Norma: Antara Mertua dan Menantu, Film Perselingkuhan yang Mencuri Perhatian Asia Tenggara
Tayangan drama perselingkuhan kembali menghebohkan publik. Film Norma: Antara Mertua dan Menantu, yang diangkat dari kisah viral Norma Risma di TikTok akhir tahun 2022, menghias peringkat 10 besar film non-Inggris di Netflix selama dua pekan, mencatat lebih dari 2,5 juta penonton di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan bahkan Myanmar. Keberhasilannya di platform digital ini jauh melampaui pencapaian di bioskop Indonesia, yang hanya mencapai 600.000 penonton pada penayangannya Maret 2025. Kepopuleran film ini memunculkan pertanyaan: apa yang membuat kisah perselingkuhan ini begitu menarik perhatian lintas negara? Apakah ini semata-mata solidaritas perempuan, atau lebih kepada kepuasan gosip atas skandal yang menghebohkan?
Kisah Norma, yang suaminya berselingkuh dengan ibu kandungnya sendiri, menambah deretan panjang kasus perselingkuhan yang diungkap melalui media sosial, dan kemudian diadaptasi menjadi film. Sebelum Norma, ada serial Layangan Putus dan film Ipar adalah Maut yang juga sukses besar berkat kisah nyata yang viral. Kesamaan ketiga film ini mengindikasikan adanya minat publik yang besar terhadap tema ini.
Terkait proses kreatifnya, penulis naskah Oka Aurora mengungkapkan bahwa Norma Risma terlibat aktif dalam pengembangan cerita. Diskusi intens dilakukan untuk memastikan kebenaran garis besar cerita dan karakter, termasuk memanusiawikan tokoh ibu yang diperankan Wulan Guritno. Namun, Oka mengakui adanya dramatisasi untuk meningkatkan daya tarik film bagi penonton. Perubahan ini, yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan emosi, ternyata menghasilkan dampak yang berbeda di bioskop dan di platform streaming. Di bioskop, penonton mungkin merasa lebih bersimpati pada pelaku, sementara di Netflix, film ini meraih kesuksesan besar.
Norma sendiri, hingga saat ini, menolak berkomentar mengenai film tersebut. Ia kini bekerja sebagai tenaga alih daya di Serang, Jawa Barat, dan ibunya, Rihanah, telah kembali bersamanya setelah menjalani hukuman delapan bulan penjara. Namun, dalam jumpa pers Februari 2025, Norma mengungkapkan bahwa banyak perempuan yang menghubunginya, mengungkapkan pengalaman serupa dan mengungkapkan rasa takut untuk bersuara. Motivasi Norma membiarkan kisahnya diangkat ke layar lebar adalah untuk mencegah perempuan lain mengalami nasib yang sama, meskipun ia mengakui adanya rasa sakit dan trauma dalam prosesnya.
Observasi Oka Aurora menunjukkan bahwa penonton bioskop yang menyaksikan film bertema perselingkuhan cenderung ingin melampiaskan amarah. Adegan penggrebekan, yang menjadi klimaks film-film serupa, memberikan peluang bagi penonton untuk mengekspresikan emosi tersebut. Film Norma menggunakan formula penggrebekan yang berujung pada sanksi sosial dari warga kampung, menciptakan klimaks emosional yang kuat. Pengalaman Vero, seorang ibu rumah tangga, mencerminkan hal ini: amarahnya memuncak saat adegan penggerebekan, berganti menjadi air mata saat menyaksikan Norma menemukan suaminya dan ibunya di dalam kamar. Vero juga mengakui bahwa film ini, meski menimbulkan rasa curiga pada pasangan, memberinya kesempatan untuk melepaskan emosi dan memicu kesadaran untuk lebih memperhatikan perilaku suaminya.
Mengapa Film Perselingkuhan Populer di Asia Tenggara? Sebuah Perspektif Gender
S.M. Gietty Tambunan dari Komite Film Dewan Kesenian Jakarta berpendapat bahwa film seperti Norma dapat dilihat sebagai upaya solidaritas perempuan. Film ini memberikan ruang bagi perempuan untuk menceritakan pengalaman kekerasan yang dialaminya, dan menginspirasi perempuan lain untuk berani bersuara. Solidaritas ini diperkuat oleh konteks sosial budaya di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Myanmar, di mana perempuan seringkali menanggung sanksi sosial dan hukum yang lebih berat dibandingkan laki-laki dalam kasus perselingkuhan. Laki-laki yang berselingkuh seringkali lolos tanpa sanksi sosial yang berarti, bahkan di beberapa negara poligami masih dilegalkan.
Namun, Gietty juga memperingatkan bahaya eksploitasi dan obyektifikasi perempuan dalam film bertema perselingkuhan. Risetnya pada 2018, Shaming The Other Woman (Pelakor): Female Catfight As A Spectale In Social Media, menunjukkan kecenderungan untuk menyalahkan perempuan, baik istri sah maupun “pelakor,” sementara laki-laki cenderung luput dari hukuman atau kritik yang sepadan. Fenomena “female catfight” dalam budaya populer, yang kerap menampilkan rivalitas perempuan secara dramatis, juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan. Film seringkali menggunakan dikotomi yang menggambar istri sah sebagai perempuan yang baik dan pihak ketiga sebagai perempuan yang jahat dan menggoda, sekaligus mengeksploitasi citra tubuh perempuan.
Meskipun Oka Aurora mengakui kekhawatiran terkait obyektifikasi perempuan dan berusaha meminimalisirnya, ia juga mengatakan adanya pertimbangan pasar yang tak bisa diabaikan. Gietty Tambunan menambahkan bahwa minat penonton Asia Tenggara terhadap cerita melodrama dan rivalitas perempuan berakar pada ideologi patriarki dan sudah lama menjadi bagian dari industri budaya populer di kawasan ini.
Dari Kisah Viral hingga Layar Lebar: Antara Kesuksesan dan Kritik
Norma: Antara Mertua dan Menantu, meski sukses, juga menuai kritik. Beberapa pihak menilai industri perfilman Indonesia terlalu terpaku pada tren viral (“Fear Of Missing Out” atau FOMO), yang berpotensi mempengaruhi kualitas film. Gietty Tambunan mengatakan bahwa cerita dari media sosial memang dapat menjadi sumber inspirasi, namun pertimbangan pasar seringkali menjadi faktor utama dalam pembuatan film. Oka Aurora sendiri mengakui tantangan mengarjakan naskah adaptasi, terutama dalam mengarang detail cerita yang hanya permukaan di media sosial. Meskipun demikian, ia berharap untuk bisa memproduksi lebih banyak naskah orisinil di masa depan. Namun, realitanya, film adaptasi dari kisah viral, termasuk yang bertema perselingkuhan, diprediksi akan tetap berkembang di industri perfilman Indonesia.
Terlepas dari berbagai perspektif dan kritik, film Norma: Antara Mertua dan Menantu telah membuktikan daya tarik kisah perselingkuhan dalam budaya populer Asia Tenggara. Film ini juga memicu diskusi penting mengenai representasi perempuan, eksploitasi, dan dampak kisah viral terhadap industri perfilman. Lebih jauh lagi, film ini turut mengangkat isu-isu sosial dan perempuan dalam konteks patriarki.
Sederet alasan kita perlu bicara soal perselingkuhan; Singapura diguncang skandal perselingkuhan dan korupsi; Mengapa anak memutuskan hubungan dengan orang tua mereka?; Di balik film ‘Sore: Istri dari Masa Depan’ – Ketika dalam duka perempuan masih disalahpahami; Mengapa film horor kembali mendominasi di libur Lebaran? – ‘Film horor itu pelumas roda bisnis bioskop’; Skandal perselingkuhan terungkap, Miss Jepang kelahiran Ukraina melepas gelarnya; Di balik pujian dan kritikan terhadap Jumbo, film animasi terlaris se-Asia Tenggara – ‘Mengungkap bagaimana anak memproses duka kehilangan orang yang dicintai’; Sempat ‘hilang’ puluhan tahun, bagaimana ‘Turang’ yang meraih predikat film terbaik Indonesia ditemukan kembali?; Hapus ‘kasta’ dalam genre film, ‘Perempuan Tanah Jahanam’ jadi film horor pertama wakili Indonesia di ajang Piala Oscar; Di balik film ‘Sore: Istri dari Masa Depan’ – Ketika dalam duka perempuan masih disalahpahami; Kpop Demon Hunters: Masa depan budaya pop Korea di tangan grup virtual; One Piece: Dari pasar ceruk terkecil menjadi serial anime favorit presiden dan artis internasional.
Ringkasan
Film “Norma: Antara Mertua dan Menantu,” adaptasi dari kisah viral di TikTok, meraih sukses besar di platform streaming Netflix di beberapa negara Asia Tenggara, melampaui pencapaiannya di bioskop Indonesia. Keberhasilan ini memicu diskusi tentang daya tarik kisah perselingkuhan dan representasi perempuan dalam film, serta dampak kisah viral terhadap industri perfilman.
Beberapa ahli berpendapat kesuksesan film tersebut dapat dilihat sebagai solidaritas perempuan, memberikan ruang bagi mereka yang mengalami kekerasan untuk bersuara. Namun, juga ada kekhawatiran tentang eksploitasi dan obyektifikasi perempuan, serta kecenderungan menyalahkan perempuan dalam narasi perselingkuhan, mencerminkan ideologi patriarki yang masih kuat di kawasan tersebut.











