News Stream Pro – JAKARTA — Sejarah pasar modal di Indonesia ternyata sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan, tepatnya sejak zaman kolonial Belanda pada tahun 1912 di Batavia.
Kala itu, pasar modal didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai cabang dari Amsterdamse Effectenbeurs pada 14 Desember 1912. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi kepentingan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Fakta menariknya, bursa ini merupakan yang tertua keempat di Asia setelah Bombay, Hong Kong, dan Tokyo.
Meskipun telah berdiri sejak 1912, perkembangan pasar modal tidaklah selalu mulus. Bahkan, ada beberapa periode di mana kegiatan pasar modal mengalami kevakuman.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti dampak Perang Dunia I dan II, peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke Republik Indonesia, serta kondisi-kondisi lain yang menghambat operasional bursa efek.
Titik balik bagi perkembangan pasar modal Indonesia terjadi pada tahun 1977, ketika pemerintah Indonesia kembali mengaktifkannya. Momentum ini sejalan dengan pendirian Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) dan PT Danareksa pada tahun 1976.
Dengan berdirinya Bapepam pada 10 Agustus 1977, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 52/1976, pasar modal Indonesia secara resmi diaktifkan kembali. Tanggal inilah yang kemudian diakui sebagai tanggal resmi berdirinya pasar modal Indonesia modern.
Selama lebih dari empat dekade, sejumlah emiten telah mencatatkan diri sebagai perusahaan tertua atau veteran di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sayangnya, tidak semua perusahaan yang melakukan IPO di masa awal mampu bertahan. Beberapa di antaranya harus tumbang di tengah jalan. Saat ini, BEI mencatat ada 13 emiten yang sedang antre untuk melakukan IPO, mayoritas berasal dari sektor finansial dan industri. Ini menandakan geliat positif dan optimisme terhadap pasar modal Indonesia.
Lantas, siapa saja emiten legendaris yang mampu bertahan hingga kini? Berikut adalah beberapa nama perusahaan veteran penghuni Bursa Efek Indonesia:
1. PT Goodyear Indonesia Tbk (GDYR)
Goodyear Indonesia awalnya didirikan dengan nama NV The Goodyear Tire & Rubber Co. Ltd. pada 26 Januari 1917. Perusahaan ini kemudian mengubah namanya menjadi PT Goodyear Indonesia Tbk pada 31 Oktober 1977.
GDYR melakukan IPO pada 10 November 1980 dengan menawarkan 6.150.000 lembar saham dengan nilai nominal Rp1.000 per saham dan harga penawaran Rp1.250 melalui Bursa Efek Jakarta. Bursa ini kemudian secara efektif menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai 1 Desember 2007.
Induk utama GDYR adalah GTRC, sebuah perusahaan yang berpusat di Amerika Serikat. Pabrik milik perusahaan ini dibangun pada tahun 1935 di Bogor, menjadikannya pabrik ban pertama di Indonesia.
Kinerja bisnis GDYR sangat dipengaruhi oleh kondisi industri otomotif dan fluktuasi harga bahan baku karet. Meski demikian, GDYR tetap eksis dan terus melantai di BEI hingga saat ini, melanjutkan bisnis produksi dan penjualan ban.
Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2025, GDYR mencatatkan penjualan bersih sebesar US$120,27 juta, turun 7,6% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$130,18 juta.
Beban pokok penjualan juga mengalami penurunan menjadi US$107,41 juta dari US$114,23 juta secara tahunan. Begitu pula dengan beban penjualan yang menurun menjadi US$2,83 juta dari sebelumnya US$2,96 juta.
Perseroan masih mampu mencatatkan laba periode berjalan hingga September 2025 sebesar US$3,34 juta, meskipun mengalami penurunan signifikan sebesar 52% dibandingkan dengan laba periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$6,98 juta.
2. PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI)
Produsen bir Bintang dan Heineken ini didirikan pada 3 Juni 1929 dengan nama N.V. Nederlandsch Indische Bierbrouwerijen. Pada 15 Desember 1981, perseroan melakukan penawaran umum dengan melepas 3.162.000 lembar saham kepada publik dengan nilai nominal Rp1.000 per saham.
MLBI dikenal sebagai salah satu emiten yang rutin membagikan dividen kepada para pemegang sahamnya. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Multi Bintang 2025 pada Jumat (16/5/2025) memutuskan pembagian dividen final tahun buku 2024 kepada investor senilai total Rp1,14 triliun atau setara Rp542 per saham.
Jumlah tersebut mencakup dividen tunai tahun buku 2024 senilai Rp741,66 miliar atau setara Rp352 per saham, termasuk di dalamnya dividen interim senilai Rp400,33 miliar atau setara Rp190 per saham yang telah dibayarkan pada Desember tahun lalu.
Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2025, Multi Bintang Indonesia membukukan penjualan bersih sebesar Rp2,36 triliun. Jumlah itu meningkat 1,8% dibandingkan dengan Rp2,32 triliun pada periode yang sama 2024.
Sepanjang Januari—September 2024, MLBI membukukan beban pokok penjualan Rp908,86 miliar atau naik 0,95% secara tahunan dari Rp900,24 miliar.
Meskipun demikian, emiten minuman beralkohol ini mengalami penurunan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk atau laba bersih sebesar 5% *year-on-year* (YoY) dari Rp762,56 miliar menjadi Rp724,19 miliar per akhir September 2025.
3. PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR)
PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR) didirikan pada 5 Desember 1933 dengan nama Lever’s Zeepfabrieken N.V. Nama tersebut kemudian diubah menjadi PT Unilever Indonesia pada 22 Juli 1980. Selanjutnya, perubahan nama menjadi PT Unilever Indonesia Tbk dilakukan pada 30 Juni 1997.
Pada 16 November 1981, UNVR memperoleh persetujuan dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) untuk menawarkan 15% sahamnya di Bursa Efek Indonesia.
Pemegang saham terbesar perseroan pada 30 September 2025 dan 31 Desember 2024 adalah Unilever Indonesia Holding B.V. (UIH), sedangkan entitas induk terakhir adalah Unilever PLC, yang berkedudukan di Inggris.
UNVR adalah salah satu emiten *blue chip* paling legendaris dan perusahaan multinasional raksasa di sektor *consumer goods*. Meskipun menghadapi tantangan persaingan dan perubahan tren konsumen di era modern, UNVR tetap eksis, memiliki kapitalisasi pasar yang besar, dan menjadi salah satu emiten terpenting di BEI.
Kinerja terbarunya menunjukkan bahwa Unilever membukukan pertumbuhan penjualan bersih tipis sebesar 0,71% YoY menjadi Rp27,61 triliun per kuartal III/2025, dibandingkan dengan Rp27,41 triliun pada kuartal III/2024.
Sejalan dengan itu, Unilever juga mencatatkan laba bersih sebesar Rp3,33 triliun per kuartal III/2025, naik 10,81% secara tahunan (*year on year/yoy*) dibandingkan dengan laba bersih periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp3 triliun.
Presiden Direktur Unilever Indonesia, Benjie Yap, mengakui adanya tekanan terhadap daya beli masyarakat di beberapa segmen penjualan produk perseroan. Meskipun demikian, Unilever menyiapkan sejumlah portofolio untuk menanggulangi berlanjutnya pelemahan daya beli masyarakat di masa depan.
4. PT Sepatu Bata Tbk. (BATA)
PT Sepatu Bata Tbk. (BATA) didirikan di Indonesia pada 15 Oktober 1931. Perusahaan dan entitas anaknya merupakan bagian dari Bata Shoe Organization (BSO) yang berkantor pusat di Lausanne dan merupakan salah satu produsen sepatu terbesar di dunia.
BATA melantai di Bursa pada 24 Maret 1982 setelah menawarkan 1.200.000 saham dengan nilai nominal Rp1.000 per saham.
Perusahaan ini bergerak di bidang impor dan distribusi sepatu, serta aktif melakukan ekspor sepatu. Perjalanan BATA mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh perusahaan ritel tradisional di era modern.
Meskipun telah bertahan di bursa selama lebih dari empat dekade, BATA menghadapi tekanan kinerja dalam beberapa tahun terakhir. BATA masih eksis dan tercatat di BEI, tetapi belakangan ini tengah menghadapi tantangan yang cukup berat.
Bahkan, BATA telah menghentikan produksi sepatu sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 25 September 2025. Langkah penghapusan lini bisnis ini diambil di tengah kondisi keuangan perusahaan yang masih tertekan.
Berdasarkan laporan keuangan semester I/2025, BATA mencatat rugi bersih sebesar Rp40,62 miliar, lebih rendah dibandingkan kerugian Rp127,43 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, penjualan bersih justru turun signifikan 38,74% menjadi Rp159,43 miliar, dari sebelumnya Rp260,29 miliar.
Total aset perusahaan juga mengalami penurunan menjadi Rp377,98 miliar hingga akhir Juni 2025, dibandingkan posisi akhir 2024 sebesar Rp405,66 miliar. Sementara itu, total liabilitas tercatat Rp434,53 miliar dengan ekuitas sebesar Rp56,54 miliar.
5. PT Delta Djakarta Tbk. (DLTA)
DLTA, produsen bir Anker, merupakan salah satu perusahaan paling stabil dan menguntungkan di Bursa, meskipun bisnisnya berada di bawah pengawasan regulasi ketat terkait minuman beralkohol.
Perusahaan produsen dari Anker Bir hingga Carlsberg ini didirikan pada 1932 dengan nama Archipel Brouwerij. Perusahaan berganti nama NV De Oranje Brouwerij ketika berada di bawah perusahaan Belanda. Perusahaan baru menyandang nama PT Delta Djakarta pada 1970.
DLTA merupakan salah satu anggota dari San Miguel Corporation (SMC), Filipina. Induk utama Perusahaan adalah Top Frontier Investment Holdings, Inc., yang juga berkedudukan di Filipina.
Pada 27 Februari 1984, sebanyak 347.400 saham Perusahaan dengan nilai nominal Rp1.000 per saham dicatatkan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia) sebagai hasil dari penawaran umum.
Berdasarkan laporan keuangan per September 2025, emiten berkode saham DLTA itu meraih laba bersih sebesar Rp101,2 miliar. Capaian tersebut susut tipis jika dibandingkan perolehan tahun sebelumnya sebesar Rp101,7 miliar.
Kendati demikian, kinerja penjualan tercatat mampu tumbuh 0,3% menjadi Rp484,19 miliar per September 2025 dari tahun lalu senilai Rp482,7 miliar.
Sementara itu, total aset perseroan per 30 September 2025 mencapai Rp1,06 triliun, turun 2% dari posisi 31 Desember 2025 sebesar Rp1,08 triliun. Selain membahas emiten veteran, penting juga untuk memantau prospek IPO di masa depan. Direktur BEI telah memberikan pandangannya mengenai potensi IPO di tahun 2026. BEI juga diperkirakan akan kedatangan 3 calon emiten IPO raksasa, termasuk kemungkinan dari BUMN.
Ringkasan
Pasar modal Indonesia memiliki sejarah panjang, dimulai sejak zaman kolonial Belanda dan mengalami beberapa periode vakum. Titik balik terjadi pada tahun 1977 dengan reaktivasi pasar modal dan pendirian Bapepam. Beberapa emiten veteran mampu bertahan di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama lebih dari empat dekade, meskipun tidak semuanya berhasil.
Beberapa emiten legendaris yang masih eksis termasuk PT Goodyear Indonesia Tbk (GDYR), PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI), PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR), PT Sepatu Bata Tbk. (BATA), dan PT Delta Djakarta Tbk. (DLTA). Masing-masing perusahaan memiliki sejarah unik, tantangan, dan kinerja keuangan yang bervariasi, mencerminkan dinamika pasar dan industri yang berbeda. BEI juga diperkirakan akan ada IPO baru, termasuk dari BUMN.








