Sebuah video viral di media sosial, diunggah oleh Arlius Zebua (@arli_alcatraz), menampilkan momen protes di salah satu gerai Roti’O di Halte Transjakarta Monas. Insiden ini terjadi ketika seorang kasir menolak pembayaran menggunakan uang tunai, membuat seorang nenek kesulitan membeli roti karena hanya menerima transaksi non-tunai melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Video tersebut, yang diunggah pada Jumat, 19 Desember 2025, dengan cepat menarik perhatian publik atas isu penting seputar hak konsumen dan sistem pembayaran di Indonesia.
Dalam rekaman tersebut, Arlius dengan tegas menyuarakan keberatannya. “Jadi lucu, negara Indonesia harus QRIS, jadi nenek yang seperti ini enggak ada QRIS-nya gimana? Jadi ini perlu diperhatikan,” ujarnya, menyoroti realitas sebagian masyarakat yang belum akrab dengan teknologi pembayaran digital. Ia mendesak kasir agar tetap menerima uang tunai sebagai alat pembayaran yang sah dan meminta pihak gerai menghubungi manajemen terkait kebijakan ini. Melihat sang nenek yang tampak sedih karena tidak bisa bertransaksi, Arlius bahkan melayangkan somasi terbuka kepada Direktur PT Sebastian Citra Indonesia, selaku pengelola Roti’O, menuntut evaluasi atas Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengharuskan pembayaran non-tunai via QRIS.
Insiden yang cepat menyebar ini sontak memicu respons dari pihak Roti’O. Melalui akun Instagram resmi @rotio.indonesia pada Sabtu, 20 Desember 2025, manajemen menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Mereka menjelaskan bahwa penerapan sistem pembayaran non-tunai, termasuk QRIS, bertujuan untuk menawarkan kemudahan, promo, serta potongan harga bagi para pelanggan setia. Pihak Roti’O juga menegaskan telah melakukan evaluasi internal guna memastikan pelayanan yang lebih optimal di masa mendatang.
Menanggapi polemik ini, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi, angkat bicara. Menurutnya, praktik penolakan uang tunai dan pemonopolian pembayaran melalui QRIS tidak dapat dibenarkan, baik dari perspektif regulasi maupun sosiologis. Tulus Abadi secara gamblang menyatakan bahwa penolakan transaksi menggunakan uang tunai merupakan pelanggaran hukum, mengacu pada Undang-Undang tentang Mata Uang dan/atau Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Ia juga menyoroti bahwa secara sosiologis, uang tunai masih memegang peranan dominan sebagai alat transaksi di tengah masyarakat, jauh melampaui penggunaan QRIS atau metode non-tunai lainnya. Berdasarkan catatannya, pada tahun 2023, 80 persen transaksi di Indonesia masih menggunakan uang tunai, meskipun angka ini sedikit menurun dari 84 persen di tahun 2022. Sementara itu, total transaksi non-tunai, termasuk QRIS, baru mencapai 20 persen secara keseluruhan, meski menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Data ini menegaskan bahwa transisi penuh ke arah pembayaran digital masih memerlukan waktu dan adaptasi luas.
Tulus Abadi menekankan pentingnya peran Bank Indonesia sebagai inisiator QRIS untuk secara aktif mengingatkan pelaku usaha, asosiasi, dan masyarakat bahwa QRIS adalah opsi pembayaran, bukan keharusan. Ini berarti uang tunai tetap diakui sah secara regulasi dan dominan dalam perilaku sosiologis masyarakat. Ia juga menambahkan, kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, harus gencar memberikan edukasi kepada pemangku kepentingan agar para pelaku ekonomi tetap menyediakan akses pembayaran berbasis tunai.
Di satu sisi, Tulus Abadi mengapresiasi terobosan Bank Indonesia dalam memperluas jangkauan QRIS hingga ke beberapa negara seperti Singapura, Thailand, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan targetnya ke Cina. Ekspansi ini menunjukkan potensi positif pembayaran digital. Namun, ia mengingatkan bahwa transisi menuju budaya transaksi non-tunai memerlukan waktu dan sosialisasi masif. Hal ini krusial mengingat karakter masyarakat konsumen Indonesia yang sangat majemuk, baik dari segi sosial, ekonomi, pendidikan, maupun tingkat literasi digital.
Bank Indonesia, selaku bank sentral, turut memberikan penjelasan resmi terkait sistem pembayaran tunai dan non-tunai. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Filianingsih Hendarta, menegaskan bahwa masyarakat memiliki kebebasan memilih metode pembayaran sesuai kenyamanan masing-masing, begitu pula pedagang. Kunci utamanya adalah transaksi harus tetap diterima selama menggunakan mata uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Filianingsih menambahkan, seperti dikutip dari unggahan Instagram @bank_indonesia pada Sabtu, 20 Desember 2025, bahwa QRIS hanyalah sebuah kanal; sumber dananya tetap berasal dari tabungan, uang elektronik, atau kartu kredit.
Keabsahan uang tunai sebagai alat pembayaran di Indonesia diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pasal 23 undang-undang ini secara eksplisit menyebutkan bahwa pembayaran dengan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh ditolak, kecuali ada keraguan terhadap keasliannya. Penolakan atas transaksi yang menggunakan Rupiah yang sah dapat berujung pada sanksi pidana penjara maksimal satu tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Aturan ini jelas memberikan landasan hukum yang kuat bagi konsumen dan menjaga stabilitas sistem pembayaran nasional.
Insiden di Roti’O ini seolah menjadi cerminan dari tantangan di era pembayaran digital yang kian masif. Ketika teknologi terus berkembang pesat, seperti yang disinggung dalam wacana “Era Pembayaran Digital Berbasis Akal Imitasi”, penting untuk memastikan bahwa kemajuan ini tidak meninggalkan sebagian besar masyarakat. Keseimbangan antara inovasi dan inklusivitas menjadi kunci agar setiap lapisan masyarakat dapat menikmati kemudahan bertransaksi tanpa harus mengorbankan hak-hak dasarnya.








