Asosiasi Sepak Bola Malaysia (FAM) kini tengah harap-harap cemas menanti keputusan final terkait kasus dugaan pemalsuan dokumen yang melibatkan tujuh pemain naturalisasi. Kasus ini menjadi sorotan tajam karena FAM dan ketujuh pemain tersebut diduga melanggar Pasal 22 Kode Disiplin FIFA tentang pemalsuan dokumen.
Sebelumnya, FIFA telah menjatuhkan sanksi berupa denda kepada FAM dan ketujuh pemain naturalisasi Timnas Malaysia tersebut. Tak hanya itu, para pemain yang terlibat juga dilarang berpartisipasi dalam segala aktivitas sepak bola selama 12 bulan.
FAM tidak tinggal diam. Pada 14 Oktober lalu, mereka mengajukan banding ke Komite Banding FIFA. Keputusan akhir atas banding ini dijadwalkan akan diumumkan pada Kamis, 30 Oktober 2025.
Sejumlah pengamat sepak bola di Malaysia pesimis FIFA akan membatalkan sanksi tersebut. Lantas, apa saja kemungkinan yang akan terjadi jika banding FAM ditolak?
Jika hukuman terhadap FAM dan ketujuh pemain tidak dicabut, FIFA memiliki dua opsi. Pertama, mereka bisa meringankan hukuman dengan mengurangi nominal denda atau masa skorsing pemain. Kedua, FIFA justru bisa memperberat hukuman jika menemukan indikasi pelanggaran tambahan selama proses banding. Tindakan seperti sengaja memperpanjang kasus atau memberikan argumen yang tidak benar dapat dianggap sebagai kurangnya itikad baik dari FAM.
Dalam kedua skenario tersebut, ancaman sanksi tambahan dari AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia) hampir pasti akan menghantui Malaysia. Media Vietnam, Soha, bahkan memprediksi tiga potensi hukuman dari AFC jika banding FAM menemui jalan buntu.
Hukuman paling ringan adalah kewajiban membayar denda disertai peringatan. Namun, peluang ini terbilang kecil mengingat pelanggaran FAM telah terbukti secara nyata oleh FIFA.
Kemungkinan kedua yang lebih berat adalah AFC akan menyatakan Malaysia kalah dalam laga Kualifikasi Piala Asia 2027 melawan Nepal dan Vietnam. Mengapa demikian? Karena Malaysia memainkan pemain yang terlibat kasus dalam dua pertandingan Grup F tersebut.
Kehilangan enam poin dari dua laga tersebut tentu akan membuat posisi Malaysia merosot tajam di Grup F.
Namun, skenario yang paling menakutkan bagi publik Malaysia adalah potensi hukuman yang lebih berat lagi. Malaysia bisa dihukum dengan dua kekalahan, ditambah larangan berpartisipasi dalam turnamen resmi untuk jangka waktu tertentu. Larangan ini bisa berlangsung antara satu hingga tiga tahun, tergantung pada tingkat keparahan pelanggaran.
Jika skenario terburuk ini terjadi, Malaysia tidak hanya akan tersingkir dari Piala Asia 2027, tetapi juga kehilangan hak untuk berlaga di Kualifikasi Piala Dunia 2030.
Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia pun bersiap menghadapi segala kemungkinan terburuk.
Soha kemudian menyinggung hukuman berat yang pernah diterima Timnas Indonesia pada tahun 2015 akibat intervensi pihak ketiga. Saat itu, tim nasional dan klub Indonesia dilarang berlaga di kompetisi internasional selama lebih dari setahun. Menurut Soha, sepak bola Malaysia akan mengalami kelumpuhan total jika mengalami nasib serupa.
“Pada tahun 2015, Indonesia diskors oleh FIFA dan AFC karena melanggar peraturan internal, yang menyebabkan tim nasional dan klub tidak dapat berpartisipasi dalam kompetisi internasional selama lebih dari setahun. Jika Malaysia terjebak dalam situasi seperti itu, sepak bolanya akan lumpuh total,” tulis Soha.
“Para pemain akan kehilangan kesempatan bermain di pertandingan internasional, klub-klub akan dilarang berpartisipasi di Liga Champions Asia, dan citra negara akan rusak parah.”
Ringkasan
Asosiasi Sepak Bola Malaysia (FAM) sedang menanti keputusan banding terkait dugaan pemalsuan dokumen pemain naturalisasi. Jika banding ditolak, FIFA bisa meringankan atau memperberat hukuman, dan AFC berpotensi menjatuhkan sanksi tambahan kepada Malaysia.
Media Vietnam, Soha, memprediksi beberapa kemungkinan hukuman dari AFC, mulai dari denda hingga Malaysia dinyatakan kalah dalam laga Kualifikasi Piala Asia 2027 melawan Nepal dan Vietnam. Skenario terburuknya, Malaysia bisa dilarang berpartisipasi dalam turnamen resmi selama 1-3 tahun, yang berpotensi melumpuhkan sepak bola Malaysia seperti yang pernah dialami Indonesia pada tahun 2015.








