News Stream Pro – Kebijakan pungutan bea keluar untuk ekspor emas telah resmi diberlakukan, memicu gelombang pertanyaan dan evaluasi di kalangan investor terkait prospek saham-saham emiten tambang emas. Langkah strategis ini tak pelak akan memengaruhi kinerja perusahaan pertambangan, mendorong investor untuk cermat memilih mana yang layak dibeli dan mana yang perlu diwaspadai di tengah dinamika pasar.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 80 Tahun 2025, yang diteken oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 17 November 2025, secara efektif mulai berlaku pada 23 Desember 2025. Beleid ini dirancang dengan tujuan ganda: mendukung inisiatif hilirisasi mineral emas di dalam negeri sembari menjaga keberlanjutan operasional usaha pertambangan. Skema tarif bea keluar akan disesuaikan berdasarkan Harga Referensi emas yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan serta jenis emas yang diekspor.
Berdasarkan Pasal 3 PMK 80/2025, tarif bea keluar ditetapkan bervariasi. Untuk harga referensi emas di kisaran 2.800 dolar AS hingga di bawah 3.200 dolar AS per troy ounce, tarif akan berkisar antara 7,5 persen hingga 12,5 persen. Namun, jika harga referensi mencapai 3.200 dolar AS per troy ounce atau lebih, tarif akan meningkat menjadi 10 persen hingga 15 persen, mencerminkan respons pemerintah terhadap fluktuasi harga komoditas global.
Managing Director Research and Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, menggarisbawahi potensi dampak kebijakan ini terhadap profitabilitas emiten penyuplai emas. Beberapa nama besar yang disebut akan terdampak meliputi PT United Tractors Tbk (UNTR), PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB).
Harry menilai, J Resources Asia Pasifik (PSAB) kemungkinan akan merasakan dampak paling signifikan. Hal ini lantaran seluruh penjualan emas perseroan sepenuhnya berorientasi ekspor, sehingga tekanan bea keluar akan langsung memangkas margin laba perusahaan secara substansial. Sebaliknya, dampak terhadap United Tractors (UNTR) diperkirakan lebih terbatas berkat diversifikasi bisnisnya, di mana emas bukan satu-satunya sumber pendapatan utama perseroan.
Untuk Bumi Resources Minerals (BRMS), kebijakan ini diperkirakan relatif aman. Seluruh penjualan emas yang dilakukan oleh BRMS berada di pasar domestik, sehingga tidak terpapar langsung oleh pungutan bea keluar. Menariknya, Aneka Tambang (ANTM) justru berpeluang meraup sentimen positif. Kebijakan ini diproyeksikan dapat meningkatkan pasokan emas di pasar domestik, membuka ruang bagi ANTM untuk menjalin kerja sama baru sebagai pembeli emas domestik, bahkan berpotensi menggantikan peran Freeport.
Tim analis JP Morgan Sekuritas Indonesia, yang terdiri dari Henry Wibowo, Arnanto Januri, dan Steven Suntoso, sepakat bahwa kebijakan bea keluar emas ini dapat menjadi pendorong perubahan strategi penjualan para emiten. Untuk United Tractors (UNTR), misalnya, mereka memproyeksikan pergeseran signifikan dari ekspor ke pasar domestik, dengan Aneka Tambang (ANTM) sebagai pembeli utama. Meski harga jual domestik biasanya 1 persen hingga 2 persen lebih rendah, langkah ini dinilai strategis untuk menghindari pungutan bea keluar, mengingat saat ini sekitar 80 persen hingga 90 persen penjualan emas UNTR masih bergantung pada pasar ekspor.
Meskipun ada potensi tekanan pada margin laba emiten berorientasi ekspor, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, melihat adanya faktor penyeimbang. Menurut Nafan, tekanan tersebut berpeluang tertutup oleh tren kenaikan harga emas global yang stabil. “Emas tetap menjadi aset safe haven, sehingga emiten berpotensi memperoleh manfaat dari kenaikan average selling price (ASP),” ujar Nafan, menegaskan posisi emas sebagai aset lindung nilai yang kuat.
Melihat potensi dan tantangan yang ada, proyeksi kinerja beberapa emiten tambang emas menjadi sorotan. Harry Su memperkirakan pendapatan United Tractors (UNTR) dapat mencapai Rp 132,2 triliun pada tahun 2025 dengan laba bersih Rp 16,2 triliun. Laba bersih UNTR diperkirakan akan kembali tumbuh pada tahun 2027 menjadi Rp 17,0 triliun.
Sementara itu, Aneka Tambang (ANTM) diproyeksikan mencatat pertumbuhan pendapatan yang solid sebesar 23,9 persen, mencapai Rp 85,7 triliun pada 2025, dan diprediksi meningkat lagi menjadi Rp 110,6 triliun pada 2026. Laba bersih ANTM pada 2025 diperkirakan menyentuh angka Rp 6,9 triliun. Tak kalah menarik, Bumi Resources Minerals (BRMS) diperkirakan akan mencatat lonjakan pendapatan signifikan menjadi Rp 4,3 triliun pada 2025 dan Rp 6,8 triliun pada 2026. Kinerja impresif ini didorong oleh kombinasi kenaikan harga emas dan volume produksi. Laba bersih BRMS diproyeksikan mencapai Rp 893 miliar pada 2025 dan melonjak menjadi Rp 1,8 triliun pada 2026.
Berdasarkan analisis tersebut, Harry Su merekomendasikan BUY untuk saham United Tractors (UNTR) dengan target harga Rp 31.000 per saham. Rekomendasi BUY juga diberikan untuk Aneka Tambang (ANTM) dengan target Rp 4.300 per saham, serta BUY untuk Bumi Resources Minerals (BRMS) dengan target Rp 1.300 per saham. Namun, ada pandangan berbeda dari analis lain.
JP Morgan Sekuritas Indonesia, misalnya, memberikan rekomendasi Neutral untuk saham United Tractors (UNTR) dengan target harga Rp 25.000 per saham. Di sisi lain, Nafan Aji Gusta dari Mirae Asset Sekuritas merekomendasikan ADD saham Aneka Tambang (ANTM) dengan target harga yang lebih konservatif, yakni Rp 3.300 per saham. Beragamnya rekomendasi ini mencerminkan kompleksitas pasar dan pentingnya bagi investor untuk melakukan riset mendalam sebelum mengambil keputusan.
Artikel ini sudah tayang di Kontan dengan judul Bea Keluar Emas Berlaku Besok (23/12), Ini Dampaknya ke Saham UNTR ANTM BRMS & PSAB









