News Stream Pro JAKARTA – Emiten-emiten produsen baja nasional tengah dihadapkan pada persimpangan tantangan yang kompleks, membentang antara peluang pasar global yang menjanjikan dan tekanan dari dinamika pasar domestik yang bergejolak.
Di satu sisi, industri besi dan baja Indonesia berhasil menorehkan kinerja ekspor yang solid dan menunjukkan tren pertumbuhan yang menggembirakan. Namun, ironisnya, pasar dalam negeri justru dibanjiri oleh gelombang produk baja impor, yang berpotensi besar menekan kinerja profitabilitas emiten lokal.
Berdasarkan data terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor besi dan baja nasional mencatatkan peningkatan signifikan sebesar 12,12% secara tahunan (year-on-year/yoy), mencapai angka US$ 23,58 miliar hingga Oktober 2025. Tidak hanya nilai, volume ekspor juga tumbuh impresif sebesar 13,04% yoy, menembus 19,50 juta ton pada periode yang sama. Kenaikan ini secara jelas merefleksikan kuatnya permintaan global terhadap produk baja berkualitas dari Indonesia.
Kendati demikian, performa ekspor yang cemerlang tersebut tidak serta-merta melenyapkan bayang-bayang tekanan di pasar domestik. Justru, pasar baja di dalam negeri kini sedang diterpa banjir produk baja impor, yang memicu kekhawatiran serius di kalangan pelaku industri.
Kondisi ini semakin diperkeruh dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai adanya potensi kebocoran impor besi, baja, dan produk turunannya senilai Rp 894,94 miliar. Kebocoran ini disinyalir terjadi akibat ketidakselarasan data yang krusial antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Muhammad Wafi, Kepala Riset Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), menjelaskan bahwa tingginya nilai dan volume ekspor baja tentu menjadi angin segar bagi emiten-emiten yang berorientasi ekspor. Namun, ia menekankan bahwa industri baja saat ini masih berada dalam fase normalisasi, bukan pada fase supercycle. Menurut Wafi, “Hanya emiten dengan biaya rendah dan punya spesifikasi produk yang sesuai dengan pasar global yang bisa memaksimalkan momentum ini,” ujarnya pada Jumat (12/12).
Di sisi lain, masifnya impor baja menjadi tantangan serius yang mengancam stabilitas emiten baja nasional. Arus masuknya produk impor ini berpotensi besar memicu persaingan yang tidak sehat di pasar domestik, bahkan berujung pada perang harga. Konsekuensi dari kondisi ini dapat berupa penumpukan stok produk baja di tingkat emiten, yang pada akhirnya berisiko menekan margin keuntungan dan menurunkan tingkat utilitas pabrik secara signifikan.
Di tengah dinamika pasar modal yang luas, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mencatatkan penguatan 0,46% hingga mencapai 8.660, dengan adanya saham-saham pilihan yang menarik minat beli bersih investor asing, sektor baja nasional tetap dihadapkan pada persoalan internal yang menuntut perhatian khusus.
Menanggapi hal tersebut, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, berpandangan bahwa emiten baja tidak bisa menghadapi tekanan impor ini seorang diri. Ia menegaskan pentingnya intervensi pemerintah dalam mengendalikan aliran impor baja, termasuk upaya pencegahan masuknya produk baja impor ilegal ke pasar domestik. “Emiten bisa gagal optimalkan pasar ekspor jika pasar domestik masih lemah dan banyak impor,” kata Nafan, Jumat (12/12).
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, Nafan menilai prospek kinerja emiten baja dalam jangka pendek masih sulit untuk diprediksi secara akurat. Oleh karena itu, laporan kinerja kuartal IV-2025 dan kuartal I-2026 dinilai akan menjadi indikator krusial untuk menganalisis sejauh mana dampak riil dari pertumbuhan ekspor dan tingginya impor terhadap kinerja emiten baja nasional.
Meskipun investor ritel disebut-sebut turut menopang laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan menjadi kekuatan penyeimbang di pasar modal, para analis tetap mencermati secara seksama berbagai indikator dan rekomendasi untuk berbagai sektor, termasuk industri baja yang masih dihadapkan pada tantangan signifikan.
Sementara itu, Wafi dari KISI memiliki pandangan yang lebih optimis terhadap prospek kinerja emiten baja pada 2026, meskipun bersifat selektif. Ia memprediksi pertumbuhan kinerja berpeluang besar diraih oleh emiten yang memiliki tingkat efisiensi tinggi, ditopang oleh permintaan berulang (recurring demand) yang stabil, serta basis ekspor yang kokoh. Sebaliknya, emiten baja berisiko tertekan apabila memiliki tingkat leverage yang tinggi, ketergantungan besar pada pasar domestik, serta margin keuntungan yang tipis.
Dari sisi investasi, Wafi menilai saham-saham produsen baja masih layak untuk dipertimbangkan oleh investor yang cermat. Ia memproyeksikan target harga untuk beberapa saham emiten baja terkemuka, antara lain PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) di level Rp 350 per saham, PT Gunung Raja Paksi Tbk (GGRP) di level Rp 280 per saham, PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk (ISSP) di level Rp 450 per saham, serta PT Saranacentral Bajatama Tbk (BAJA) di level Rp 160 per saham.
Ke depan, arah kebijakan pemerintah terkait pengendalian impor serta kemampuan emiten dalam menjaga efisiensi operasional dan memperluas pangsa pasar ekspor akan menjadi faktor kunci yang esensial dalam menentukan daya saing dan keberlangsungan industri baja nasional.









