Badan SAR Nasional (Basarnas) menduga kegagalan konstruksi menjadi penyebab ambruknya bangunan pondok pesantren Al Khoziny. Tragisnya, bangunan empat lantai tersebut runtuh dengan pola yang disebut “pancake model,” di mana lantai-lantai bertumpuk menyerupai pancake. Akibatnya, proses evakuasi menjadi sangat sulit.
Menurut Kepala Subdirektorat Pengarahan dan Pengendalian Operasi Bencana (RPDO) Basarnas, Emi Freezer, beban reruntuhan yang terkonsentrasi di bagian tengah bangunan menjadi penghalang utama bagi tim penyelamat. “Area yang seharusnya menjadi akses masuk tim evakuasi, kini rata dengan lantai dasar,” jelas Freezer dalam konferensi pers pada Rabu, 1 Oktober 2025. Saat ini, tim penyelamat mengandalkan interaksi suara dan kamera pencari fleksibel yang dimasukkan melalui celah-celah sempit untuk menemukan korban.
Lebih lanjut, Freezer menyoroti kejanggalan pada kolom utama bangunan yang berbentuk huruf U. Bentuk ini mengindikasikan bahwa konstruksi bangunan tersebut tidak memenuhi standar yang ditetapkan. “Seharusnya, jika konstruksinya baik, bangunan yang ambruk akan patah, bukan melengkung dan elastis seperti yang terjadi pada pondok pesantren ini,” tegas Freezer. Elastisitas yang berlebihan pada kolom mengimplikasikan bahwa struktur bangunan tidak mampu menahan beban secara keseluruhan, sehingga menciptakan banyak celah sempit atau void yang memerangkap para korban.
Senada dengan Basarnas, pakar konstruksi bangunan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mudji Irmawan, berpendapat bahwa pembangunan pondok pesantren Al Khoziny mengabaikan prinsip-prinsip dasar konstruksi bangunan yang benar. Menurutnya, perhatian terhadap detail, terutama sambungan antar elemen struktur, sangat krusial dalam membangun gedung bertingkat.
Mudji menjelaskan bahwa sambungan antara elemen struktur, seperti balok dengan balok, serta balok dengan kolom, harus diperhatikan secara seksama agar konstruksi bangunan menjadi kokoh dan stabil. “Pembangunan Pondok Pesantren Al Khoziny ini tidak stabil karena kondisi sambungan antar-elemen struktur yang buruk. Akibatnya, penambahan beban di lantai tiga dan empat, ditambah dengan goyangan dinamis, menyebabkan struktur bangunan kolaps,” paparnya.
Selain itu, Mudji juga menyoroti aktivitas salat asar berjamaah yang dilakukan oleh ratusan santri di lantai satu, bersamaan dengan kegiatan pengecoran di lantai empat. Kombinasi ini menyebabkan beban bangunan meningkat secara signifikan. “Ditambah lagi, getaran yang timbul selama pekerjaan pengecoran semakin menekan konstruksi bangunan, hingga akhirnya ambruk,” imbuhnya.
Meski lokasi pondok pesantren Al Khoziny berdekatan dengan rel kereta api, Mudji memastikan bahwa getaran kereta api tidak menjadi faktor utama penyebab ambruknya bangunan. “Jarak antara rel dengan bangunan cukup jauh, sekitar 300 meter, sehingga getaran kereta api tidak terlalu berpengaruh,” jelas Mudji.
Tragedi ini menyisakan duka mendalam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan bahwa 91 orang masih tertimbun di bawah reruntuhan Pondok Pesantren Al Khoziny. Upaya pencarian dan penyelamatan terus dilakukan dengan harapan dapat menemukan korban selamat.
Ringkasan
Kegagalan konstruksi diduga menjadi penyebab ambruknya Pondok Pesantren Al Khoziny, dengan pola runtuhan “pancake model” yang menyulitkan evakuasi. Kepala Subdirektorat RPDO Basarnas, Emi Freezer, menyoroti bentuk kolom utama yang tidak standar dan elastisitas berlebihan, menandakan ketidakmampuan struktur menahan beban. Hal ini menciptakan celah-celah sempit yang memerangkap korban.
Pakar konstruksi ITS, Mudji Irmawan, menambahkan bahwa pembangunan pesantren mengabaikan prinsip dasar konstruksi, terutama detail sambungan antar elemen struktur. Penambahan beban di lantai atas dan getaran dinamis, termasuk aktivitas pengecoran, memperburuk kondisi, menyebabkan struktur kolaps. Meskipun dekat rel kereta, getaran kereta api tidak dianggap sebagai penyebab utama.








