News Stream Pro –, PADANG PANJANG — Dikenal dengan kesuburan tanah dan iklim yang stabil, Kota Padang Panjang, Sumatra Barat, menjelma menjadi salah satu pusat hortikultura penting di provinsi ini. Bersanding dengan Agam, Tanah Datar, dan Solok, hamparan pertanian yang tertata rapi dan produktif menjadi pemandangan umum di sepanjang jalur lintas Sumatra yang membelah kota ini.
Kondisi alam yang menguntungkan ini dimanfaatkan secara optimal oleh para petani Padang Panjang, terutama dalam pengembangan budidaya cabai merah. Harga cabai yang menjanjikan di tingkat petani, ditambah dengan penerapan pola tanam bergilir yang telah lama menjadi tradisi, menjadikan cabai merah sebagai komoditas andalan, khususnya menjelang datangnya Ramadan dan Idul Fitri 2026.
Menurut Briyan Bersnif, atau akrab disapa Abi, Ketua Kelompok Tani Jalan Baru Padang Panjang Barat, sektor pertanian di Kampung Manggis terbilang stabil. “Beragam jenis tanaman pertanian tumbuh di Padang Panjang. Untuk sawah, alhamdulillah tidak ada kendala berarti. Air tercukupi, serangan hama minim, dan produksi pun stabil,” ungkapnya kepada tim Jelajah Pangan Sumbar 2025.
Melihat peluang harga cabai yang terus membaik, kelompok tani yang dibina oleh Bank Indonesia ini mulai memperluas area penanaman. Saat ini, mereka mengelola sekitar 12 hektare lahan cabai merah dengan usia tanaman yang bervariasi. Ada yang baru ditanam, sedang berbuah, hingga yang siap panen. Strategi ini diterapkan agar panen cabai merah dapat berlangsung berkelanjutan dari minggu ke minggu.
“Jadi, 12 hektare ini tidak ditanam serentak, melainkan bertahap. Tujuannya agar masa panen cabai merah tidak putus. Dengan cara ini, panen cabai merah akan terus ada setiap pekannya,” jelas Abi.
Para petani umumnya mengembangkan cabai merah lokal, dengan sedikit varietas hibrida. Berkat kesuburan tanah, mereka dapat melakukan panen berulang kali. “Penanaman hanya dilakukan sekali, selanjutnya bisa panen berkali-kali, bahkan ada yang mencapai 38 kali. Ini berlaku untuk jenis cabai merah lokal. Hal ini dimungkinkan karena petani menerapkan sistem tanam bergilir dengan tanaman lain,” lanjut Abi.
Setelah masa panen cabai selesai, seluruh batang dicabut dan lahan dinormalisasi sebelum kembali ditanami padi. Sistem tanam bergilir ini memberikan keuntungan karena tanah tetap kaya nutrisi, sehingga mendukung pertumbuhan tanaman berikutnya. “Ini bukan alih fungsi lahan, melainkan sistem tanam bergilir, di mana jenis tanamannya diganti,” tegasnya.
Dengan ritme tanam yang berkesinambungan, diperkirakan 12 hektare cabai merah di Padang Panjang akan memasuki masa panen raya mulai Januari hingga awal Maret 2026. “Semoga harganya tetap bagus, sehingga petani tidak merugi. Selain itu, kami berharap harga di pasar juga terjangkau bagi masyarakat,” harap Abi.
Saat ini, harga cabai merah lokal di tingkat petani mencapai Rp70.000 per kilogram, dengan titik impas di kisaran Rp30.000. Margin keuntungan yang signifikan ini tidak hanya memperkuat ekonomi petani, tetapi juga menciptakan lapangan kerja bagi buruh tani. Meskipun demikian, kebutuhan akan alat dan mesin pertanian (alsintan) tetap menjadi tantangan. Kontur wilayah Padang Panjang yang berupa dataran tinggi dan lereng membutuhkan peralatan yang lebih modern untuk pengolahan lahan.
Sebelumnya, Bank Indonesia telah memberikan bantuan berupa mesin bajak sawah dan becak motor. “Bantuan itu sangat bermanfaat bagi kami, karena dapat mengurangi biaya operasional dan tidak perlu lagi membayar upah bajak sawah,” ungkap Abi, seraya berharap adanya tambahan alsintan khusus untuk pembuatan petak cabai dan bawang merah. “Jika ada mesin khusus, pekerjaan akan lebih cepat selesai, sehingga proses penggarapan lahan pun bisa lebih optimal,” tambahnya.
Hendra Deni, petani lain di Kampung Manggis, menuturkan bahwa meskipun lahannya tidak terlalu luas, produksi cabainya cukup banyak. Tantangan utama yang dihadapinya adalah serangan virus gemini dan lalat buah. “Akibatnya, buah yang seharusnya belum matang, tiba-tiba memerah dan membusuk,” keluhnya. Namun, ia tetap optimistis. “Dalam kondisi sekarang, alhamdulillah masih untung. Saya melakukan panen cabai merah setiap Sabtu. Harga jual di kebun Rp70.000 per kilogram,” jelasnya.
Murniati, Koordinator Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Padang Panjang Barat, menyatakan bahwa kondisi pertanian di Padang Panjang secara umum berada dalam keadaan baik. “Dengan hamparan pertanian yang subur dan cuaca yang tidak ekstrem, pertanian di Padang Panjang sangat minim risiko gagal panen. Kami dari PPL pun ikut senang ketika mengetahui hasil panen bagus dan harga jual menguntungkan petani,” tegasnya.
Dari sisi pengendalian harga, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumbar, M. Abdul Majid, mengungkapkan bahwa cabai merah dan bawang merah masih menjadi komoditas penyumbang inflasi terbesar di Sumbar, baik secara bulanan (mtm) maupun tahunan (yoy). “Kami telah turun langsung menemui petani di berbagai daerah, seperti Kabupaten Solok, Tanah Datar, Pesisir Selatan, Padang Panjang, dan Agam,” ujarnya.
Kunjungan lapangan ini menemukan adanya pergeseran masa tanam dan panen akibat cuaca yang tidak stabil. Pergeseran ini berdampak pada pasokan dan harga di pasar. “BI telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, agar masing-masing kabupaten dan kota melakukan pendataan di lapangan, untuk mengetahui kawasan pertanian mana saja yang akan panen dalam waktu dekat. Tujuannya agar pemerintah daerah memiliki pedoman dalam mengambil kebijakan terkait penambahan pasokan dari luar daerah,” jelas Majid.
Dengan langkah pemantauan ini, BI optimistis inflasi di Sumbar hingga akhir tahun 2025 dapat dikendalikan. “Menghadapi momen liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru), serta setelahnya Ramadan dan Idul Fitri, kebutuhan pangan akan meningkat. Oleh karena itu, penting untuk memastikan pasokan dan ketersediaan pangan aman di pasar,” tegas Majid.
Ringkasan
Kota Padang Panjang, Sumatra Barat, dengan dukungan Bank Indonesia, sedang berupaya meningkatkan produksi cabai merah. Petani setempat menerapkan pola tanam bergilir dan memperluas lahan cabai merah hingga 12 hektare untuk panen raya yang diharapkan mulai Januari hingga Maret 2026. Tujuannya adalah untuk memastikan pasokan cabai berkelanjutan dan harga yang stabil, terutama menjelang momen penting seperti Ramadan dan Idul Fitri.
Meskipun harga cabai di tingkat petani saat ini menguntungkan, tantangan seperti serangan hama dan kebutuhan akan alat pertanian modern masih menjadi perhatian. Bank Indonesia terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memantau pasokan dan mengendalikan inflasi, terutama pada komoditas cabai merah dan bawang merah yang sering menjadi penyumbang inflasi terbesar di Sumatera Barat.









