Bencana banjir rob dan abrasi yang menghantui Pantai Utara Jawa (Pantura) semakin mengkhawatirkan. Para ahli dan pegiat lingkungan bahkan memprediksi beberapa desa pesisir akan segera tenggelam. Ironisnya, ancaman ini disebut dipercepat oleh proyek-proyek industri yang dicanangkan pemerintah.
Setidaknya 18.882 hektar lahan di Pantura telah dialihfungsikan untuk pengembangan kawasan industri berkedok Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Hamparan industri ini tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Alih fungsi lahan ini dituding menjadi biang keladi hilangnya kawasan mangrove, sementara eksploitasi air tanah dan migas tak terhindarkan.
Secara alami, permukaan tanah di Pantura memang turun sekitar 1-2 cm setiap tahun. Namun, pembangunan kawasan industri KEK dan PSN di atas tanah aluvial yang lunak di Pantura memperparah penurunan hingga mencapai 2 cm per tahun. Kombinasi faktor-faktor inilah yang menyumbang penurunan muka tanah minimal 4 cm per tahun. Celakanya, eksploitasi air tanah dan migas oleh industri membuat penurunan aktual jauh lebih tinggi, memicu banjir rob (inundasi) yang semakin intens dan merugikan masyarakat.
Jika industrialisasi ini terus berlanjut, penurunan tanah yang dipercepat berpotensi menenggelamkan wilayah Pantura lebih cepat dan lebih parah dari prediksi Climate Central pada 2030 dan 2100. Tanpa menghentikan eksploitasi air tanah, langkah pemerintah membangun tanggul laut raksasa sepanjang 480 kilometer di Pantura, dianggap sebagai “solusi semu”. Mengapa demikian? Inilah yang akan kami kupas dalam seri liputan panjang yang mengungkap apa yang disebut sebagai “ekosida”—perusakan lingkungan secara terstruktur, masif dan sistematis—di Pantura.
Liputan pertama ini akan mengupas kisah para warga di tengah darurat iklim di Pantura yang membuat wilayah ini semakin cepat tenggelam dan ‘solusi semu’ pemerintah. Mari kita simak potret pilu mereka yang berjuang di garis depan perubahan iklim.
Kisah dari pesisir Indramayu: ‘Saya adalah manusia amfibi’
Di sebuah rumah sederhana di Blok Empang, Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Suwandi, seorang lelaki berusia 65 tahun, duduk termenung. Sambil menikmati kopi buatan istrinya, matanya menerawang ke arah pepohonan mangrove jenis Api-api (Avicennia spp.) setinggi satu meter yang tumbuh di sekitar rumahnya. Beberapa pohon itu bahkan terbawa arus banjir rob yang kerap melanda.
“Biasanya sebentar lagi air rob mulai naik,” ujar Suwandi, dengan nada pasrah.
Jalan setapak selebar satu meter, satu-satunya akses menuju kampung ini, tampak memprihatinkan. Aspalnya telah terkikis, menyisakan tumpukan batu licin yang kerap tergenang air. Lebih dari satu dekade, rumah Suwandi menjadi langganan banjir rob. Ia bahkan mengaku tak pernah lagi merasakan tanah yang benar-benar kering di bawah kakinya.
“Sehari semalam 24 jam, dan 12 jam kaki saya tidak pernah kering. Saya adalah manusia amfibi,” kata Suwandi dengan mata berkaca-kaca, menggambarkan betapa ekstremnya kondisi yang ia alami.
Suwandi adalah generasi ketiga di Blok Empang. Ia bercerita, pada pertengahan 1990-an, garis pantai masih berjarak lebih dari satu kilometer dari rumah mereka. Kala itu, tak satu pun rumah yang terendam banjir. Namun, semua berubah ketika banjir besar melanda pada tahun 2014. Banjir bandang dengan arus deras menghancurkan tanggul tambak dan merusak bibir Pantai Eretan Wetan.
Biaya perbaikan tanggul yang hancur itu sangat mahal, di luar kemampuan para petambak. Upaya perbaikan yang sempat dilakukan justru memperparah kerusakan. Akhirnya, tanggul-tanggul itu dibiarkan terbengkalai, dan bencana permanen pun dimulai.
Banjir rob mulai rutin merembes masuk, menggenangi lahan tambak sedikit demi sedikit, hingga lahan itu hilang sepenuhnya ditelan abrasi. Semula, air hanya menggenangi jalan-jalan desa. Namun, secara bertahap, genangan rob mulai naik dan masuk ke dalam rumah warga.
Dulu, kondisi banjir rob masih terbilang ringan; durasi genangan relatif singkat, hanya sekitar satu jam, dan air dapat segera surut. Kini, kondisinya telah berubah drastis. Intensitas banjir rob semakin sering terjadi dengan durasi yang jauh lebih panjang. Air pasang dapat menggenangi rumah hingga lebih dari 12 jam, dengan ketinggian yang bahkan bisa mencapai satu meter.
“Sekarang banjirnya setiap hari,” keluh Suwandi.
Pada jam-jam normal, air rob akan mulai meninggi di permukiman tepat pada pukul 2 siang dan baru akan benar-benar surut 12 jam kemudian, saat pukul 2 dini hari. Meski begitu, waktu ini bukanlah jaminan, sebab ketinggian dan durasi rob kini berubah-ubah tanpa bisa diprediksi. Kala berkunjung kembali ke rumahnya pada akhir Juni, banjir rob sudah mulai naik pada pukul 10 pagi.
Pelan tapi pasti, air rob merangkak naik. Yang awalnya hanya sebatas tumit, kini air perlahan-lahan mulai mengepung perabotan dan membasahi kaki penghuni. Puncaknya, saat siang hari tiba, air genangan telah mencapai ketinggian sekitar 30 cm. Seluruh permukiman di Blok Empang praktis menjadi sebuah pulau kecil yang terisolir dari dunia luar kala banjir rob melanda.
Mau tak mau, warga harus putar otak demi keluar-masuk perkampungan. Tumpukan gabus yang dirakit menjadi perahu sederhana, dengan galah untuk menolak perahu agar bergerak maju, menjadi andalan. Waktu tempuhnya sekitar 15-20 menit, melewati tambak-tambak yang tergenang banjir setinggi 1 meter lebih. Jika ingin cepat, warga terpaksa melewati jalan kampung yang telah tertutup banjir, dengan risiko terpeleset, tersandung, atau terperosok lubang.
“Di sini orang sehat seperti orang sakit karena jalan harus pelan. Orang sakit seperti orang mati karena ditandu, dan kalau ada orang mati harus numpang di tetangga desa yang tidak kebanjiran,” Suwandi mengudarasa penderitaan yang telah lama dialami warga Blok Empang.
Warga telah mencoba segala cara, termasuk meninggikan pintu dan memasang tanggul darurat untuk mengadang air. Namun, gelombang banjir kian intens membuat warga merasa lungkrah. Banyak rumah yang temboknya jebol, dan lantai keramik pecah. Meski diperbaiki, belum sampai kering, sudah kembali terendam air. Warga pun akhirnya pasrah.
“Lingkungan kita sudah masuk ruang ICU, sudah pasrah pada alam,” ujar Suwandi, getir.
Siang itu, rumah Suwandi—tempat warga Blok Empang biasa berkeluh kesah—kedatangan Abdur Razak, 59 tahun, yang berbagi cerita soal kepindahannya. Ia mengaku terpaksa mengontrak di kampung sebelah yang lebih kering selama setahun terakhir, karena tidak sanggup lagi menyaksikan anak-anaknya harus basah kuyup menyeberangi banjir saat menuju dan pulang sekolah.
“Kasihan anak-anak kalau sekolah,” kata Razak yang saban hari berprofesi sebagai nelayan. Kediaman lama Razak—berada di sebelah timur rumah Suwandi—tidak mudah dijangkau. Akses jalan menuju ke sana telah tenggelam oleh air rob setinggi lebih dari satu meter. Untuk melewatinya, setiap orang harus berjalan di atas susunan bambu sepanjang sekitar 5 meter yang kini berfungsi sebagai jembatan darurat.
Tahun ini Razak memang sudah mengontrak rumah, namun dia tidak tahu bagaimana nasib tahun depan. Baginya yang terpenting anaknya bisa sekolah dengan nyaman. “Kalau ada uang diteruskan, kalau tidak ya balik lagi ke sini,” katanya pasrah.
Suwandi, yang didapuk sebagai sesepuh Blok Empang, kini harus menghadapi kenyataan pahit: melihat tetangga-tetangganya mulai meninggalkan Eretan Wetan. Bagi yang punya uang, mereka akan pindah dan mencari tempat yang lebih layak. Namun yang tidak punya uang, mau tak mau tetap bertahan. Pasrah. “Saya sudah pasrah, tidak ada pilihan lain,” ujar Suwandi yang setiap hari membudidaya kepiting. “Penghasilan saya pas-pasan,” imbuhnya.
Mulanya, ada 47 rumah di Blok Empang. Namun lambat laun mereka pindah. Sekarang hanya tersisa sekitar 35 rumah yang ditempati sekitar 50 keluarga. Layaknya manusia pada umumnya, Suwandi mendambakan tempat tinggal yang layak dan bebas dari genangan air. Di usia senjanya, ia juga ingin bisa beribadah dengan tenang dan khusuk.
“Saya sudah ngomong sama istri. Hari ini, satu tahun lagi, kalau tidak ada perubahan, kita harus pindah. Karena usia semakin lanjut, kita harus berpikir hubungan dengan langit, jangan sampai mati teraniaya,” ujar Suwandi dengan suara datar. “Kita pindah di tempat yang aman. Jadi marbot Musala juga tidak masalah.”
Siang itu terasa begitu panjang, dan berjalan di dalam rumah Suwandi persis seperti berjalan di kolam. Benar adanya, kakinya tidak pernah benar-benar kering. Ia lantas melangkah ke belakang rumah, menuju tumpukan ember berisi kepiting budidaya. Di sana, ia memilah-milah kepiting yang sudah siap untuk dipanen. Modal awal usahanya didapatkan dari saudaranya. Meskipun keuntungannya tidak seberapa, kepiting-kepiting ini cukup bagi Suwandi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Yang penting halal,” katanya.
Bagi warga, sepatu bot adalah keharusan—digunakan untuk melindungi kaki banjir rob menerjang atau saat bersosialisasi dengan tetangga. Kunjungan dan obrolan antarwarga ini menjadi cara mereka bertahan secara psikologis, mencari hiburan dari penderitaan yang tak kunjung usai.
Di antara rumah Razak dan Suwandi, terletak rumah Ningsih, 42 tahun. Di depan rumahnya, tampak sepasang sepatu bot kuning yang selalu ia kenakan untuk beraktivitas sehari-hari. “Ini sudah menjadi barang wajib yang harus dimiliki warga sini,” kata Ningsih sambil memperlihatkan sepatu bot kuning miliknya setinggi 30 sentimeter.
Ningsih adalah warga Blok Empang yang saban hari bekerja sebagai buruh pengolah ikan di gudang penyimpanan ikan. Suaminya adalah nelayan pencari udang di sungai dan terkadang ikut melaut bersama nelayan lain. Pendapatan Ningsih dari mengolah ikan tak banyak, waktu kerjanya pun tak menentu. Setiap kali dia pulang larut malam, jalan berbatu di kampungnya sudah terendam air. Mau tak mau Ningsih melewatinya karena itu adalah akses satu-satunya menuju tempat tinggalnya. Dia paham risikonya. Apalagi jika sepatu bot yang dia pakai selalu kemasukan air. Jatuh dan terperosok lubang adalah hal biasa.
“Paling ya jatuh karena jalannya berbatu,” kata Ningsih tentang kejadian yang dia alami ketika melintasi jalan berbatu sepulang kerja dengan kondisi minim cahaya.
Suatu hari, banjir datang ketika Ningsih dan suaminya masih kerja di luar dan dua anaknya tidak ada di rumah. Rumah Ningsih yang sudah ditinggikan beberapa kali pun masih terendam. Ningsih yang pulang paling awal, langsung lemas mendapati kondisi rumahnya. Semua perabotan rumah tangganya tenggelam, termasuk televisi dan kulkas. “Itu TV dan kulkas sudah mati, tenggelam. Pas tidak ada orang di rumah,” ujar Ningsih menunjukkan seisi rumah.
Dia pun kadang membiarkan air masih menggenang di beberapa sudut rumah karena ketika dibersihkan, siangnya air pasti datang dan masuk ke dalam rumah lagi. “Capek,” katanya, singkat.
Ningsih sebenarnya ingin pindah, karena menganggap tinggal di Blok Empang sudah tidak layak. Ia juga tidak tega melihat anaknya yang masih sekolah jika setiap hari kebanjiran. Namun kondisi keuangan membuat Ningsih dan keluarganya harus bertahan dengan banjir yang sudah menjadi menu harian di kampungnya. “Mau pindah juga pindah ke mana, tidak ada tempat lain. Ya sudah di sini saja,” ujar Ningsih, pasrah.
Warga Eretan Wetan, kata Ningsih, pernah berdemo memprotes pemerintah yang dianggap membiarkan penderitaan nasib mereka. “Banjir sudah puluhan tahun terjadi. Ini merupakan pembiaran secara sistematis,” kata Supriyanto, 40 tahun, saat ditemui di Desa Eretan Wetan akhir Juni silam. Supriyanto adalah salah satu warga Eretan Wetan yang ikut mendatangi kantor Bupati dan DPRD Indramayu pada Senin, 23 Juni 2025. Ini adalah untuk kesekian kali mereka berdemo.
Kala itu, ratusan warga Eretan Wetan mendatangi kantor Bupati Indramayu, Jawa Barat, dengan membawa sejumlah poster dan spanduk. “Eretan Menolak Tenggelam”, adalah salah satu tulisan dalam spanduk yang mereka bentangkan. Supriyanto dan warga lainnya meminta keseriusan pemerintah menyelesaikan penderitaan panjang yang dialami warga Eretan Wetan. Mereka juga menagih janji relokasi dan pembangunan jalan, yang sampai sekarang tanpa kepastian.
“Penderitaan kami sudah cukup panjang,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Menurut Supriyanto, hampir 100 persen dari 3.700 rumah di Eretan Wetan selalu terendam. Lebih dari 10.000 jiwa warga terdampak dan yang paling parah ada di Blok Empang, tempat tinggal Suwandi dan Ningsih. Jika banjir rob datang, ketinggian air bisa mencapai lebih dari 1 meter. “[Banjir] datangnya kadang tengah malam, banyak ibu-ibu dan anak-anak yang tidak bisa tidur sampai pagi hari. Ini mengganggu psikologis dan kejiwaan kami,” keluh bapak tiga anak ini.
Dulu, dalam satu bulan hanya 3-4 hari terjadi banjir, biasanya saat bulan Purnama. Namun belakangan, yang terjadi justru kebalikannya. Banjir hanya surut 3-4 hari, lainnya selalu banjir. “Generasi kami, anak-anak kami di sini, dipaksa untuk menghadapi Indonesia Emas dengan ancaman paru-paru basah, dengan kondisi genangan yang setiap hari terjadi,” Supriyanto meluapkan emosinya dengan mata berkaca-kaca. “Setiap hari [kami] kemasukan air, ini merupakan bentuk penyengsaraan yang dibiarkan,” ujarnya kemudian, masih dengan amarah.
Pembiaran demi pembiaran terhadap penderitaan warga Eretan Wetan, menurut Supriyanto, memicu rumor Desa Eretan Wetan menjadi target untuk dikosongkan, dengan cara membiarkan banjir terus terjadi dan permukiman tenggelam dengan sendirinya. Faktanya, kata Supriyanto, telah banyak rumah-rumah yang dikosongkan dan ditinggalkan. Supriyanto menghitung, ada sekitar 30 hektar tambak serta tanah warga yang sudah beralih kepemilikan ke salah satu pengusaha. “Pasti ini ada rencana untuk membangun sesuatu di sini,” ujar Supriyanto.
Dugaan Supriyanto ini dikaitkan dengan sejumlah pabrik yang dalam beberapa tahun terakhir berdiri di sepanjang Pantura. Dan Eretan Wetan, nantinya menjadi bagian dari pembangunan kawasan industri di sepanjang Pantura-Indramayu. “Di Losarang pun sudah mulai banyak berdiri pabrik,” kata Supriyanto.
Losarang yang disebut Supriyanto, jika ditarik garis lurus, berjarak sekitar 8,5 kilometer dari Eretan Wetan. Di situ dibangun kawasan peruntukan industri, bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Rebana. Pada Maret lalu, PT Wiratama Indramayu Perkasa, perusahaan pengembang kawasan industri itu, mengungkap total rencana pengembangan proyek industri ini seluas 1.000 hektare. Sebanyak 300 hektare telah dibebaskan per Maret 2025.
Sekitar 20 perusahaan telah menyatakan kesiapan mereka untuk beroperasi di kawasan tersebut. “Kami mengusulkan kepada Kementerian Perindustrian agar kawasan yang kami bangun ini resmi menjadi Kawasan Industri Losarang,” kata Edward Sofiananda, direktur utama PT Wiratama Indramayu Perkasa.
Dalam peta pembangunan industri Kawasan Rebana, dan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Indramayu 2024-2044, sisi kanan-kiri Eretan Wetan di sepanjang Pantura telah ditepkan menjadi Kawasan Peruntukan Industri. Penetapan itu membuat Eretan Wetan diapit kawasan industri. KPI Losarang di timur, dan KPI Patrol di sebelah baratnya.
Sampai laporan ini diterbitkan, Bupati Indramayu Lucky Hakim, belum memberikan jawaban terkait persoalan yang terjadi di Indramayu. Namun di beberapa kesempatan, ia berjanji kepada warga Eretan Wetan untuk membangun tanggul dan menanam mangrove. Opsi reloaksi juga dia berikan. Tapi katanya, sebagian warga tidak mau, karena hanya akan menjauhkan mereka dari aktivitas atau pekerjaan yang selama ini mereka tekuni di Eretan Wetan. Akhirnya disepakati pembangunan tanggul.
Bupati yang pernah main sinetron berjudul Bukan Mawar Tapi Melati, juga membahas masalah Eretan Wetan bersama Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Mereka sepakat, akan membangun rumah panggung sebanyak 900 rumah. Tapi sampai sekarang, pembangunan tanggul yang sangat diharapkan warga Eretan Wetan, belum juga terealisasi.
Kisah dari pesisir Kendal: ‘Akar permasalahannya alih fungsi lahan’
Bergeser sekitar 260 km ke timur, di pesisir Desa Kartikajaya, Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Sulistyaningsih, 47 tahun, bersama anak perempuannya membersihkan sisa-sisa banjir rob yang baru saja surut. Genangan air masih tampak di beberapa ruangan, seperti dapur dan ruang tamu. Lantai masih terasa basah di kaki, dinding rumah pun terasa dingin dan lembab. Barang-barang elektronik masih diungsikan di atas kamar tidur, sementara kursi-kursi di ruang tamu masih ditumpuk sekadarnya.
Wasito, 52 tahun, suami Sulistyaningsih, menata kursi di ruang tamu untuk duduk. Tak semua kursi dia tata karena khawatir banjir akan kembali tiba. “Ini sisa banjir rob kemarin sore, tadi pagi mulai surut,” kata Wasito, sambil mengitarkan jari telunjuknya ke ruang-ruang di dalam rumahnya yang masih tergenang air, awal Juli silam.
Untuk kesekian kalinya, rumah Wasito terendam banjir rob. Banjir pertama di tahun ini terjadi pada Mei kemarin, merendam sekitar 200 kepala keluarga. “Mei yang paling parah, ketinggian hampir 1 meter selama empat hari,” ujar Wasito, seraya menambahkan pada bulan-bulan berikutnya, banjir rob kembali menyambangi rumah-rumah warga.
Terhitung sejak Juli kemarin, kata Wasito, intensitas banjir rob di Kartikajaya menjadi bulanan, bukan lagi tahunan. Pria yang bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kendal ini bilang dulu banjir besar hanya terjadi dalam empat tahun sekali. Ia mencontohkan, banjir besar terjadi pada 2000 silam. Kala itu, air merendam sekitar 80 rumah penduduk pesisir Kartikajaya.
Selang 15 tahun kemudian, pada 2015, intensitasnya mulai naik yakni dua tahun sekali. Pada 2022, semakin banyak rumah-rumah yang terendam banjir rob. Pada 2024, intensitasnya kembali naik. Tak lagi dua tahun sekali, tapi sepanjang tahun. Di sisi lain, permukiman yang terendam semakin meluas. “Tahun 2025 ini, bulanan,” kata Wasito.
Wasito lalu memandang lurus ke depan. Dari tempatnya duduk di ruang tamu bisa langsung melihat pohon Tancang (Bruguiera gymnorrhiza), yang dia tanam di depan rumah. Penanaman mangrove ini dilakukan setelah melihat makin banyaknya area green belt atau sabuk hijau—area lahan hijau yang masih alami—di kawasan pesisir Kendal rusak, bahkan hilang.
Wasito menduga ini menjadi salah satu penyebab abrasi di Kendal semakin intens dan masif. Dalam pengamatannya, abrasi yang sangat kuat dan banjir rob besar di Kendal telah terjadi sejak 2019. “Akar permasalahannya yaitu alih fungsi lahan,” ujar Wasito, pelan.
Pesisir Kendal yang tadinya kawasan mangrove, menurut Wasito, telah berubah menjadi kawasan industri. Penanaman mangrove yang dilakukan Wasito tak sekadar di sekitar tempat tinggalnya, tapi sepanjang pesisir Kendal—mulai dari Pantai Ngebum sampai muara Sungai Waridin. Mangrove yang ditanam di sana berjenis Api-api (Avicennia spp.). Pohon pun tumbuh secara alami dan bisa menjadi pelindung kawasan pesisir.
Atas jasanya melestarikan lingkungan dengan penanaman mangrove di pesisir pantai, Wasito dianugerahi penghargaan Kalpataru pada 2020 lalu. Namun, upaya pelestarian yang dilakukan Wasito, terbentur alih fungsi lahan. Pesisir yang dulunya hamparan mangrove kini hilang karena diurug dan direklamasi. “Di mana ada reklamasi, pasti di sebelahnya terjadi abrasi,” ujar Wasito, merujuk pengalamannya di pesisir Demak, yang juga mengalami banjir rob dan abrasi.
Pembangunan pelabuhan di sekitar kawasan ekonomi khusus (KEK) Kendal, menurut Wasito, memperburuk kondisi lingkungan karena menghilangkan mangrove. Dampaknya, abrasi semakin merajalela. “Dari alih fungsi lahan tersebut ada yang jadi kawasan industri, ada yang menjadikan tambak modern, akhirnya hutan-hutan mangrove yang sebelumnya sudah ada itu kan dibabat ataupun dipotong,” kata Wasito. “Maka hutan mangrove sebagai penahan ombak secara alami, sudah tidak ada,” ujarnya kemudian.
Jarak antara rumah Wasito dan KEK Kendal terbilang jauh, jika ditarik garis lurus jaraknya sekitar 10 kilometer. Namun hilangnya kawasan lindung alami ditambah dengan pembangunan industri di pesisir Kendal yang juga masif, menurutnya, bisa berdampak ke semua pesisir di Kendal.
Setidaknya itulah yang juga dirasakan oleh Turmudzi, 64 tahun, yang tinggal sekitar 2,5 km dari KEK Kendal. Turmudzi mengatakan, banjir rob di Desa Purwokerto, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal, tempat dia tinggal sudah masuk ke rumah-rumah warga dan kian intens. Padahal tahun-tahun sebelumnya, ini tak pernah terjadi. “Dikit-dikit banjir, dikit-dikit banjir,” kata Turmudzi, kesal.
Menurut Turmudzi, tumbukan antara air rob dari laut dengan air saluran irigasi membuat air meluber ke jalan-jalan sampai ke perkampungan. Itulah mengapa selalu terjadi banjir ketika musim hujan. “Itu juga termasuk pengaruh dari KEK,” ujar Turmudzi.
Keberadaan KEK Kendal yang melakukan pembangunan kawasan industri di pesisir, menurutnya, menyebabkan air meluap ke mana-mana, dan terjadilah sedimentasi di muara sungai-sungai kecil. Saluran irigasi dan sungai yang tersedimentasi ini, mengakibatkan air tidak bisa mengalir. Ini yang Turmudzi maksud sebagai tumbukan antara air rob laut dan air saluran irigasi. Dampaknya meluap ke jalan dan perkampungan.
“Istilahnya orang Jawa nambahi mbludakan, mbludak (menambah luapan, meluap) ke masyarakat sekitar kanan-kirinya daerah itu,” terang Turmudzi.
Di sekitar rumah Turmudzi terdapat beberapa saluran irigasi yang langsung menuju laut. Warga sekitar menyebutnya Kali Wedus. Sungai itu lebarnya sekitar 3 meter. Di salah satu sisinya adalah jalan untuk lalu lalang kendaraan, sementara sisi lainnya adalah area tambak dan sawah. Airnya terlihat tenang dan ketika menyusuri muara sungai, terlihat ada pendangkalan. Saat menjelang sore, sebagian air sungai meluap dan tumpah ke jalan-jalan. sebagian lainnya tumpah ke areal tambak atau sawah.
Luapan inilah yang Turmudzi maksud sebagai tumbukan air rob dan air dari sungai. “Ya itu tumbukan dan meluap,” kata Turmudzi.
Tumbukan itu menurut Turmudzi dan warga lain di sekitar sungai, belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka baru merasakannya setelah ada pembangunan industri di pesisir, yang mereka anggap menguruk tambak dan dekat dengan sungai. Dampaknya terjadilah sedimentasi dan pendangkalan di muara sungai.
Direktur Eksekutif KEK Kendal, Juliani Kusumaningrum, beranggapan banjir di sekitar kawasan terjadi “karena saluran pembuangan macet atau ditutup”. “Tetapi untuk di kawasan kita sendiri, sebenarnya kita tidak melakukan pemindahan saluran. Itu tidak ada,” tegas Juliani.
Terkait makin menghilangnya ekosistem mangrove di Kendal akibat alih fungsi lahan, Juliani menampik tudingan tersebut, seraya menegaskan “bakau-bakau tetap, kita tidak melakukan apa pun”. Situasi yang terjadi di pesisir utara Kendal, menurutnya, tak luput dari apa yang disebut sebagai penurunan muka tanah (land subsidence).
“Sementara yang terjadi land subsidence ini adalah daerah-daerah pemukiman yang di luar dari kawasan,” ujar Juliani, Juli silam. “Kita tahu problem itu terjadi, tetapi pemukiman ini letaknya dekat dengan kawasan atau mungkin bisa dibilang kawasan ini ada permukiman. Permukiman kita tetap remain fungsinya sebagai pemukiman, tidak dipindahkan.”
Upaya yang dilakukan pengelola KEK Kendal untuk memitigasi banjir rob, kata Juliani, adalah dengan memasang pompa otomatis yang mengirim sinyal jika ketinggian air sudah di ambang batas. Pompa langsung menyala. “Begitu pompa nyala, itu seharusnya tidak terjadi banjir. Tetapi, kenapa misalkan masih terjadi banjir?”
“Itu sebenarnya area-area lain di sekitaran Kendal yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan adanya atau tidak adanya kawasan industri,” tegas Juliani.
Dengan adanya penurunan muka tanah yang terjadi di pesisir utara Jawa, Juliani menegaskan perlunya perlindungan garis pantai, seperti giant sea wall yang digadang-gadang pemerintah. “Giant sea wall itu sebenarnya harusnya prioritas, bukan hanya untuk kawasan kita saja, tapi untuk Jawa Tengah sebenarnya, terutama area Demak, Sayung, begitu juga dengan area-area yang dekat dengan Tanjung Mas,” ujarnya. “Itu kalau sudah musimnya, itu sudah pasti setiap tahun itu adalah fenomena tahunan, [banjir rob] pasti terjadi, tidak mungkin dilewatkan.”
Kisah dari pesisir Gresik: ‘Kalau jalan ini putus, mungkin desa tenggelam semua’
Bergerak lagi sekitar 375 km ke arah timur, di Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, ruas jalan juga terendam banjir rob pada akhir Mei lalu. Air rob juga masuk ke rumah warga yang berada di ujung desa, dekat muara Kalimireng. “Warga yang paling ujung sering tenggelam, antara 20-30 cm,” kata Isharul Munir, 43 tahun, saat ditemui di Balai Nelayan Kalimireng, awal Agustus lalu.
Isharul tak ingat, kapan tepatnya banjir rob mulai merendam ruas jalan dan rumah-rumah warga. Namun ia merasakan telah terjadi perubahan di desanya. “Baru terjadi setelah maraknya reklamasi dan tambak diuruk untuk kawasan industri,” imbuhnya.
Di Kecamatan Manyar, memang sedang ada pembangunan kawasan industri berlabel Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, atau disebut Java Integrated Industrial Port Estate (JIIPE) Gresik. Lokasi tersebut sangat dekat dengan Balai Nelayan Kalimireng, hanya berjarak sekitar 3,5 km. Di sekitar Balai Nelayan dan sepanjang sungai Kalimireng, pohon Api-api (Avicennia spp.) tumbuh sangat dominan.
Isharul menunjukkan rimbunnya ekosistem mangrove itu, dengan menyebut keberadaan hutan tersebut telah menyelamatkan jalan penghubung desa dari abrasi dan ancaman tenggelam. “Kalau jalan ini putus (tenggelam), mungkin desa Manyar juga tenggelam semua dengan ketinggian yang lebih parah,” ujar Isharul.
Penanaman mangrove di Manyar, yang dimulai sejak 2004, diyakini warga sebagai pelindung alami dari abrasi dan rumah bagi ekosistem pesisir. Kawasan ini memiliki 28 jenis mangrove yang tersebar hingga sempadan pantai dan tambak warga. Isharul tahu betul lokasinya, karena dia termasuk bagian Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Manyar Sidomukti.
Namun, saat ini banyak lahan mangrove tersebut beralih fungsi. Adanya reklamasi dan pembangunan JIIPE telah menghilangkan kawasan yang dulunya ditanami mangrove dan menyebabkan tambak-tambak warga diuruk. “Ada kawasan mangrove yang ditebang, hilang, dan berganti menjadi industri,” kata Isharul.
Isharul memperkirakan luas kawasan mangrove yang hilang akibat pembangunan JIIPE mencapai 300 hektar. Ia memperoleh angka ini dengan menghitung 0,1 persen dari total luas pembangunan JIIPE yang menurutnya mencapai 3.000 hektar. “Kita tarik yang paling kecil, dan tidak termasuk rawa, hanya tambaknya saja. Kita patok 0,1 persen, dengan 3.000 hektare. Itu sudah kelihatan berapa ratus hektar untuk mangrovenya sendiri,” jelas Isharul.
Isharul menganalogikan reklamasi dan pengurukan pesisir untuk industri seperti sebuah cawan yang diberi beban berat, menyebabkan airnya meluap tak terkendali. Hilangnya jalur alami dan area resapan air yang berubah menjadi bangunan industri membuat gelombang pasang—banjir rob—mudah masuk ke daratan.
Dampaknya, banjir rob kini tidak hanya terjadi di sekitar kawasan industri, tetapi juga meluas ke desa-desa tetangga, seperti Desa Banyuwangi yang kini sering tenggelam akibat luapan air laut. Desa Banyuwangi masih berada di kecamatan Manyar, jika ditarik garis lurus, jaraknya sekitar 4,5 km dari lokasi JIIPE.
Salah satu warga Desa Banyuwangi, Ahmad Kirom, 70 tahun, kini menghadapi banjir rob yang intensitasnya meningkat drastis. Dahulu rumahnya jarang kebanjiran, tetapi sekarang selalu terendam air pasang setinggi 30–50 cm, bahkan bisa terjadi dua kali dalam sebulan. “Rumah selalu tergenang air pasang, sebulan bisa dua kali,” katanya.
Untuk bertahan, Kirom sudah meninggikan lantai rumahnya sebanyak tiga kali, termasuk meninggikan tempat perabot elektronik. Ia juga membuat tanggul kecil di pintu belakang untuk menahan luapan air dari tambak di belakang rumah. Sayangnya, saking seringnya terendam, lantai keramik rumah Kirom kini retak-retak, menjadi jalur baru masuknya air. “Pas air pasang itu bisa masuk melalui pori-pori keramik,” katanya.
Situasi diperparah setelah jalan kampung ditinggikan, membuat air banjir langsung masuk karena lantai rumahnya menjadi lebih rendah dari jalan. Kirom tidak tahu penyebab pastinya, namun ia meyakini intensitas banjir rob terjadi karena alam telah rusak dan adanya pembangunan industri di pesisir timur rumahnya.
Beberapa kilometer dari rumah Kirom, kawasan mangrove di Desa Tajung Widoro, Kecamatan Bungah, dulunya adalah area tambak. Abdul Fadil, 50 tahun, menceritakan abrasi dan gelombang laut pasang telah merusak ratusan hektare tambak, dan membuat petambak merugi. Tapi situasi ini membaik setelah adanya penanaman mangrove, abrasi mulai terkendali dan tak lagi merusak perkampungan. Banjir rob juga berkurang, kata Fadil.
Melihat manfaat nyatanya, program penanaman mangrove diperluas di Tajung Widoro, didukung dengan pembangunan tanggul di sekitar kawasan untuk menangkal gelombang pasang. Sejak saat itu, masyarakat di dekat kawasan mangrove terhindar dari abrasi, dan para petambak dapat melanjutkan aktivitasnya dengan tenang. “Saya juga sebagai penggarap tambak milik orang,” kata Fadil.
Namun Fadil menyayangkan saat ini banyak kawasan mangrove berganti menjadi area industri, seperti di proyek pembangunan JIIPE. Padahal, mangrove dibutuhkan masyarakat pesisir sebagai pelindung alami dan penjaga ekosistem laut. Dugaan Fadil bahwa reklamasi dan pembangunan pesisir merusak lingkungan semakin kuat karena rumahnya–berjarak sekitar 6,5 km dari JIIPE—kini sering kemasukan banjir.
Sebelumnya, banjir besar hanya terjadi setiap lima hingga tujuh tahun sekali. Tapi setelah marak reklamasi dan pembangunan JIIPE, hampir setiap hari banjir rob masuk ke rumah lewat dapurnya yang menghadap ke laut. “Dulu itu enggak sampai depan rumah, mau ke depan rumah itu menunggu beberapa tahun. Sekarang tiap tahun sampai depan rumah,” ujar Fadil dengan nada tinggi.
Sementara itu, Bambang Sutiono Sudijanto, Direktur Utama PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera—pengelola JIIPE—menegaskan pihaknya “belum pernah melihat bahwa dengan adanya JIIPE ini mengakibatkan banjir”.
“Karena lokasi kita ini diapit oleh dua sungai yang di belakangnya [ada] laut. Jadi sepanjang air laut itu tidak naik sampai signifikan, tidak akan terjadi sampai banjir,” kata dia. “Sampai sekarang ini 12 tahun saya tidak pernah mendengar bahwa itu akibat daripada reklamasi di JIIPE.
Akan tetapi, menurut ahli geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, ketinggian banjir rob dapat menjadi indikator sederhana adanya eksploitasi oleh kawasan industri di Pantura. Sebagai contoh, di Desa Manyar tempat Isharul tinggal, banjir rob yang mencapai lebih dari 30 cm secara saintifik mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan tanah lebih dari 10 cm, yang merupakan dampak dari eksploitasi air tanah.
Andreas menegaskan bahwa tingginya banjir rob tersebut membuktikan secara ilmiah adanya eksploitasi, terlepas dari klaim pengelola industri yang menyangkal penggunaan air tanah. “Pasti [dampak] industri itu,” kata Andreas. “Di mana ada industri di situ memang kenceng turunnya,” imbuhnya.
Pantura tenggelam lebih cepat
Apa yang terjadi di Gresik, menurut Heri Andreas, adalah contoh nyata bagaimana industrialisasi yang marak di Pantura telah memperparah krisis iklim. Kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim dan penurunan muka tanah di pesisir utara Jawa—yang diperparah dengan pembangunan industri—memicu banjir rob yang kian intens dan berefek domino yang merugikan masyarakat.
“Beban infrastruktur dan urukan, otomatis mempercepat penurunan tanah. Itu sudah pasti,” tegas Heri Andreas.
Pesisir Pantura, yang membentang dari Banten hingga Probolinggo, merupakan daerah endapan sedimen aluvial dengan struktur tanah yang rata-rata lunak dan banyak digunakan untuk tambak. Secara alami, tanah lun
Ringkasan
Banjir rob dan abrasi semakin mengancam Pantura, diperparah oleh proyek industri seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mengalihkan lahan mangrove. Alih fungsi lahan seluas 18.882 hektar untuk industri di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat menyebabkan hilangnya kawasan mangrove, eksploitasi air tanah, dan migas, mempercepat penurunan tanah yang mengakibatkan banjir rob yang semakin intens.
Kisah pilu warga di Indramayu, Kendal, dan Gresik menggambarkan dampak nyata dari ‘ekosida’ ini. Mulai dari rumah yang terus-menerus terendam banjir, hingga mata pencaharian yang hilang akibat abrasi. Industrialisasi yang terus berlanjut berpotensi menenggelamkan Pantura lebih cepat dari perkiraan, membuat tanggul laut raksasa yang direncanakan pemerintah menjadi solusi semu jika eksploitasi air tanah tidak dihentikan.









