besar pengaruh penolakan vaksin di masyarakat terhadap keberhasilan program vaksinasi?
Kisah Pilu dari Puskesmas Guluk-Guluk
Ahmad Mufidan, seorang anak berusia tujuh tahun, terbaring lemah di Puskesmas Guluk-Guluk, Sumenep. Sudah hampir seminggu ia dirawat karena campak. Siswa kelas dua sekolah dasar ini mengalami gatal-gatal dan ruam merah yang menyebar di beberapa bagian tubuhnya.
Zairurah, nenek Mufidan, menceritakan bagaimana cucunya pertama kali menunjukkan gejala campak. Ia mengatakan bahwa Mufidan tiba-tiba mengalami gatal-gatal di sekujur tubuhnya saat bangun tidur. “Waktu bangun tidur langsung menangis, garuk-garuk badannya karena gatal, lalu panas,” ujarnya.
Selain Mufidan, Moh Syaiful Bahri, seorang anak berusia tiga tahun, juga dirawat di Puskesmas Guluk-Guluk dengan keluhan serupa. Ia mengalami panas tinggi disertai batuk selama empat hari, meskipun belum muncul ruam. “Awalnya panas, batuk, langsung dibawa ke klinik tapi tetap panas [tidak ada perkembangan], langsung dibawa [ke Puskesmas],” kata Faridah, ibu dari Syaiful Bahri.
Ironisnya, baik Mufidan maupun Syaiful Bahri belum pernah mendapatkan imunisasi campak. Orang tua mereka mengaku “takut” terhadap vaksin dan terkendala oleh karantina pandemi Covid-19 pada tahun 2020-2022.
Hoaks ‘Vaksin Haram’ dan Rendahnya Kesadaran Imunisasi
Tenaga kesehatan Puskesmas Guluk-Guluk Sumenep, dr. Fita Rabianti, mengakui bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi masih sangat rendah. Banyak warga yang takut, bahkan menolak vaksin karena termakan hoaks “vaksin haram”. “Sangat-sangat banyak sekali kendalanya, di antaranya menolak, dari orang tua menolak. Ada ketakutan juga untuk divaksin, ada berita hoaks, imunisasi atau vaksinnya juga haram dan lain-lain,” jelasnya.
Menurut dr. Fita, ketakutan ini berdampak pada rendahnya cakupan imunisasi, yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab utama lonjakan kasus campak di Sumenep. “Cakupan imunisasi belum maksimal atau belum tercapai, artinya belum membentuk *herd immunity*. Jadi kekebalan tubuh secara berkelompok,” ujarnya. Untuk mencapai *herd immunity* atau kekebalan kelompok, cakupan imunisasi lengkap harus mencapai lebih dari 95 persen. “Jadi itu yang menyebabkan penularan terus berlangsung dan tidak terputus sampai saat ini,” tambahnya.
Pendapat dr. Fita ini sejalan dengan pandangan Dian Permatasari, seorang dosen Fakultas Ilmu Kesehatan di Universitas Wiraraja Sumenep. Menurutnya, banyak warga atau orang tua yang menganggap vaksin berbahaya. “Ada yang mempunyai *mindset* atau mempunyai pandangan bahwa dengan imunisasi itu malah menyebabkan penyakit. Tapi sebenarnya itu hanya mitos,” kata Dian. Ia menilai bahwa pola pikir tersebut muncul karena minimnya edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya imunisasi. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk terus mensosialisasikan pentingnya vaksinasi, termasuk imunisasi campak.
Sementara itu, Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit DKP2KB Kabupaten Sumenep, Achmad Syamsuri, mengakui bahwa cakupan vaksinasi di wilayahnya belum memenuhi target. Bahkan, di beberapa wilayah, angkanya masih di bawah 80%. “Masih ada beberapa yang mengatakan bahwa imunisasi itu tidak penting,” kata Achmad Syamsuri. Ia juga menambahkan bahwa penyakit campak sering dianggap sebagai penyakit yang tidak berbahaya oleh sebagian masyarakat Madura, sehingga tidak segera diperiksakan ke fasilitas kesehatan terdekat jika tidak parah.
Data dari DKP2KB Kabupaten Sumenep menunjukkan fluktuasi kasus campak dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, tercatat 200 kasus campak. Kemudian, pada tahun berikutnya, setelah pandemi Covid-19 mereda, kasus campak melonjak menjadi 1.400 kasus. Pada tahun 2024, jumlahnya menurun menjadi 319 kasus, namun kembali meningkat tajam pada tahun ini, mencapai 1.944 kasus hingga pekan ketiga Agustus.
Upaya Pemerintah dan Pentingnya Keterlibatan Tokoh Masyarakat
Menghadapi situasi yang mengkhawatirkan ini, pemerintah berupaya untuk meningkatkan cakupan imunisasi dan menekan penyebaran campak. Dian Permatasari dari Universitas Wiraraja Sumenep menyarankan agar pemerintah melibatkan tokoh masyarakat maupun tokoh agama dalam upaya sosialisasi vaksinasi. Ia menekankan bahwa tokoh-tokoh ini memiliki pengaruh yang signifikan di tengah masyarakat yang masih enggan menerima vaksin. Selain itu, ia juga meminta tenaga kesehatan untuk lebih gencar melakukan edukasi secara *door to door* kepada masyarakat.
“Kita memberikan sosialisasi, mungkin juga pendekatan kepada orang penting di sana, di desa tersebut misalnya, karena masyarakat kadang ada yang masih menolak [imunisasi],” kata Dian.
Sementara itu, Achmad Syamsuri dari DKP2KB Kabupaten Sumenep mengklaim bahwa pihaknya terus melakukan sosialisasi terkait pentingnya imunisasi campak melalui berbagai saluran, mulai dari posyandu hingga lembaga pendidikan. DKP2KB juga menggandeng sejumlah organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk ikut memberikan edukasi kepada masyarakat. “Bahkan [dengan] tokoh-tokoh masyarakat kita sudah mengadakan rakor terkait dengan pentingnya imunisasi bagi anak-anak kita,” kata Achmad Syamsuri.
Berbagai inovasi juga telah dilakukan untuk mengejar target cakupan imunisasi, seperti program “Imunisasi Kejar” bagi anak-anak yang terlewat dari imunisasi. Selain itu, untuk menekan penyebaran kasus campak yang terus meningkat, DKP2KB Sumenep berencana untuk melaksanakan imunisasi massal atau *Outbreak Response Immunization* (ORI). Imunisasi massal ini menargetkan 73.000 anak dan akan berlangsung lebih dari dua pekan hingga 13 September 2025. “Kita akan melaksanakan yang namanya ORI. Insyaallah akan dilaksanakan di tanggal 25 [Agustus], minggu depan itu serentak di seluruh Kabupaten Sumenep di 26 puskesmas yang memang kasusnya banyak,” katanya.
Saat ini, Kementerian Kesehatan sedang menyiapkan surat edaran (SE) kewaspadaan terhadap peningkatan kasus dan KLB campak kepada dinas kesehatan di seluruh daerah. Surat edaran ini diharapkan dapat menjadi acuan kewaspadaan dini terhadap peningkatan kasus campak dan respons penanggulangan KLB campak.
Kondisi KLB campak ini menambah daftar panjang tantangan kesehatan yang dihadapi Indonesia. Sebelumnya, Indonesia juga menghadapi KLB polio, menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia berisiko terkena wabah penyakit yang saling tumpang tindih. Selain itu, lonjakan kasus campak juga menghantui negara tetangga Indonesia, sehingga penanganan yang efektif menjadi sangat krusial.
Penting untuk diingat bahwa vaksinasi adalah langkah preventif yang paling efektif untuk melindungi anak-anak dari penyakit campak dan komplikasi serius yang mungkin timbul. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dan memastikan aksesibilitas vaksin, kita dapat melindungi generasi penerus dari ancaman penyakit menular ini.
Ringkasan
Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, mengalami wabah campak yang signifikan dengan 12 kematian anak dan hampir 2.000 kasus dalam delapan bulan terakhir, mendorong penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Rendahnya cakupan imunisasi, dipicu oleh ketakutan orang tua terhadap vaksin karena hoaks dan terhambatnya akses selama pandemi Covid-19, menjadi faktor utama peningkatan kasus. Kondisi ini mencerminkan masalah yang lebih luas di Indonesia, dengan 40 KLB campak di 37 kabupaten/kota.
Pemerintah berupaya meningkatkan cakupan imunisasi melalui sosialisasi yang melibatkan tokoh masyarakat dan agama, serta program imunisasi massal. Keterlibatan tokoh masyarakat dan edukasi door-to-door juga diupayakan untuk melawan misinformasi dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya vaksinasi. Kementerian Kesehatan juga tengah menyiapkan surat edaran kewaspadaan terhadap peningkatan kasus dan KLB campak kepada dinas kesehatan di seluruh daerah.









