Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga akhir semester I tahun 2025, utang pemerintah pusat mencapai Rp 9.138,05 triliun. Meskipun angka ini terbilang besar, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Suminto menegaskan bahwa posisi utang Indonesia masih dalam batas aman dan terkendali, bahkan tergolong moderat jika dibandingkan dengan negara lain.
Menurut Suminto, nilai utang tersebut setara dengan 39,86 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio ini, menurutnya, mencerminkan kondisi utang yang sehat dan terkendali. “Angka ini cukup rendah dan moderat dibandingkan banyak negara lain,” ujarnya dalam sebuah acara media gathering di Bogor, Jawa Barat, Jumat, 10 Oktober 2025.
Lebih lanjut, Suminto menjelaskan bahwa posisi utang Indonesia masih jauh di bawah batas maksimal 60 persen dari PDB, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah, kata dia, berkomitmen untuk mengelola utang secara hati-hati, terukur, dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Dari total utang Rp 9.138,05 triliun tersebut, pinjaman pemerintah mencapai Rp 1.157,18 triliun. Rinciannya, pinjaman luar negeri sebesar Rp 1.108,17 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 49,01 triliun.
Komponen terbesar dari utang pemerintah berasal dari Surat Berharga Negara (SBN), dengan total nilai mencapai Rp 7.980,87 triliun. Dari jumlah tersebut, SBN berdenominasi rupiah mendominasi dengan nilai Rp 6.484,12 triliun, sementara SBN berdenominasi valuta asing mencapai Rp 1.496,75 triliun.
Sebagai informasi tambahan, Suminto menyatakan bahwa pemerintah saat ini hanya akan merilis data utang setiap kuartal. Langkah ini diambil untuk meningkatkan kredibilitas statistik utang dan menyelaraskannya dengan rilis data PDB oleh Badan Pusat Statistik (BPS). “Rasio utang terhadap PDB akan dihitung berdasarkan realisasi PDB yang dirilis setiap tiga bulan, bukan lagi berdasarkan asumsi,” jelasnya.
Meskipun pemerintah mengklaim posisi utang masih aman, sejumlah ekonom menyoroti peningkatan beban bunga utang dan semakin sempitnya ruang fiskal. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyoroti bahwa rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan pajak terus meningkat.
Bhima mencontohkan, pada tahun 2010, beban bunga utang terhadap penerimaan pajak hanya 12 persen, namun saat ini telah mencapai sekitar 26 persen. “Artinya, 26 persen penerimaan pajak digunakan untuk membayar bunga utang. Ini menunjukkan beban fiskal yang makin berat,” ungkap Bhima kepada Tempo, Sabtu, 6 September 2025.
Kementerian Keuangan memperkirakan penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp 2.076,9 triliun, sementara pembayaran bunga utang mencapai Rp 552,8 triliun. Bahkan, pada tahun 2026, pembayaran bunga diproyeksikan naik menjadi Rp 599,4 triliun, atau meningkat 8,6 persen dari tahun ini.
Menurut Bhima, tingginya imbal hasil obligasi pemerintah, terutama SBN tenor 10 tahun sebesar 6,9 persen, menjadi penyebab utama beban bunga yang tinggi. Ia menyebutkan bahwa yield tersebut lebih tinggi dibandingkan negara lain dengan rasio utang serupa seperti Filipina. “Investor memang tertarik dengan imbal hasil tinggi, tapi konsekuensinya adalah beban fiskal makin berat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bhima menilai bahwa penambahan utang belum berdampak signifikan terhadap efisiensi ekonomi. Hal ini tercermin dari rasio modal terhadap output tambahan (ICOR) yang masih tinggi, yang mengindikasikan bahwa produktivitas dari pembiayaan utang belum optimal. “Pemerintah sebaiknya menahan proyek yang belum mendesak, seperti program makan bergizi gratis atau pengadaan alutsista, agar tidak perlu menambah utang secara berlebihan,” sarannya.
Senada dengan Bhima, Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menambahkan bahwa rasio beban utang terhadap pendapatan atau debt service ratio (DSR) sudah mencapai 45 persen pada tahun 2024. Angka ini jauh di atas rekomendasi IMF yang hanya 25 hingga 35 persen. “Sulit menurunkannya pada 2025 karena target pendapatan kemungkinan tidak tercapai,” ujar Awalil.
Awalil juga menyoroti bahwa pembayaran bunga utang kini menjadi pos terbesar dalam belanja negara, bahkan melampaui belanja pegawai. “Selama dua tahun terakhir, pembayaran bunga utang sudah menjadi yang terbesar dalam APBN.”
Melihat kondisi utang pemerintah saat ini, penting untuk memahami seberapa kritis utang pemerintah Indonesia dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian negara.
Illona Estherina dan Caesar Akbar berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Ringkasan
Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah mencapai Rp 9.138,05 triliun pada akhir semester I 2025, setara dengan 39,86% PDB. Meskipun demikian, Kemenkeu mengklaim bahwa posisi utang Indonesia masih aman dan terkendali, bahkan tergolong moderat dibandingkan negara lain, serta masih di bawah batas maksimal 60% dari PDB yang diatur undang-undang.
Namun, sejumlah ekonom menyoroti peningkatan beban bunga utang yang semakin membebani fiskal. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan pajak meningkat signifikan dan pembayaran bunga utang kini menjadi pos belanja terbesar dalam APBN, bahkan melampaui belanja pegawai, sehingga berpotensi membatasi ruang fiskal untuk pembangunan.








