Sepekan pasca aksi massa yang berlangsung dari tanggal 28 hingga 30 Agustus 2025, suara masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan 17+8 terus bergema. Mereka secara aktif mengawasi respons dan tindakan nyata dari berbagai pihak, mulai dari Presiden Prabowo Subianto, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), partai politik, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga kementerian-kementerian yang memegang kendali sektor ekonomi.
Berdasarkan pantauan yang dilakukan oleh Tempo melalui situs bijakmemantau.id, dari 17 tuntutan jangka pendek yang diharapkan dapat dipenuhi paling lambat tanggal 5 September 2025, realisasinya masih jauh dari harapan. Mari kita telaah lebih lanjut, apa saja yang sudah dikerjakan, yang masih dalam proses, dan mana saja yang masih belum tersentuh.
Di tingkat DPR, terdapat tiga poin yang dianggap telah menunjukkan kemajuan. Ketiga tuntutan tersebut meliputi pembekuan kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR, serta pembatalan fasilitas-fasilitas baru termasuk pensiun; publikasi anggaran secara transparan terkait dengan gaji, tunjangan, rumah dinas, dan fasilitas lainnya yang diterima oleh anggota dewan; serta dorongan kepada Badan Kehormatan DPR untuk proaktif memeriksa anggota yang terindikasi bermasalah, termasuk melalui penyelidikan yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Langkah-langkah ini menjadi pencapaian konkret yang berhasil diwujudkan dalam kurun waktu satu minggu dari total 17 tuntutan yang diajukan.
Namun, sejumlah poin lain masih dalam tahap proses, meskipun belum ada hasil final yang dapat dilaporkan. Presiden Prabowo Subianto dikabarkan tengah membentuk tim investigasi independen yang bertugas menyelidiki kasus tewasnya Affan Kurniawan, Umar Amarudin, dan korban-korban lainnya akibat kekerasan aparat dalam demonstrasi akhir Agustus lalu.
Sementara itu, dari kubu partai politik, beberapa ketua umum dilaporkan baru mulai menindaklanjuti desakan untuk menjatuhkan sanksi tegas kepada kader-kader yang bermasalah dan membuka ruang dialog yang konstruktif dengan perwakilan masyarakat sipil. TNI juga dilaporkan masih dalam proses untuk secara terbuka menyatakan komitmennya untuk tidak memasuki ranah sipil selama masa krisis demokrasi.
Di sektor ekonomi, pemerintah diklaim sedang berupaya menjamin upah yang layak bagi para pekerja, mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, memberikan perlindungan yang lebih baik kepada buruh kontrak, serta membuka dialog yang inklusif dengan serikat buruh terkait isu-isu krusial seperti outsourcing dan upah minimum.
Sayangnya, sebagian besar poin tuntutan lainnya masih berstatus “belum dijalankan”. Presiden belum mengambil langkah konkret untuk menarik TNI dari tugas pengamanan sipil maupun menghentikan kriminalisasi terhadap para demonstran. Polri juga belum memenuhi desakan untuk membebaskan seluruh demonstran yang masih ditahan, menghentikan segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat, dan memproses secara hukum para pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di internal kepolisian.
TNI juga belum sepenuhnya kembali ke barak atau menegakkan disiplin internal agar tidak mengambil alih fungsi dan wewenang Polri. Begitu pula dengan partai politik, yang belum menyampaikan komitmen yang jelas dan tegas untuk berpihak pada kepentingan rakyat di tengah situasi krisis yang sedang berlangsung.
Selain 17 tuntutan jangka pendek tersebut, masyarakat sipil juga menagih delapan tuntutan tambahan yang memiliki tenggat waktu hingga 31 Agustus 2026. Tuntutan-tuntutan tersebut mencakup reformasi menyeluruh terhadap DPR dan partai politik, reformasi sistem perpajakan, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, revisi Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang TNI, penguatan peran dan fungsi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), serta peninjauan ulang terhadap kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.
Hingga saat ini, berdasarkan catatan yang terhimpun di situs bijakmemantau.id, sebagian besar tuntutan jangka panjang tersebut masih berstatus “belum”. Hanya reformasi DPR, reformasi perpajakan, serta pembahasan RUU Perampasan Aset yang tercatat sudah memasuki tahap “proses”.
Sebagai informasi tambahan, aksi seruan 17+8 tuntutan rakyat juga mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk diaspora Indonesia di Sydney, Australia, yang turut menyuarakan aspirasi yang sama.
Ringkasan
Seminggu setelah aksi massa gerakan 17+8, masyarakat sipil terus mengawasi realisasi tuntutan mereka. Dari 17 tuntutan jangka pendek yang diharapkan terpenuhi paling lambat 5 September 2025, baru tiga yang menunjukkan kemajuan di tingkat DPR, yaitu terkait pembekuan gaji anggota DPR, publikasi anggaran, dan dorongan pemeriksaan anggota bermasalah.
Sebagian tuntutan lain masih dalam proses, seperti pembentukan tim investigasi kasus tewasnya demonstran oleh Presiden, penindakan kader bermasalah oleh partai politik, dan komitmen TNI untuk tidak memasuki ranah sipil. Sementara itu, sebagian besar tuntutan lain, termasuk penarikan TNI dari pengamanan sipil dan pembebasan demonstran yang ditahan, masih belum dijalankan. Delapan tuntutan jangka panjang hingga 31 Agustus 2026 juga sebagian besar masih berstatus “belum” atau dalam “proses”.








