Eddy D Iskandar, nama yang tak asing bagi pencinta novel remaja, terutama berkat mahakaryanya, Gita Cinta dari SMA. Novel ini kemudian menjelma menjadi film yang sangat populer, lengkap dengan lagu tema yang melegenda.
Saya sendiri memiliki kenangan khusus dengan karya-karya Eddy D Iskandar. Mulai dari membaca novelnya, menyaksikan film adaptasinya di bioskop, hingga sekadar menikmati alunan lagu temanya. Kisah perkenalan saya dengan penulis dan karya-karyanya ini, barangkali cukup menarik untuk dibagikan.
Berkenalan dengan Dunia Bacaan dan Eddy D Iskandar
Kisah “pulang kampung ke rumah nenek” saya sedikit berbeda. Bukan dari kota besar ke desa yang tenang, melainkan dari kota kecil Donggala, Sulawesi Tengah, menuju Surabaya yang ramai. Liburan sekolah menjadi kesempatan emas untuk menikmati perjalanan ini beberapa kali dalam setahun.
Surabaya bagi saya adalah surga bacaan. Di sana, saya menemukan banyak sekali penjual buku, koran, dan majalah, termasuk majalah impor. Tak ketinggalan, lapak-lapak buku bekas yang berjejer di jalanan, menawarkan harta karun bagi para pencinta buku.
Di kota inilah saya pertama kali mengenal komik dan novel. Saya membeli, menyewa, dan melahapnya satu per satu. Termasuk karya-karya Eddy D Iskandar, dengan Gita Cinta dari SMA sebagai yang paling membekas di hati.
Novel ini langsung menjadi bacaan favorit saya. Gaya penulisan Eddy D Iskandar yang ringan, bahasa yang populer, serta romansa yang memikat dalam menggambarkan karakter tokohnya, membuat saya jatuh cinta pada karyanya.
Gita Cinta dari SMA Berlanjut Puspa Indah Taman Hati
Kesuksesan Gita Cinta dari SMA mendorong Eddy D Iskandar untuk menulis sekuelnya, Puspa Indah Taman Hati. Ketika membacanya, saya langsung merasakan adanya perubahan konteks cerita.
Jika Gita Cinta dari SMA jelas berlatar kehidupan SMA, maka Puspa Indah Taman Hati membawa Ratna, sang tokoh utama, memasuki dunia perkuliahan. Bagi saya yang saat itu masih jauh dari kehidupan kampus, novel ini memberikan wawasan baru. Karakter-karakter yang dimainkan pun terasa lebih dewasa dari sebelumnya.
Ratna, yang sudah cukup matang di Gita Cinta dari SMA, semakin dewasa di Puspa Indah Taman Hati. Permasalahan hidup yang dihadapi pun menjadi lebih kompleks dan “berat.”
Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati dalam Layar Lebar
Saya berkesempatan menonton kedua film adaptasi dari novel Eddy D Iskandar. Tentu saja, yang pertama kali difilmkan adalah Gita Cinta dari SMA, dengan Rano Karno dan Yessy Gusman sebagai pemeran utama. Keduanya tengah naik daun dan menjadi idola remaja pada masa itu.
Pemilihan aktor dan aktris ini sangat tepat, memenuhi ekspektasi para pembaca novel dan penonton film remaja. Melalui film ini pula, saya akhirnya mengetahui bagaimana karakter suara Yessy Gusman yang sangat khas.
Menonton Gita Cinta dari SMA membuat saya menyadari bagaimana imajinasi yang saya bangun saat membaca novel, tiba-tiba terwujud di depan mata. Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa dunia membaca sebenarnya jauh lebih indah daripada dunia visual.
Ya, apa yang tersaji di layar lebar ternyata tidak seindah imajinasi saya saat membaca novelnya. Teater di dalam benak saya bermain dengan bebas, sesuai dengan interpretasi saya terhadap bahasa teks.
Baru kemudian saya menyadari bahwa mengalihwahanakan sebuah kisah membutuhkan penanganan yang sesuai dengan genrenya. Kisah romansa yang puitis dalam novel, akan kehilangan pesonanya jika tidak ditangani dengan visual yang juga romantis.
Seingat saya, film Puspa Indah Taman Hati justru semakin mengikis imajinasi dan kesan yang sudah terpatri dalam benak saya. Meski demikian, kedua film ini tetap memperkaya pemikiran saya dan menjadi bekal berharga dalam memahami proses alih wahana.
Dua Gaya Rambut di Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati
Selain perbedaan interpretasi antara novel dan film, ada satu hal menarik yang saya perhatikan, yaitu perbedaan penampilan Ratna di kedua film tersebut.
Di film Gita Cinta dari SMA, Ratna berambut keriting dan pendek. Sementara di film Puspa Indah Taman Hati, Ratna tampil dengan rambut lurus dan panjang, berponi pula.
Sebagai seorang mahasiswi, Ratna digambarkan dengan tubuh ramping dan mengenakan celana jins, mirip dengan karakter-karakter utama dalam drama Korea.
Seiring berjalannya waktu, saya memahami bahwa karakter tokoh memang harus bertumbuh seiring dengan perkembangan cerita. Bukan hanya kepribadiannya (inside), tetapi juga penampilannya (outside).
Itulah pengalaman dan kesan saya dalam membaca kedua novel dan menonton kedua film adaptasi Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati. Pengalaman ini turut memperkaya hidup saya, terutama ketika saya memutuskan untuk berkarir sebagai editor di dunia penerbitan, dan sesekali menulis fiksi dan nonfiksi dengan gaya naratif yang saya sukai.
Ringkasan
Artikel ini mengisahkan pengalaman pribadi penulis dengan karya Eddy D Iskandar, khususnya novel “Gita Cinta dari SMA” dan sekuelnya, “Puspa Indah Taman Hati”, serta adaptasi filmnya. Penulis menceritakan bagaimana novel-novel tersebut, terutama “Gita Cinta dari SMA”, menjadi favoritnya karena gaya penulisan yang ringan dan romansa yang memikat. Ia juga membandingkan pengalaman membaca novel dengan menonton film adaptasinya.
Penulis mengamati perbedaan interpretasi antara novel dan film, serta perubahan penampilan tokoh Ratna dari film “Gita Cinta dari SMA” ke “Puspa Indah Taman Hati”. Pengalaman ini memperkaya pemikiran penulis dan menjadi bekal berharga dalam memahami proses alih wahana, yang kemudian berpengaruh pada karirnya di dunia penerbitan dan penulisan.








