KOMPAS.com – Kabar duka menyelimuti Thailand. Ibu Suri Kerajaan Thailand, Sirikit, wafat pada usia 93 tahun, Jumat (24/10/2025) malam di Bangkok. Istana Kerajaan mengumumkan masa berkabung selama satu tahun sebagai penghormatan terakhir.
Sejak 17 Oktober 2025, Ibu Suri Sirikit memang diketahui menderita infeksi darah. Meskipun tim medis telah berupaya semaksimal mungkin, kondisi kesehatannya terus menurun, seperti yang dilaporkan CNN, Sabtu (25/10/2025). Dalam beberapa tahun terakhir, beliau memang jarang tampil di hadapan publik karena kondisi kesehatannya yang memburuk.
Mendiang Ibu Suri Sirikit adalah permaisuri dari mendiang Raja Bhumibol Adulyadej, atau Rama IX, yang memimpin Thailand dari tahun 1946 hingga 2016. Putra mereka, Maha Vajiralongkorn, kini memegang tampuk kepemimpinan sebagai Raja Thailand.
Meninggalnya Ibu Suri Sirikit meninggalkan duka mendalam bagi seluruh rakyat Thailand. Beliau adalah sosok yang sangat dihormati dan dicintai, tidak hanya sebagai anggota keluarga kerajaan, tetapi juga atas dedikasinya kepada bangsa dan negara.
Sri Ratu Sirikit, Ibu Suri Bangsa Thailand, adalah permaisuri Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) sekaligus ibu kandung dari Raja Maha Vajiralongkorn (Rama X). Beliau adalah putri sulung dari Jenderal Pangeran Nakkhatra Mongkol Kitiyakara (Pangeran Chanthaburi Suranath) dan Mom Luang Bua (Snidvongs) Kitiyakara.
Nama “Sirikit” sendiri memiliki makna mendalam, pemberian dari Ratu Rambhai Barni, permaisuri Raja Prajadhipok (Rama VII). Nama ini berarti “keindahan dari keluarga Kitiyakara” atau “yang membawa kemuliaan dan keberuntungan melalui nama yang terpuji”.
Lahir dari keluarga bangsawan di Bangkok, Thailand, pada 12 Agustus 1932, Sirikit Kitiyakara tumbuh di tengah transisi sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Kedua orang tuanya memiliki garis keturunan dengan raja-raja Dinasti Chakri yang masih berkuasa hingga saat ini.
Dari garis keturunan ayah, beliau adalah keturunan Pangeran Kittiyakorn Worralak, putra Raja Chulalongkorn (Rama V), seorang bangsawan Thailand pertama yang menempuh pendidikan di luar negeri. Sementara dari pihak ibu, beliau mewarisi darah Pangeran Wongsa Dhiraj Snid, putra ke-49 Raja Rama II, yang dikenal sebagai “Bapak Diplomasi Thailand” serta ahli pengobatan tradisional dan bahasa. Kehidupan awal Ibu Suri Sirikit telah diwarnai dengan sejarah dan tradisi kerajaan yang kaya.
Masa kecil Sirikit diwarnai dengan pengalaman unik. Ia bersekolah di Bangkok pada masa Perang Dunia II, ketika kota itu menjadi sasaran serangan udara Sekutu. Setelah perang berakhir, ia mengikuti ayahnya ke Perancis, tempat sang ayah bertugas sebagai duta besar. Di sanalah, di Paris, pada usia 16 tahun, Sirikit bertemu dengan Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) yang baru dinobatkan.
Pertemuan itu menjadi awal kisah cinta yang bersemi di negeri orang. Keduanya semakin dekat, dan Raja Bhumibol sering berkunjung ke Paris untuk menemuinya. Kisah cinta mereka bak dongeng, mempertemukan dua insan dari latar belakang bangsawan di tengah romantisme kota Paris.
Pada 5 Oktober 1948, Raja Bhumibol mengalami kecelakaan mobil di Lausanne, Swiss, dan harus dirawat di rumah sakit. Selama masa pemulihan tersebut, Ratu Ibu Sri Nagarindra (ibunda Raja Bhumibol) meminta Sirikit untuk menetap di Lausanne dan melanjutkan pendidikannya di sana, agar dapat lebih mengenal keluarga kerajaan. Langkah ini semakin mempererat hubungan Sirikit dengan keluarga kerajaan.
Tepat di hari ulang tahunnya ke-17, pada 12 Agustus 1949, Raja Bhumibol mengumumkan pertunangan resminya dengan Sirikit Kittiyakara dan menghadiahkannya cincin berlian sebagai tanda cinta. Pernikahan kerajaan mereka dilangsungkan pada 28 April 1950 di Istana Sa Pathum, hanya beberapa hari sebelum upacara penobatan resmi Raja Bhumibol.
Setelah menikah, Sirikit menerima gelar Ratu Sirikit (Somdet Phra Nang Chao Sirikit Phra Borommarachini). Pasangan kerajaan ini dikaruniai empat orang anak, yaitu Putri Ubolratana Rajakanya Sirivadhana Barnavadi, Raja Maha Vajiralongkorn (Rama X), Putri Maha Chakri Sirindhorn, dan Putri Chulabhorn Walailak. Keluarga kerajaan ini menjadi simbol persatuan dan kebanggaan bagi rakyat Thailand.
Sebagai ratu dan ibu negara, Sirikit dikenal atas dedikasinya terhadap rakyat Thailand. Beliau aktif dalam pelestarian budaya, pengembangan ekonomi rakyat, dan pemberdayaan perempuan. Dedikasinya ini tercermin dalam berbagai inisiatif yang beliau lakukan.
Salah satunya adalah pendirian The SUPPORT Foundation (Suan Dusit Craft Center), yang membantu perempuan di pedesaan memproduksi tenun, bordir, dan kerajinan lokal sebagai sumber penghidupan. Melalui yayasan ini, Ibu Suri Sirikit memberikan harapan dan kesempatan bagi perempuan di seluruh Thailand.
Ratu Sirikit juga sering menemani Raja Bhumibol dalam kunjungan ke seluruh pelosok negeri, menyapa rakyat kecil dan mendengarkan langsung permasalahan mereka. Kehadiran beliau memberikan semangat dan harapan bagi masyarakat yang membutuhkan.
Pada tahun 1956, saat Raja Rama IX menjalani masa pendharmaan sebagai bhiksu, Ratu Sirikit diangkat sebagai Wakil Raja (Regent), menjadikannya wanita pertama dalam sejarah modern Thailand yang memegang jabatan tersebut. Setahun kemudian, pada 5 Desember 1956, Sirikit secara resmi menerima gelar Somdet Phra Borommarachininat (Ratu dari Kerajaan Thailand).
Setelah putranya naik takhta sebagai Raja Vajiralongkorn pada 2016, Sirikit dikenal luas sebagai Ibu Ratu Thailand (Queen Mother). Hari kelahirannya, 12 Agustus, bahkan ditetapkan sebagai Hari Ibu Nasional di Thailand, sebuah penghormatan atas jasa dan pengabdiannya.
UNESCO turut menobatkannya sebagai salah satu tokoh perempuan berpengaruh dunia dalam bidang seni dan budaya, berkat perannya dalam diplomasi kebudayaan dan pelestarian tradisi. Pengakuan ini semakin mengukuhkan posisinya sebagai tokoh penting dalam sejarah dan budaya Thailand.
Di awal masa pernikahan, Raja dan Ratu Sirikit sering melakukan perjalanan ke luar negeri sebagai goodwill ambassador, mempererat hubungan pribadi dengan para pemimpin dunia. Namun, sejak awal 1970-an, keduanya mulai memusatkan perhatian pada persoalan dalam negeri, seperti kemiskinan pedesaan, kecanduan opium di daerah pegunungan, serta pemberontakan komunis.
Setiap tahun, pasangan kerajaan ini mengunjungi desa-desa terpencil dan memimpin lebih dari 500 upacara kerajaan, keagamaan, dan kenegaraan. Ratu Sirikit dikenal ramah dan rendah hati. Meski selalu tampil anggun dan berpenampilan rapi, ia tak segan mendaki bukit dan masuk ke perkampungan miskin, di mana warga dengan penuh kasih memanggilnya “putri.”
Banyak rakyat menyampaikan langsung keluh kesah mereka dari persoalan rumah tangga hingga penyakit, dan Ratu sering kali menanganinya secara pribadi. Sikapnya yang dekat dengan rakyat membuat beliau semakin dicintai dan dihormati.
Perhatian terhadap isu-isu regional juga menjadi bagian dari agenda Kerajaan Thailand. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu sempat mencuat isu mengenai dugaan penggunaan suara “hantu” untuk meneror warga Kamboja di perbatasan, yang dikaitkan dengan Thailand. Hal ini menunjukkan kompleksitas hubungan antar negara di kawasan tersebut. Isu ini, meskipun berbeda konteks, menyoroti bagaimana isu-isu sensitif dapat memengaruhi hubungan bilateral.
Meninggalnya Ibu Suri Sirikit adalah kehilangan besar bagi Thailand. Dedikasi dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara akan selalu dikenang. Beliau adalah sosok yang inspiratif dan dicintai oleh seluruh rakyat Thailand.
Ringkasan
Ibu Suri Sirikit dari Thailand wafat pada usia 93 tahun pada 24 Oktober 2025, setelah menderita infeksi darah. Ia adalah permaisuri dari mendiang Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) dan ibu dari Raja Maha Vajiralongkorn (Rama X). Kepergiannya meninggalkan duka mendalam dan masa berkabung selama satu tahun telah diumumkan.
Lahir pada 12 Agustus 1932, Sirikit dikenal atas dedikasinya terhadap rakyat Thailand melalui pelestarian budaya, pengembangan ekonomi rakyat, dan pemberdayaan perempuan. Ia mendirikan The SUPPORT Foundation untuk membantu perempuan di pedesaan. Hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Ibu Nasional di Thailand, dan UNESCO mengakui kontribusinya dalam seni dan budaya.








