Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Kali ini, operasi senyap tersebut menyasar Provinsi Riau, terkait dugaan tindak pidana pemerasan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Riau.
Dalam operasi yang berlangsung pada Senin (3/11) lalu, tim KPK turut mengamankan Gubernur Riau, Abdul Wahid. Penangkapan ini menjadi sorotan utama dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah.
“Yang pasti, OTT ini terkait dugaan tindak pidana korupsi, dugaan tindak pemerasan yang berkaitan dengan anggaran di Dinas PUPR,” tegas Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, kepada awak media pada Selasa (4/11). Penjelasan ini mengonfirmasi fokus penyidikan pada pengelolaan anggaran di dinas tersebut.
Lebih lanjut, Budi menjelaskan bahwa dugaan pemerasan ini terkait erat dengan proses penganggaran di Dinas PUPR, yang membawahi sejumlah Unit Pelaksana Teknis (UPT). “Jadi, dugaan tindak pemerasan ini terkait dengan penganggaran yang ada di Dinas PUPR, di mana Dinas PUPR itu kan nanti ada UPT-UPT-nya,” imbuhnya.
Modus operandi yang terungkap dalam kasus ini melibatkan praktik yang disebut ‘jatah preman’. Dalam penambahan anggaran di Dinas PUPR, diduga ada alokasi sejumlah persentase tertentu sebagai ‘jatah preman’ untuk kepala daerah. “Terkait dengan penambahan anggaran di Dinas PUPR tersebut, kemudian ada semacam japrem/jatah preman sekian persen begitu untuk kepala daerah, itu modus-modus,” ungkap Budi.
Saat ini, Abdul Wahid dan sembilan orang lainnya yang terjaring OTT sedang menjalani pemeriksaan intensif oleh penyidik KPK. Mereka terdiri dari berbagai unsur, termasuk pejabat dan pihak swasta. “Jadi ada gubernur, Kepala Dinas PUPR, Sekretaris Dinas PUPR, kemudian 5 kepala UPT, dan 2 pihak swasta yang merupakan Staf Ahli ya atau Tenaga Ahli, yang juga merupakan orang kepercayaan gubernur,” papar Budi.
Selain mengamankan para terduga pelaku, KPK juga menyita barang bukti berupa uang tunai senilai Rp 1,6 miliar. Uang tersebut terdiri dari pecahan rupiah dan mata uang asing, yang diduga merupakan bagian dari penyerahan kepada kepala daerah. KPK menduga bahwa penyerahan ini bukan yang pertama kali terjadi. “Tim juga mengamankan barang bukti di antaranya sejumlah uang dalam bentuk rupiah, dolar Amerika, dan juga poundsterling, yang total kalau dirupiahkan sekitar Rp 1,6 miliar. Uang itu diduga bagian dari sebagian penyerahan kepada kepala daerah,” jelas Budi.
Indikasi praktik korupsi yang sistematis semakin menguat dengan dugaan adanya penyerahan-penyerahan sebelumnya. “Artinya, kegiatan tangkap tangan ini adalah bagian dari beberapa atau dari sekian penyerahan sebelumnya. Jadi, sebelum kegiatan tangkap tangan ini diduga sudah ada penyerahan-penyerahan lainnya,” terang Budi.
Penyidik KPK menyita uang pecahan rupiah di Provinsi Riau, sementara mata uang asing ditemukan di kediaman Abdul Wahid di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa penyidikan dilakukan secara komprehensif di berbagai lokasi.
Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, KPK telah menetapkan tersangka dalam kasus ini. “Kami tadi sudah melakukan ekspose di level pimpinan dan sudah ditetapkan pihak-pihak yang bertanggung jawab dan menjadi tersangka dalam perkara ini,” ujar Budi.
Namun, identitas dan jumlah tersangka baru akan diumumkan secara resmi dalam konferensi pers yang dijadwalkan pada Rabu (5/11). “Namun, berapa yang ditetapkan sebagai tersangka dan siapa saja, besok kami akan sampaikan dalam konferensi pers,” pungkasnya. Publik menantikan informasi lebih lanjut terkait perkembangan kasus ini.
Ringkasan
KPK melakukan OTT di Provinsi Riau terkait dugaan pemerasan di Dinas PUPR. Gubernur Riau, Abdul Wahid, turut diamankan dalam operasi tersebut. Diduga, pemerasan ini terkait dengan penganggaran di Dinas PUPR dan melibatkan praktik ‘jatah preman’ untuk kepala daerah.
Selain Gubernur, beberapa pejabat Dinas PUPR dan pihak swasta juga diamankan. KPK menyita barang bukti berupa uang tunai sekitar Rp 1,6 miliar dalam berbagai mata uang. KPK menduga praktik ini telah terjadi berulang kali. Identitas tersangka akan diumumkan dalam konferensi pers.









