
Kasus keracunan terkait MBG dilaporkan masih terus terjadi hingga pekan lalu. Insiden terbaru menimpa lebih dari 426 siswa SMAN 1 Yogyakarta yang mengalami diare dan sakit perut setelah mengonsumsi MBG pada Kamis (16/10) dini hari. Kejadian ini menambah panjang daftar kasus yang mengkhawatirkan.
Secara kumulatif, data Kementerian Kesehatan per 5 Oktober mencatat bahwa jumlah korban keracunan terkait MBG sejak awal tahun telah melampaui 11.000 orang dari 119 insiden. Maraknya kasus keracunan ini telah memicu gelombang penolakan yang meluas, baik dari kalangan orang tua siswa maupun pihak sekolah sendiri.
Beberapa sekolah bahkan menunjukkan keberanian untuk tetap berpegang pada prinsipnya, menolak program andalan pemerintahan Prabowo Subianto yang mengalokasikan anggaran fantastis hingga ratusan triliun rupiah. Penolakan ini beralasan kuat, yaitu karena sekolah-sekolah tersebut telah sukses mengoperasikan program makanan bergizi mandiri yang terbukti efektif.
Sebagai respon atas dinamika ini, BBC News Indonesia telah melakukan penelusuran mendalam untuk mengumpulkan inisiatif program makanan bergizi mandiri di berbagai wilayah, termasuk di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Laporan ini juga mengupas tuntas bagaimana program-program mandiri tersebut dijalankan, menyoroti aspek keberhasilan dan tantangan yang dihadapi. Artikel ini juga akan menganalisis apakah inisiatif mandiri ini mampu menjadi solusi mitigasi terhadap insiden keracunan terkait MBG, serta mengeksplorasi potensi penerapannya secara lebih luas, bahkan hingga ke wilayah pedalaman.
‘Pilih dapur sehat karena enak, kalau MBG takut’
Di Solo, Jawa Tengah, sebuah pemandangan inspiratif terlihat di ‘Dapur Sehat SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Surakarta’. Sejumlah perempuan sibuk beraktivitas di bangunan dapur yang telah beroperasi sejak tahun 2015, jauh sebelum program MBG besutan pemerintahan Prabowo resmi dimulai. Dapur yang menyatu dengan kantin sekolah ini tidak hanya menjadi pusat produksi makanan, tetapi juga kebanggaan, terbukti dengan berbagai sertifikat penghargaan terkait kebersihan dan higienitas yang terpampang di tembok, baik dari tingkat kota maupun nasional.
Setidaknya lima pegawai perempuan di dapur tersebut sibuk mempersiapkan dan menata menu makanan yang akan disajikan untuk total 680 orang, terdiri dari 615 siswa dan 65 karyawan sekolah. Pada kesempatan itu, menu nasi kari siap memanjakan lidah. Menjelang pukul 12.00 WIB, staf sekolah dengan cekatan mengantarkan nasi, kuah, dan lauk racikan dapur sehat ke depan setiap kelas. Bel istirahat berbunyi, para siswa bergegas mencuci tangan, berdoa, lalu mengantre untuk mengambil makan siang. Masing-masing siswa membawa piring keramik mereka, mengambil nasi dan kuah sendiri, sementara guru membantu menambahkan lauk. Pemandangan siswa yang lahap menyantap kari ayam di dalam kelas menjadi bukti nyata keberhasilan program ini.
Selena, seorang siswi kelas III berusia 8 tahun, dengan ceria mengungkapkan kegemarannya terhadap menu nasi kari, namun favoritnya tetap nasi goreng dan soto. Ketika dihadapkan pada pilihan antara makan siang dari dapur sehat sekolah atau program MBG, Selena tanpa ragu memilih makanan sekolah. Pilihan ini didasari oleh rasa takut dan khawatir Selena terhadap isu keracunan yang marak terjadi pada makanan MBG di berbagai daerah. “Cocok kalau makan nasi dapur sehat. [Kalau MBG] tidak mau karena takut keracunan,” ujarnya polos. Perasaan serupa juga diungkapkan oleh Hamdan Zulfa Al Fatih, yang memilih hidangan dapur sehat sekolah karena rasanya yang enak, sementara ia mengaku takut dengan MBG.
Winarsi, pengelola Dapur Sehat SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Solo, menjelaskan bahwa dapur mandiri ini telah beroperasi sejak 2015 sebagai bagian dari inisiatif sekolah sehat. Tujuan utamanya adalah memastikan dan menyediakan makanan yang benar-benar sehat bagi siswa, mengatasi kekhawatiran akan tingkat kebersihan pedagang di sekitar sekolah. Lebih dari itu, dapur sehat ini juga menjadi sarana pendidikan karakter, khususnya dalam membiasakan anak-anak mengonsumsi sayur di tengah dominasi makanan cepat saji.
Winarsi merinci bahwa makan siang yang disajikan dapur sehat dijual seharga Rp10.000 per porsi dengan variasi menu setiap hari. Transparansi adalah kunci, daftar menu bahkan disusun dan diumumkan satu bulan ke depan kepada orang tua melalui grup kelas, memungkinkan mereka mengetahui sajian sayur dan lauk. Apabila ada siswa dengan alergi, orang tua dapat memberitahu sekolah agar pihak dapur dapat mengganti lauk yang sesuai. Untuk menjaga kandungan gizi setiap sajian, pihak sekolah menggandeng Dinas Kesehatan Solo, khususnya Puskesmas Setabelan, dalam pengukuran dan penentuan gizi menu. Dapur sehat ini juga efektif menanamkan kebiasaan antre dan sikap tidak boros pangan, yang dianggap penting dalam pembentukan karakter siswa sejak dini. “Kita itu memang memilihnya itu piring yang keramik itu sehingga bagaimana anak-anak bisa menjaga keamanan piring itu mulai dia ambil dengan mengantre sambil nanti kembali lagi ke tempatnya,” imbuh Winarsi.
Selama satu dekade beroperasi, dapur sehat yang menyatu dengan kantin sekolah ini telah meraih berbagai penghargaan dan bahkan menjadi rujukan studi banding bagi sejumlah sekolah baik di Solo Raya maupun luar Jawa. Namun, pelaksanaan program MBG yang seharusnya dimulai akhir September lalu di sekolah ini harus ditunda karena keberatan dari pihak sekolah dan orang tua, khawatir akan kelangsungan operasional dapur sehat yang telah berjalan satu dekade tersebut.
Pj Kepala Sekolah SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Sri Martono Lanjar Sari, menegaskan bahwa pada dasarnya sekolah tidak menolak tawaran program MBG. Namun, ia berharap agar pengelolaan MBG dapat dipercayakan kepada pihak sekolah sendiri yang telah memiliki dapur mandiri dan pengalaman. Senada, Winarsi khawatir jika program MBG dikelola oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) setempat, lima pegawai dapur sekolah yang telah mengabdi 10 tahun akan kehilangan pekerjaan. Ia berharap kesempatan pengelolaan MBG diberikan kepada sekolah agar pembiasaan positif siswa dapat terus berkelanjutan.
Salah satu orang tua siswa, Cici (45 tahun), mengungkapkan kekhawatiran dan ketakutan wali murid di SD Muhammadiyah 1 Ketelan akibat insiden keracunan MBG di berbagai daerah. “Secara otomatis kami merasa khawatir, takut, dan was-was dengan kondisi seperti itu. Kami sebagai orangtua siswa tidak mau anak-anak kami mengalami hal seperti itu,” tegasnya. Cici berharap insiden keracunan menjadi evaluasi pemerintah dan mengizinkan pengelolaan MBG langsung oleh pihak kantin atau dapur sekolah, mengingat kualitas dapur sehat di SD Muhammadiyah yang sudah terbukti. Keluhan orang tua yang menginginkan MBG masuk dan dikelola kantin sekolah demi kesehatan dan keamanan anak-anak adalah harapan besar yang ia sampaikan, agar mereka bisa tenang melepas anaknya berangkat ke sekolah.
Perdebatan seputar program MBG juga semakin panas menyusul insiden keracunan massal yang melibatkan lebih dari 1.000 siswa di Bandung Barat, dengan laporan “anak saya kejang-kejang, sesak nafas”. Sementara itu, program MBG terus beroperasi meskipun ribuan kasus keracunan terjadi, dengan alasan “Sertifikat laik kebersihan sedang diurus”.
Wali murid di Pamekasan pilih program berbayar ketimbang MBG
Inisiatif serupa juga terlihat di Pamekasan, Jawa Timur, di mana Raudhatul Athfal (RA) Insan Cendekia dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Qur’an Internasional (MIQI) Darussalam memilih untuk tidak menjalankan program MBG. Lembaga pendidikan ini memilih untuk melanjutkan program makanan bergizi mandiri yang sudah berjalan sekitar tiga tahun, meskipun program mandiri ini berbayar dengan iuran harian sekitar Rp5.000 per siswa.
Kepala Sekolah Herman menjelaskan pada awal Oktober bahwa keputusan ini diambil setelah survei internal dan kesepakatan antara lembaga dengan yayasan. Pihak sekolah belum siap menerima MBG, terutama karena wali murid juga tetap menghendaki menu yang sudah ada di lembaga. Herman menegaskan bahwa secara prinsip, sekolah tidak menolak program MBG, melainkan belum siap menghadapi berbagai masalah yang mungkin muncul, termasuk insiden keracunan yang marak belakangan ini.
Selain itu, program makan mandiri mereka dinilai sudah efektif, lebih dipercaya oleh wali murid, dan menunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan serta kesepakatan bersama, bahkan dengan pencatatan khusus bagi siswa yang memiliki alergi makanan. Program makan siang bergizi ini digagas sejak lembaga pendidikan itu berdiri pada Juni 2023, berangkat dari keinginan pihak sekolah untuk menjauhkan siswa dari makanan berbahaya dan memenuhi gizi tambahan. Mereka juga bertujuan merajut kebersamaan dan membentuk karakter anak-anak melalui tata cara makan yang baik dan benar sejak dini.
Firli Nisa, salah satu wali murid, secara pribadi memilih program makan bergizi berbayar yang ada di sekolah karena dinilai lebih sehat untuk anak-anaknya. Puri Sosianti juga setuju agar program sekolah dilanjutkan, sebab menu yang diberikan lebih meyakinkan dibanding MBG. Ia merasa tidak tahu menu MBG setiap harinya dan merasa kurang yakin meskipun gratis, sementara program sekolah sudah transparan dengan daftar menu bulanan.
Berbeda dengan sekolah di Solo, makanan hasil olahan dapur mandiri di Pamekasan ini dibagikan pada pagi hari, saat jam istirahat sekitar pukul 09.00 WIB. Para siswa dikumpulkan di teras madrasah, duduk bersila, mengikuti arahan guru. Setelah doa bersama, guru membagikan sepiring soto lengkap dengan buah jeruk. Para murid tampak lahap menyantap makanan, bahkan tak sedikit yang “nambah”. Qotrunnada Abror (6 tahun), siswi kelas I MIQI Darussalam, mengaku senang mendapatkan makanan bergizi di sekolah dengan menu yang selalu berubah, seperti kue pukis, puding, dan menu lainnya.
Awalnya, penyiapan menu melibatkan guru, namun seiring waktu, bantuan warga sekitar diminta untuk memasak dan menyiapkan menu bagi 63 siswa. Pihak sekolah juga menunjuk seorang guru sebagai koordinator untuk memastikan penyajian hingga sampai ke siswa. Tantangan utama adalah menyiapkan menu berbeda bagi anak-anak dengan alergi tertentu, bahkan ada yang fobia nasi sehingga disiapkan wafer sebagai pengganti. Herman menegaskan, “Kami sudah mewanti-wanti kepada tim dan kepada yang masak bahwa ini diberikan ke anak-anak, jangan sampai makanan sehat ini menjadi tidak sehat.”
Puri Sosianti Astrina, yang berprofesi sebagai bidan, menilai menu makan siang dari sekolah cukup memenuhi kebutuhan gizi anaknya sesuai harapan orang tua, dengan adanya sayur, ikan, dan buah-buahan setiap hari Jumat dan Sabtu. Transparansi menu bulanan juga diterapkan melalui grup WhatsApp orang tua, memastikan mereka selalu tahu apa yang akan disantap anak-anaknya. Kasus keracunan massal MBG di NTT yang menyebabkan “Perut seperti tertusuk, saya trauma” dan laporan ribuan siswa keracunan MBG yang membuat orang tua trauma dan melarang anaknya mengonsumsi MBG, semakin memperkuat keputusan wali murid di Pamekasan ini.
Sekolah di Tasikmalaya menyediakan makanan untuk murid sejak hampir 30 tahun lalu tapi tidak pernah ada kasus keracunan
Jauh sebelum program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan, Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Yayasan Al Muttaqin Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, telah rutin menyediakan makan siang yang diolah dan disajikan secara mandiri di dapur sekolah. Praktik ini sudah berjalan selama 29 tahun, tepatnya sejak SD Al Muttaqin berdiri pada 1996, didasari oleh kebutuhan siswa yang bersekolah sepanjang hari. “Kami dengan yayasan berinisiatif anak-anak makan saja di sini [sekolah] supaya tidak bawa dari rumah. Lumayan ribet orang tua juga [menyiapkan bekal sekolah],” ungkap Kepala Sekolah SD Al Muttaqin, Otong Tatang.
Awalnya, dapur sekolah dikelola oleh pihak ketiga, namun karena sulit mengontrol kualitas makanan, yayasan memutuskan untuk mengelola dapur secara mandiri dengan merekrut sejumlah pegawai pada tahun 2002. “Kalau sekarang, kami di sini menyediakan dapur sendiri dan kelihatan memasaknya seperti apa, kami lebih yakin. Dan Alhamdulillah dari mulai berdiri sampai sekarang tidak ada kejadian yang menyusahkan anak-anak, terutama dari makanan ini,” ucap Otong bangga.
Yayasan Al Muttaqin memiliki tiga dapur sekolah terpisah untuk setiap jenjang pendidikan (SD, SMP, dan SMA), melayani total lebih dari 3.000 murid dan staf sekolah. Humas LPI Yayasan AL Muttaqin, Yayan Sofyan, menjelaskan bahwa ini dilakukan untuk memberikan layanan yang berbeda sesuai kebutuhan. Porsi makan murid SD berbeda dengan SMP, di mana SMP membutuhkan karbohidrat lebih banyak karena aktivitas yang menghabiskan banyak energi. Sementara untuk murid SMA, disajikan dengan konsep prasmanan yang berbeda lagi.
Sejak tahun 2010, Yayasan Al Muttaqin bahkan memperkerjakan ahli gizi untuk memastikan kualitas gizi peserta didiknya dan menjamin keamanan makanan guna mencegah kasus keracunan. Dana operasional dapur sekolah bersumber dari iuran sekolah yang dikelola oleh yayasan, memberikan keleluasaan bagi orang tua murid untuk mengusulkan menu dan memantau langsung proses memasak. Berbagai insiden keracunan MBG yang dikaitkan dengan bahan mentah yang disorot, hingga teka-teki kematian siswi SMK di Bandung Barat, serta laporan “anak saya kejang-kejang, sesak nafas” dari lebih dari 1.000 siswa di Bandung Barat yang diduga keracunan MBG, menjadi latar belakang mengapa kontrol kualitas di dapur mandiri sekolah ini sangat krusial.
Kesibukan di dapur SD Al Muttaqin dimulai sejak pukul 03.00 WIB, saat koki dan asistennya menyiapkan bahan baku sesuai jadwal menu. Memasak dimulai pukul 05.00 WIB untuk lebih dari 1.000 porsi makan siang, dengan sayur sop sebagai menu terakhir yang dimasak. Makanan yang sudah matang kemudian didinginkan sebelum ditata dalam wadah. “Kalau mulai pukul 05:00 itu, masak beres sekitar pukul 08:00 WIB. Lalu, kami porsi [menata makanan dalam wadah] sampai sekitar pukul 10:00-11:00 WIB, tergantung menu yang disajikan juga,” papar Penanggung Jawab dan Ahli Gizi Dapur Yayasan Al Muttaqin, Siti Rahayu.
Penyajian makanan dikelompokkan berdasarkan kelas; murid kelas 1 dan 2 dibagikan di kelas masing-masing, sementara kelas 3 hingga 6 mengambil sendiri di ruang makan. Siti menjelaskan bahwa standar gizi mengacu pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) dengan komposisi karbohidrat, protein, sayur, buah, atau makanan sesuai permintaan murid. Menu disesuaikan dalam siklus mingguan (dua kali ayam, satu kali telur, satu kali ikan, dan satu kali daging sapi). Pihak sekolah sangat terbuka terhadap masukan menu dari orang tua, terutama untuk murid dengan alergi atau sakit. Makanan pengganti selalu disiagakan, dan bahkan permintaan menu viral seperti seblak dipenuhi dengan tetap memperhatikan AKG.
Meskipun tidak ada bahan makanan yang dilarang, fokus utama adalah makanan alami dan segar, menghindari ultra processed food (UPF). UPF kadang digunakan atas izin orang tua untuk memenuhi keinginan murid. Kasus keracunan yang marak belakangan ini telah memperketat pengawasan bahan baku. “Kalau pun masih fresh juga, jangan henti dicek,” tegas Siti, menekankan pentingnya pengecekan berkala pada proses penyimpanan dan suhu freezer. Kebersihan dapur, alat makan, dan masak dilakukan secara berkala setiap hari, dengan pembersihan menyeluruh setiap satu atau dua bulan oleh 11 pegawai. Dapur mandiri SD Al Muttaqin juga telah mengantongi Sertifikat Laik Higiene-Sanitasi (SLHS) dari Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya pada 2018, yang saat ini sedang dalam proses perpanjangan.
Ela, orang tua murid sekaligus pengurus Komite Sekolah, merasa sangat terbantu dengan dapur mandiri ini. Anaknya yang awalnya pemilih kini mau makan berbagai jenis makanan berkat pengaruh teman-teman. Ia sangat mengapresiasi sekolah yang menyediakan makan siang, meringankan tugas orang tua yang kesulitan menyiapkan bekal. Orang tua juga diberi keleluasaan memantau dan mengusulkan menu. Otong Tatang mengklaim, selama 29 tahun, tidak pernah terjadi kasus keracunan. Humas LPI Yayasan Al Muttaqin, Yayan Sofyan, menegaskan keinginan yayasan untuk mengelola program MBG sendiri melalui dapur mandiri sekolah, untuk mempertahankan layanan dan karyawan katering. Ela pun tidak yakin orang tua dapat terlibat menentukan menu dan memantau operasional dapur jika MBG masuk.
Rentetan insiden keracunan MBG, seperti laporan guru dan murid SDN 4 Wonorejo Jateng yang “keracunan” sajian MBG, dan lini masa dugaan keracunan dari ayam kecap basi hingga daging mentah berdarah, semakin memperkuat urgensi pengelolaan makanan yang transparan dan higienis. Selain itu, isu ini juga relevan dengan pembahasan tren obesitas anak dan remaja di Indonesia yang naik tiga kali lipat selama dua dekade terakhir, menurut riset Unicef, menunjukkan perlunya program makanan bergizi yang benar-benar berkualitas.
‘Makanan sehat tidak perlu aneh-aneh’
Ahli gizi, dokter Tan Shot Yen, sangat mendukung konsep “Isi Piringku” yang diterapkan dapur mandiri sekolah. Ia menyatakan bahwa makanan yang disajikan telah memenuhi gizi jika konsep ini dijalankan dengan baik, membagi piring menjadi dua bagian besar: separuh diisi sayur dan buah, separuh sisanya makanan pokok (karbohidrat) dan lauk pauk (protein). “Makanan sehat itu tidak perlu aneh-aneh, simpel, murah, tapi kelihatan banget gizinya,” ujar dokter Tan, menegaskan bahwa adanya sayur, buah, makanan pokok, dan protein “itu cukup”. Ia memberikan contoh sederhana seperti nasi pecel dengan soto ayam dan buah pisang, atau nasi dengan ayam bakar dan sayur asem, yang sudah lebih dari cukup.
Dokter Tan menegaskan bahwa program makanan bergizi mandiri yang diproduksi dari dapur sehat milik sekolah dapat menjadi solusi mitigasi insiden keracunan terkait MBG. “Tentu saja. Karena dengan semakin pendek jarak antara dapur dengan penerima manfaat, itu akan semakin sempit kemungkinan keracunan itu muncul,” tegasnya, menekankan bahwa risiko kontaminasi bakteri akan semakin kecil.
Ia juga berpendapat bahwa inisiatif ini sangat mungkin diterapkan di daerah 3T (terdepan, terluar, terpencil), yang seharusnya menjadi target utama MBG. Dokter Tan mengkritik skema MBG yang bersifat sentralistik melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang dinilai menghadapi kesulitan besar dalam memastikan pengiriman makanan tepat waktu dan berkualitas ke daerah-daerah dengan akses sulit, jauh dari pusat kota, atau terisolasi karena infrastruktur yang kurang memadai. “Syarat dari BGN itu sangat keukeuh, mau dibangun SPPG yang sesuai dengan mereka punya kerangka acuan, yang mana kalau dipikir-pikir, kalau melihat medan, itu tidak dimungkinkan,” jelasnya.
Sebagai contoh, ia menyebut wilayah pegunungan Lani Jaya di Papua Tengah yang akan sulit dibangun dapur setara SPPG. Namun, di wilayah tersebut ada sekolah, dan alangkah baiknya jika ibu-ibu di sekitar sekolah diberdayakan sebagai relawan untuk mengelola dapur mandiri sekolah. “Kita bisa mengumpulkan orang-orang dari daerah-daerah yang cukup terpencil untuk bisa kita bina, kita didik,” ujarnya, sambil menambahkan bahwa bahan pangan untuk program tersebut bisa menggunakan bahan baku dari komunitas lokal.
Lebih lanjut, dokter Tan meragukan keberhasilan program MBG dengan kebijakan yang bersifat sentralistik atau dari atas ke bawah (top-down). Sebaliknya, ia meyakini pendekatan yang lebih efektif adalah yang bersifat inklusif, yaitu merangkul dan membuat masyarakat merasa memiliki program tersebut, bukan sekadar proyek pemerintah. “Kalau menurut saya itu jauh lebih ramah masyarakat,” pungkasnya.
Menyikapi berbagai masukan dan kritik, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa pemerintah kini membuka opsi agar program MBG tidak lagi sepenuhnya terpusat, melainkan melibatkan sekolah yang siap mengelola penyediaan makanan secara mandiri melalui konsep dapur sekolah (school kitchen). “Sehingga, tidak semuanya harus melalui cara seperti yang sekarang ini ada. Tapi, ini masih kami bicarakan di rapat lintas kementerian,” ujar Mu’ti seperti dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (16/10). Ia menambahkan bahwa mekanisme school kitchen ini masih dibahas dan sistem pengelolaan baru MBG secara keseluruhan akan dipastikan setelah Peraturan Presiden (Perpres) yang baru diterbitkan.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk terus menyempurnakan pelaksanaan program MBG agar tidak lagi ditemukan kasus keracunan makanan. Dalam orasi ilmiah saat Wisuda Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI) di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (18/10) lalu, Prabowo melaporkan bahwa program MBG telah mendistribusikan antara 1,3 hingga 1,4 miliar porsi makanan kepada 36,2 juta penerima. Dari jumlah itu, tercatat sekitar 8.000 kasus keracunan makanan, yang secara statistik setara dengan 0,0007 persen, atau tingkat keberhasilan program mencapai 99,99 persen. “Jadi di mana ada usaha manusia yang 99,99 persen berhasil, dibilang gagal. Tapi kita tidak mau ada satu pun, tidak boleh ada satu pun anak yang sakit,” kata dia.
Angka 8.000 kasus keracunan yang disebutkan Prabowo ini lebih sedikit dibandingkan data Kementerian Kesehatan melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR). Per 5 Oktober pukul 17.00 WIB, tercatat 119 kejadian dengan total 11.660 kasus keracunan MBG, dengan kejadian terbanyak terjadi di Jawa Barat sebanyak 34 kasus. Meskipun Prabowo telah menginstruksikan rapid test MBG untuk mencegah keracunan dan keberulangan status KLB, serta pemerintah menjadikan evaluasi SPPG dan standar higienis sebagai prioritas, kekhawatiran orang tua tetap tinggi, seperti laporan ribuan siswa keracunan MBG yang membuat “orang tua trauma dan larang anaknya konsumsi MBG – ‘Bukannya meringankan malah mau membunuh'”. Sementara itu, anggaran pendidikan terbesar sepanjang sejarah yang hampir setengahnya untuk MBG juga sempat dikoreksi, menambah kompleksitas perdebatan ini.
Reportase oleh Fajar Sodiq di Solo, Ahmad Mustofa di Pamekasan, Yuli Saputra di Tasikmalaya.









