JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi III DPR RI mengambil langkah signifikan dengan menyetujui pembentukan panitia kerja (panja) yang fokus pada reformasi di tubuh kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Keputusan penting ini lahir dari rapat dengar pendapat (RDP) yang mempertemukan Komisi III dengan Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo, Plt. Wakil Jaksa Agung Asep Mulyana, dan Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung Suradi pada hari Selasa, 18 November 2025.
Widya Pratiwi, anggota Komisi III DPR RI, dalam membacakan kesimpulan RDP, menegaskan urgensi percepatan reformasi di ketiga lembaga penegak hukum tersebut. “Komisi III DPR RI menilai percepatan reformasi kepolisian RI, kejaksaan RI, dan pengadilan sangat mendesak,” ungkapnya. Oleh karena itu, lanjutnya, hasil rapat dengar pendapat akan ditindaklanjuti dengan membentuk panitia kerja reformasi kepolisian RI, kejaksaan RI, dan pengadilan. Pembentukan panja ini menjadi langkah pengawasan sekaligus percepatan agenda reformasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dorongan reformasi di tubuh Polri semakin menguat setelah Komisi III memberikan sejumlah catatan terkait pembenahan internal. Sorotan tajam diberikan pada masih banyaknya laporan dugaan kriminalisasi dan tindakan kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian.
Rano Alfath, Wakil Ketua Komisi III, mengutip data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mencatat sejumlah kasus kriminalisasi oleh anggota kepolisian sepanjang tahun 2019 hingga 2024. Data tersebut menunjukkan bahwa kriminalisasi menyasar berbagai kelompok masyarakat, mulai dari aktivis, akademisi, mahasiswa, hingga jurnalis. Evaluasi menyeluruh dinilai krusial, terutama dengan hadirnya Komite Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto. “Menurut kami, ini menjadi tolak ukur agar isu-isu terkait soal kinerja Polri ke depan bisa lebih terukur, lebih bisa menjadi momentum untuk reformasi secara internalnya di Polri itu sendiri,” kata Rano. Aspek kultural diakui oleh Wakapolri menjadi pekerjaan rumah dalam reformasi Polri, yang menjadi perhatian serius untuk segera dibenahi.
Beralih ke Kejaksaan Agung (Kejagung), Rano Alfath menyoroti kinerja lembaga tersebut dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. Meskipun kejaksaan saat ini tengah menangani banyak kasus korupsi, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dinilai belum maksimal. Kondisi ini memunculkan persepsi di masyarakat bahwa kejaksaan hanya terlihat aktif di permukaan, namun kurang efektif dalam penuntasan kasus secara menyeluruh.
“Menjadi persoalan itu adalah pengembalian dari aset-aset pidana korupsi itu tidak maksimal, Pak. Jauh banget. Ini yang seringkali membuat masyarakat cenderung melihat Kejaksaan kali ini heboh di depan, tapi di belakang akhirnya melempem,” jelas Rano. Selain itu, Komisi III juga menerima berbagai laporan mengenai dugaan pelanggaran etik dan pidana yang melibatkan sejumlah jaksa. “Ini yang lagi ramai. Ini ada jaksa-jaksa atau oknum yang nakal tapi tidak dilakukan tindakan yang keras, hanya pindah. Tidak ada pemecatan, tidak ada pidana. Ini yang jadi persoalan sendiri,” tambahnya.
Desakan reformasi juga menggema di lembaga peradilan. Keluhan masyarakat mengenai kinerja hakim dan pengadilan semakin meningkat, menjadi dasar kuat perlunya perubahan signifikan.
Komisi Yudisial (KY) mencatat adanya ratusan laporan yang diterima hanya dalam satu bulan pertama tahun 2025. “Data yang kami punya dari Januari saja, kalau dari Komisi Yudisial, itu 267 laporan terhadap hakim-hakim. Yang ini banyak sekali persoalan,” ungkap Rano. Sejumlah kasus, termasuk penangkapan hakim yang terlibat dalam kasus Edward Tannur, semakin memperburuk citra lembaga peradilan dan menyoroti persoalan integritas aparat penegak hukum. Selain itu, masyarakat juga mengeluhkan minimnya keterbukaan informasi putusan pengadilan. Transparansi putusan menjadi elemen krusial dalam menjamin akuntabilitas lembaga peradilan. “Masyarakat itu mengeluh. Salah satu keluhan yang paling banyak adalah bahwa susah sekali mengakses putusan-putusan yang ada di Mahkamah atau yang ada di pengadilan,” tegas Rano. Belum lama ini, Bawas MA menghukum 74 hakim nakal sepanjang tahun 2025, menambah daftar panjang masalah yang perlu segera ditangani.
Deretan persoalan yang mencuat di tubuh Polri, Kejaksaan, dan pengadilan menjadi landasan bagi Komisi III untuk membentuk panja. Panja ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk mendorong reformasi yang komprehensif di ketiga lembaga tersebut. “Makanya itu kesempatan, momentum bagi kami, fungsi pengawasan, untuk melakukan reformasi baik terhadap Polri, Kejaksaan, atau pengadilan,” pungkas Rano. Sebelumnya, Komisi III DPR juga telah meminta Polri untuk berbenah diri menyusul banyaknya laporan kriminalisasi yang masuk. Isu krusial lain yang menjadi perhatian adalah KUHAP baru, yang menimbulkan pertanyaan apakah polisi diizinkan melakukan penyadapan tanpa izin. Penjelasan dari Komisi III mengenai hal ini menjadi penting untuk menghindari kesalahpahaman di masyarakat.
Ringkasan
Komisi III DPR RI menyetujui pembentukan panitia kerja (panja) untuk reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan. Keputusan ini diambil setelah rapat dengar pendapat (RDP) dengan perwakilan dari ketiga lembaga tersebut. Panja ini bertujuan untuk mempercepat agenda reformasi dan pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan panja didorong oleh berbagai persoalan yang mencuat di ketiga lembaga, seperti dugaan kriminalisasi dan kekerasan oleh polisi, pengembalian aset korupsi yang belum maksimal oleh kejaksaan, serta keluhan masyarakat terkait kinerja hakim dan pengadilan. Panja diharapkan dapat menjadi momentum untuk mendorong reformasi yang komprehensif dan mengatasi persoalan-persoalan tersebut.









