JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, dengan tegas memberikan ultimatum satu tahun kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk melakukan perbaikan kinerja secara fundamental. Peringatan keras ini datang dengan konsekuensi yang tak main-main: kegagalan dalam reformasi akan berujung pada potensi pembekuan instansi, yang secara langsung mengancam nasib 16.000 pegawai dengan risiko dirumahkan.
Ultimatum dari Purbaya ini mencuat setelah kembali munculnya dugaan penyimpangan serius di tubuh DJBC, memperburuk citra dan kepercayaan publik. Ia menekankan bahwa ancaman pembekuan bukan sekadar retorika, melainkan sebuah realitas yang kini mulai disadari sepenuhnya oleh seluruh pegawai Bea Cukai, menyoroti urgensi situasi yang mereka hadapi.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Kamis (27/11/2025), Purbaya tidak berbasa-basi. “Jika Bea Cukai tidak dapat memperbaiki kinerjanya dan masyarakat masih tidak puas, Bea Cukai bisa dibekukan, diganti dengan SGS seperti zaman dulu lagi,” ujarnya, mengacu pada Societe Generale de Surveilance yang pernah mengambil alih tugas kepabeanan di era Orde Baru.
Menteri Purbaya menjelaskan bahwa tanggung jawab atas pembenahan menyeluruh di tubuh DJBC telah ia laporkan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto. Dengan demikian, satu tahun ke depan menjadi periode krusial dan penentu bagi Bea Cukai untuk membalikkan citra negatif serta meningkatkan kinerja secara signifikan. Ini adalah momentum penting untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap reformasi.
Sebagai wujud responsif terhadap tantangan operasional, Purbaya juga menyatakan kesiapannya untuk mengirimkan petugas Bea Cukai ke Bandara IMIP Morowali, jika ada permintaan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa di tengah upaya reformasi besar, perhatian terhadap detail operasional di titik-titik krusial tetap menjadi prioritas.
Keluhan Pelaku Usaha Menyoroti Citra Negatif Bea Cukai
Purbaya secara khusus menyoroti kembali menguatnya citra negatif yang melekat pada Bea Cukai. Berbagai keluhan dari pelaku usaha, termasuk pernyataan blak-blakan dari pedagang thrifting mengenai biaya fantastis sebesar Rp 550 juta untuk meloloskan satu kontainer impor pakaian bekas, turut menyeret dugaan keterlibatan oknum DJBC dalam praktik-praktik ilegal.
Dugaan penyimpangan lain terkuak saat inspeksi mendalam ke Kantor Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung Perak dan Balai Laboratorium Bea dan Cukai Kelas II Surabaya pada Selasa (11/11/2025). Di sana, Purbaya menemukan laporan nilai impor yang dinilai tidak masuk akal, salah satunya adalah submersible pump yang tercatat senilai 7 dollar AS atau setara dengan sekitar Rp 117.000, asumsi kurs Rp 16.700 per dollar AS.
Padahal, harga pasar untuk produk sejenis berada di kisaran Rp 40 juta hingga Rp 50 juta per unit. Selisih harga yang sangat mencolok ini, menurut Purbaya, merupakan indikasi kuat adanya praktik underinvoicing yang merugikan negara. Menanggapi adanya celah dan kebutuhan operasional, Purbaya menegaskan kembali komitmennya untuk segera menerjunkan personel Bea Cukai ke Bandara IMIP Morowali, mengakui bahwa sebelumnya memang belum ada petugas yang ditempatkan di sana.
Risiko Pembekuan Instansi dan PHK Massal
Merespons berbagai temuan dan desakan publik, Purbaya telah mengumpulkan jajaran pimpinan dan staf Bea Cukai untuk membahas agenda reformasi secara komprehensif. Ia mengingatkan kembali masa kelam di era Orde Baru, ketika Bea Cukai pernah dibekukan dan seluruh tugasnya dialihkan kepada Societe Generale de Surveilance (SGS) karena permasalahan serupa. Purbaya menegaskan bahwa risiko historis ini dapat terulang jika perbaikan kinerja tidak berjalan sesuai harapan.
“Jika kita gagal memperbaiki, nanti 16 ribu orang pegawai Bea Cukai dirumahkan,” tegasnya, menggambarkan konsekuensi pahit yang menunggu apabila reformasi tidak berhasil diimplementasikan. Pernyataan ini berfungsi sebagai pengingat serius bagi setiap individu di DJBC akan pentingnya perubahan.
Penerapan Teknologi AI sebagai Akselerator Pembenahan
Untuk mengakselerasi proses pembenahan dan memastikan efektivitasnya, Purbaya mulai menerapkan teknologi berbasis Akal Imitasi (AI) di berbagai wilayah operasional Bea Cukai. Teknologi canggih ini diharapkan mampu menyederhanakan proses kepabeanan dan mempercepat deteksi praktik underinvoicing yang selama ini merugikan pendapatan negara.
“Nantinya, underinvoicing akan cepat terdeteksi, sambil kami perbaiki yang lain,” jelas Purbaya, penuh optimisme bahwa kemajuan signifikan dalam reformasi Bea Cukai akan mulai terlihat pada tahun depan. Di samping upaya perbaikan sistematis melalui teknologi, Purbaya juga berkomitmen penuh untuk mengambil tindakan tegas. Ia siap memecat bawahan yang terbukti terlibat dalam kasus suap terkait penyelundupan barang thrifting, menunjukkan bahwa reformasi juga mencakup penegakan integritas internal tanpa kompromi.
Di tengah berbagai tantangan ini, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai telah mencapai Rp 249,3 triliun per Oktober 2025, angka yang merepresentasikan 82,7 persen dari target APBN 2025. Kenaikan penerimaan ini sebagian besar didorong oleh peningkatan signifikan dari bea keluar dan cukai, menunjukkan potensi besar yang bisa dicapai dengan tata kelola yang lebih baik.
(Tim Redaksi: Debrinata Rizky, Erlangga Djumena)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Ultimatum Menkeu Purbaya ke Bea Cukai: Berbenah atau Dibekukan!
Ringkasan
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan ultimatum satu tahun kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk memperbaiki kinerja secara fundamental, mengancam pembekuan instansi jika gagal. Konsekuensi dari pembekuan ini adalah potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi 16.000 pegawai Bea Cukai. Ultimatum ini muncul setelah adanya keluhan dari pelaku usaha terkait dugaan penyimpangan dan praktik ilegal yang melibatkan oknum DJBC, serta temuan nilai impor yang tidak masuk akal.
Sebagai respons terhadap permasalahan tersebut, Purbaya menyatakan siap menerapkan teknologi AI untuk mempercepat deteksi praktik *underinvoicing* dan mempercepat proses kepabeanan. Selain itu, ia menegaskan komitmennya untuk menindak tegas dan memecat pegawai yang terlibat dalam kasus suap, terutama terkait penyelundupan barang *thrifting*. Langkah-langkah ini diambil untuk membalikkan citra negatif DJBC dan meningkatkan kinerja, mengingat ancaman pembekuan instansi yang pernah terjadi di era Orde Baru.









