Pemerintah Indonesia melaporkan bahwa sebanyak 60 perguruan tinggi (PT) di tiga provinsi Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), terdampak bencana banjir dan tanah longsor. Data ini diungkapkan oleh Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendikti Saintek), Fauzan, dalam Rapat Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disiarkan secara daring pada Senin, 8 Desember 2025.
“Kami juga melakukan pemetaan, teridentifikasi ada 60 perguruan tinggi terdampak bencana banjir dan longsor,” kata Fauzan, mengutip dari akun YouTube Tv Parlemen pada tanggal yang sama. Perincian dampak menunjukkan bahwa di Aceh, sebanyak 31 perguruan tinggi mengalami kerusakan, terdiri dari empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 27 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Sementara itu, Sumatera Utara mencatat 14 perguruan tinggi terdampak (satu PTN dan 13 PTS), dan Sumatera Barat melaporkan 15 perguruan tinggi terdampak (sembilan PTN dan enam PTS).
Situasi darurat ini mengingatkan pada peringatan sebelumnya dari pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) mengenai potensi hujan intens yang dapat memicu bencana longsor dan banjir di berbagai wilayah lain. Pakar UGM bahkan telah menyebutkan bahwa daerah seperti Jawa hingga Papua Bagian Selatan masuk dalam zona siaga longsor dan banjir, menandakan bahwa ancaman hidrometeorologi serupa bisa terjadi di skala yang lebih luas.
Fauzan turut memaparkan data komparatif mengenai kondisi perguruan tinggi di wilayah terdampak. Di Aceh, dari total 209 perguruan tinggi, 9.832 dosen, dan 134.713 mahasiswa, tercatat 31 perguruan tinggi terdampak, melibatkan 1.183 dosen, dan 15.801 mahasiswa. Untuk Sumatera Utara, dari 517 perguruan tinggi, 17.841 dosen, dan 290.812 mahasiswa, sebanyak 14 perguruan tinggi terdampak, dengan 20 dosen dan 2.408 mahasiswa yang turut merasakan dampaknya. Sementara di Sumatera Barat, dari 186 perguruan tinggi, 9.844 dosen, dan 160.379 mahasiswa, ada 15 perguruan tinggi terdampak, meliputi 103 dosen dan 615 mahasiswa.
Dalam penanggulangan dampak, pemerintah telah mengidentifikasi berbagai kebutuhan mendesak bagi para korban. Kebutuhan tersebut meliputi sembako, logistik, air bersih, perlengkapan sanitasi, pakaian, dana, obat-obatan, serta bantuan psikososial untuk mendukung pemulihan mental dan emosional.
Selain itu, pemerintah juga mendata kerusakan serius pada sarana dan prasarana pendidikan. Kerusakan ini mencakup fasilitas pembelajaran di kelas seperti komputer dan laptop yang rusak, bangunan, gedung, dan ruangan yang rapuh bahkan ambruk. Tak hanya itu, pasokan listrik dan jaringan internet terputus, akses jalan tertutup akibat ambruk dan longsor, serta fasilitas penunjang lainnya seperti laboratorium dan lapangan juga ambruk dan tidak dapat digunakan.
Menanggapi dampak yang meluas terhadap mahasiswa, beberapa institusi pendidikan telah mulai mencari solusi. Contohnya, Universitas Gadjah Mada (UGM) membuka peluang penyesuaian Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa yang berasal dari wilayah terdampak banjir di Aceh dan Sumatera, menunjukkan langkah konkret untuk meringankan beban ekonomi para mahasiswa.
“Ini adalah kondisi identifikasi yang selama ini kita lakukan dalam skema tahap penanggulangan darurat,” pungkas Fauzan, menegaskan fokus pemerintah pada respons cepat dan efektif dalam menghadapi bencana ini.








