Amnesty International Indonesia mendesak pembebasan Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, serta sejumlah aktivis dan mahasiswa yang ditangkap terkait demonstrasi di Jakarta. Desakan ini muncul seiring dengan kekhawatiran atas penanganan demonstrasi yang berujung pada jatuhnya korban jiwa.
Organisasi pembela hak asasi manusia ini menyoroti penangkapan Delpedro Marhaen, aktivis Gejayan Memanggil Syahdan Husein, mahasiswa Universitas Riau (Unri) Khariq Anhar, dan beberapa aktivis lainnya. Total enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penghasutan dalam aksi unjuk rasa.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan keprihatinannya atas bertambahnya korban jiwa dalam demonstrasi di berbagai kota, yang hingga kini mencapai 10 orang. Ia juga menyayangkan penangkapan sejumlah individu, termasuk Delpedro Marhaen beserta dua pendamping hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
“Kami menyesalkan jatuhnya korban jiwa saat unjuk rasa pekan lalu, serta penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar di Banten, Syahdan Husein di Bali, dan dua pendamping hukum YLBHI di Manado dan Samarinda,” tegas Usman Hamid melalui keterangan tertulis pada Selasa, 2 September 2025.
Usman Hamid menekankan pentingnya pendekatan yang demokratis, persuasif, dan dialogis dalam menghadapi pengunjuk rasa. Menurutnya, ancaman pidana justru dapat memperburuk gesekan antara aparat kepolisian dan masyarakat yang menyampaikan kritik.
“Mereka berhak berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum. Itu adalah hak asasi manusia. Kami mendesak Polri untuk membebaskan Delpedro, Syahdan, dan ratusan pengunjuk rasa lainnya yang ditangkap hanya karena bersuara kritis sejak 25 Agustus,” lanjutnya.
Sementara itu, Polda Metro Jaya telah menetapkan Delpedro Marhaen dan lima orang lainnya sebagai tersangka tindak pidana penghasutan. Mereka diduga telah menghasut pelajar, termasuk anak di bawah umur, untuk melakukan tindakan anarkis selama demonstrasi.
Selain Delpedro Marhaen, tersangka lainnya adalah Muzaffar Salim (staf Lokataru), Syahdan Husein (aktivis Gejayan Memanggil), Khariq Anhar (mahasiswa Unri), serta dua orang berinisial RAP dan FL.
Penyelidikan terhadap keenam tersangka ini, menurut polisi, telah dilakukan sejak 25 Agustus 2025 berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/A/76/VIII/2025/SPKT.DITKRIMUM/POLDA METRO JAYA. Mereka diduga melakukan tindak pidana di beberapa lokasi, termasuk di depan Gedung MPR/DPR, di sekitar Gelora Tanah Abang, dan wilayah lainnya di Jakarta.
Polisi mengklaim menemukan bukti berupa ajakan demonstrasi yang diunggah oleh para tersangka melalui media sosial, yang menyasar pelajar untuk ikut serta dalam aksi unjuk rasa. Ajakan tersebut diunggah melalui akun-akun seperti @gejayanmemanggil, @aliansimahasiswapenggugat, @blokpolitikpelajar, hingga @lokataru_foundation.
Salah satu unggahan yang dijadikan barang bukti adalah milik akun @lokataru_foundation, yang berisi informasi tentang posko pengaduan bagi pelajar yang ingin mengikuti demonstrasi pada 28 Agustus 2025.
Dalam foto tersebut tertulis, “Anda pelajar? Ingin demo? Sudah demo? Diancam sanksi? Atau sudah disanksi? Kita lawan bareng! #jangantakut”. Unggahan tersebut juga menyertakan nomor hotline yang dapat dihubungi oleh pelajar yang mengalami sanksi akibat berunjuk rasa.
Polda Metro Jaya menilai unggahan-unggahan tersebut sebagai bentuk hasutan. “Ada akun-akun yang mencoba memberikan semangat bahwa anak-anak ini boleh datang ke lapangan, boleh melakukan demo dan akan dilindungi,” jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi.
Lebih lanjut, polisi juga menemukan informasi mengenai tata cara pembuatan bom Molotov yang disebarkan melalui grup-grup WhatsApp. Informasi ini diduga disebarkan oleh tersangka berinisial RAP.
Akibat perbuatannya, Delpedro dan lima tersangka lainnya dijerat dengan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 45A ayat 3 juncto Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Kasus ini menjadi sorotan karena menimbulkan indikasi potensi pelanggaran HAM dalam penanganan demonstrasi, khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi dan hak untuk menyampaikan pendapat. Hal ini diperkuat dengan adanya dugaan penangkapan sewenang-wenang dan penggunaan pasal karet dalam UU ITE.
Ringkasan
Amnesty International Indonesia mendesak pembebasan Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, serta aktivis Syahdan Husein dan mahasiswa Khariq Anhar, yang ditangkap terkait demonstrasi di Jakarta. Desakan ini muncul seiring kekhawatiran atas jatuhnya korban jiwa dalam demonstrasi dan penangkapan para aktivis tersebut. Total enam orang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penghasutan dalam aksi unjuk rasa.
Polda Metro Jaya menetapkan Delpedro dan lima orang lainnya sebagai tersangka dengan tuduhan menghasut pelajar untuk melakukan tindakan anarkis selama demonstrasi, berdasarkan unggahan di media sosial. Mereka dijerat dengan Pasal 160 KUHP, Pasal 45A ayat 3 juncto Pasal 28 ayat 3 UU ITE, dan Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Perlindungan Anak. Amnesty International menyoroti pentingnya pendekatan demokratis dan dialogis dalam menghadapi pengunjuk rasa serta menekankan hak asasi manusia untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat.








