News Stream Pro, Jakarta – Polemik izin tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali mencuat. Dosen Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mendesak pemerintah untuk segera membatalkan seluruh izin pertambangan di kawasan yang terkenal dengan keindahan alamnya tersebut. Menurut Fahmy, aktivitas pertambangan, bahkan dengan reklamasi sekalipun, akan merusak geopark Raja Ampat yang merupakan aset wisata berharga.
Fahmy Radhi menyampaikan keprihatinannya melalui keterangan tertulis pada hari Minggu, 8 Juni 2025. Ia menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menghentikan total aktivitas pertambangan di Raja Ampat secara permanen. “Jangan ada lagi izin penambangan selamanya,” tegasnya, menyayangkan penghentian operasi sementara yang dilakukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia terhadap PT Gag Nikel, karena dinilai tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Lebih jauh, Fahmy Radhi mendorong Kejaksaan Agung untuk melakukan investigasi mendalam terkait persoalan ini. Ia menduga adanya praktik kolusi antara pemerintah pusat dan pengusaha tambang yang memuluskan penerbitan izin penambangan di Raja Ampat. “Kalau terbukti, siapapun harus ditindak secara hukum,” tandasnya, menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan adanya lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kelima perusahaan tersebut adalah PT Gag Nikel (anak perusahaan PT Antam Tbk), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KWS), dan PT Nurham. IUP milik PT Gag Nikel dan PT ASP diterbitkan oleh pemerintah pusat, sementara IUP tiga perusahaan lainnya diterbitkan oleh pemerintah daerah.
Tahun sebelumnya, Greenpeace menemukan aktivitas tambang yang meresahkan di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ironisnya, ketiga pulau tersebut termasuk dalam kategori pulau kecil yang seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Analisis yang dilakukan oleh Greenpeace mengungkap dampak kerusakan yang signifikan akibat aktivitas tambang di ketiga pulau tersebut. Lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami telah hancur. Dokumentasi di lapangan juga memperlihatkan limpasan tanah yang mencemari pesisir, menyebabkan sedimentasi yang membahayakan terumbu karang dan ekosistem laut yang rapuh. “Wilayah Raja Ampat akan rusak bila aktivitas tambang terus dibiarkan,” tegas Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Global untuk Indonesia, Kiki Taufik, menekankan ancaman nyata terhadap kelestarian Raja Ampat.
Senada dengan kekhawatiran tersebut, Peneliti pada Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah, mempertanyakan dasar penerbitan IUP di Raja Ampat. Ia menduga adanya indikasi korupsi dalam penerbitan izin usaha tambang nikel tersebut, mengingat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 telah secara jelas melarang aktivitas tambang di pulau kecil.
“Tetapi izin pertambangan tetap keluar. Itu artinya ada kongkalikong antara otoritas pemberi izin, dalam hal ini pemerintah, dengan perusahaan tambang. Ini juga menjadi penting untuk disasar ada apa dengan izin-izin yang keluar,” ungkap Herdiansyah kepada Tempo pada hari Sabtu, 7 Juni 2025. Pernyataan ini menggarisbawahi perlunya investigasi mendalam untuk mengungkap potensi penyalahgunaan wewenang dalam proses perizinan tambang.
Di tengah isu lingkungan yang semakin mendesak, industri furnitur lokal juga menghadapi tantangan tersendiri, yaitu ketergantungan pada impor untuk sebagian bahan baku. Hal ini menjadi perhatian khusus karena berpotensi menghambat pertumbuhan industri dalam negeri dan menciptakan kerentanan terhadap fluktuasi harga global.
Nandito Putra dan Eka Yudha berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Ringkasan
Dosen UGM, Fahmy Radhi, mendesak pemerintah untuk menutup permanen seluruh izin tambang di Raja Ampat, khawatir aktivitas pertambangan akan merusak geopark dan aset wisata. Ia menyayangkan penghentian operasi sementara PT Gag Nikel dan mendorong Kejaksaan Agung untuk investigasi dugaan kolusi penerbitan izin tambang. Data Kementerian ESDM menunjukkan ada lima IUP yang diterbitkan di Raja Ampat, termasuk milik PT Gag Nikel.
Greenpeace menemukan aktivitas tambang meresahkan di pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi UU, menyebabkan kerusakan hutan dan pencemaran pesisir. Peneliti dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah, menduga adanya indikasi korupsi dalam penerbitan IUP karena melanggar UU dan Putusan MK yang melarang tambang di pulau kecil. Isu ini menyoroti perlunya investigasi mendalam untuk mengungkap potensi penyalahgunaan wewenang dalam proses perizinan.








