NUSA DUA – Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa laju percepatan digitalisasi sistem pembayaran harus diimbangi dengan penguatan keamanan siber serta peningkatan literasi masyarakat. Hal ini krusial mengingat potensi kejahatan digital yang semakin melonjak seiring dengan peningkatan masif transaksi non-tunai di seluruh Tanah Air.
Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, menyoroti bahwa risiko fraud dan serangan siber kini menjadi tantangan utama yang harus diatasi untuk menjaga keandalan sistem pembayaran nasional di tengah gelombang transaksi digital yang terus meningkat. Tren ini bukan hanya fenomena lokal; data dari IMF dan FBI mengindikasikan bahwa kerugian global akibat kejahatan siber diperkirakan akan melonjak drastis, dari US$ 8,44 triliun pada tahun 2022 menjadi US$ 23,84 triliun pada tahun 2027.
Pernyataan ini disampaikan oleh Filianingsih dalam acara Prima Executive Gathering 2025 di Bali pada Kamis (23/10/2025). Prediksi peningkatan kerugian ini menjadi semakin relevan mengingat proyeksi BI sendiri bahwa volume transaksi pembayaran digital di Indonesia akan mencapai angka fantastis 147,3 miliar pada tahun 2030. Oleh karena itu, langkah mitigasi yang proaktif sangat mendesak untuk dilakukan.
Filianingsih menambahkan bahwa jenis serangan siber pun kini semakin bervariasi dan canggih, mulai dari middleware attack, account takeover, synthetic ID, hingga ancaman yang lebih modern seperti deepfake dan phishing berbasis kecerdasan buatan (AI). Skala transaksi digital yang sangat besar turut memperumit tantangan dalam mendeteksi aktivitas mencurigakan secara efektif.
Selain itu, Filianingsih juga menggarisbawahi beberapa faktor lain yang memperbesar kerentanan, termasuk belum meratanya kemampuan pelaku industri dalam pengelolaan risiko. Ketergantungan yang tinggi pada penyedia teknologi pihak ketiga (third party provider) juga menambah kompleksitas dalam upaya pengendalian risiko. Ditambah lagi, rendahnya tingkat literasi digital di kalangan masyarakat menjadi celah yang rentan dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber, sehingga meningkatkan risiko penipuan.
Meskipun demikian, di tengah pesatnya adopsi pembayaran digital, transaksi melalui kanal tradisional seperti ATM juga masih menunjukkan volume yang signifikan. Sebagai contoh, transaksi ATM BCA dilaporkan masih mencapai Rp 10 miliar per mesin setiap bulan, menunjukkan bahwa ekosistem pembayaran di Indonesia bersifat hibrida dan memerlukan perhatian komprehensif terhadap keamanan di berbagai lini.
Untuk memitigasi risiko-risiko tersebut, BI secara aktif mendorong industri sistem pembayaran untuk memperkuat penerapan prinsip Know Your Customer (KYC) dan Know Your Merchant (KYM). Selain itu, penguatan sistem deteksi fraud dan penerapan strong authentication menjadi prioritas utama. Dari sisi masyarakat, BI terus mendorong peningkatan literasi digital sebagai fondasi penting dalam menjaga kepercayaan publik terhadap ekosistem pembayaran digital yang aman dan andal.
Filianingsih menekankan pentingnya kolaborasi sinergis antara regulator, pelaku industri, dan masyarakat agar transformasi digital dapat berjalan secara aman, inklusif, dan berkelanjutan. BI berharap penguatan keamanan dan tata kelola ini akan menjaga stabilitas serta keandalan sistem pembayaran nasional di tengah laju inovasi teknologi yang kian pesat. Literasi digital, perlindungan data pribadi, dan perlindungan konsumen akan menjadi fokus utama yang diperkuat secara terpadu antara BI dan industri.
Sebagai bagian dari upaya ini, BI bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) akan secara rutin melakukan berbagi informasi mengenai kasus-kasus aktual. Langkah ini bertujuan agar seluruh pihak terkait dapat memahami perkembangan terkini ancaman siber dan mampu mengantisipasi risiko dengan lebih tepat. Lebih lanjut, melalui Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030, BI berkomitmen untuk memperkuat infrastruktur sistem pembayaran dan menyinergikannya dengan infrastruktur data. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan siber dan kapasitas sistem deteksi fraud, termasuk melalui pemanfaatan optimal teknologi kecerdasan buatan (AI).
Penataan struktur industri juga akan dilakukan secara proporsional, dengan mempertimbangkan kemampuan setiap pelaku dalam mengelola risiko dan kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Reformasi ini mencakup penataan kepesertaan, penataan aktivitas usaha, serta reformasi regulasi yang adaptif terhadap dinamika digital.









