News Stream Pro – , Jakarta – Hilirisasi nikel yang dicanangkan pemerintah sebagai program prioritas menuai sorotan. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kebijakan ini meningkatkan risiko eksploitasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang sebagian besar kaya akan kandungan nikel.
Mengacu pada data U.S. Geological Survey (2025), Susan memaparkan bahwa produksi nikel Indonesia dari tahun 2019 hingga 2024 mencapai sekitar 8,38 juta ton. Lebih jauh lagi, sejak 2022 hingga 2024, Indonesia berkontribusi 50% terhadap total produksi nikel dunia. Ironisnya, menurut Susan, masifnya aktivitas pertambangan nikel ini seringkali mengabaikan perlindungan terhadap nelayan tradisional dan kelestarian ekosistem pesisir. Hal ini disampaikan Susan dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 20 Juni 2025.
Ekspansi tambang nikel di wilayah pesisir, lanjut Susan, kerap kali memicu serangkaian dampak negatif. Pencemaran sungai, perubahan warna air laut, penurunan hasil tangkapan ikan, hingga hilangnya akses masyarakat terhadap ruang hidup menjadi konsekuensi yang harus ditanggung. Lebih memprihatinkan lagi, Susan menyoroti adanya kriminalisasi terhadap warga yang menolak kehadiran perusahaan tambang.
Padahal, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara tegas melarang aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. Larangan ini tertuang jelas dalam Pasal 35 huruf (k). Namun, implementasi aturan ini dinilai masih lemah dan kerap dilanggar. Susan mencontohkan aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, sebagai bukti nyata lemahnya penegakan hukum.
Selain itu, laporan Nexus3 Foundation mengungkap dampak negatif pertambangan dan industri nikel di Teluk Weda, Maluku Utara. Laporan tersebut menunjukkan bahwa sedimen sungai Ake Jira dan Ake Sagea telah tercemar berat, dengan kadar kromium yang berpotensi membahayakan kehidupan akuatik. Bahkan, ikan-ikan di wilayah tersebut ditemukan mengandung arsenik dan merkuri, dengan kadar arsenik yang meningkat hingga 20 kali lipat dibandingkan tahun 2007.
Temuan-temuan ini seharusnya menjadi dasar evaluasi bagi pemerintah terhadap izin usaha pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. Sebab, masyarakat lokal serta flora dan fauna di sekitarnya menjadi korban utama dari aktivitas pertambangan yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah perlu bertindak tegas untuk menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Pilihan Editor: Alih-alih fokus pada dampak negatif pertambangan nikel, mungkin Anda juga tertarik mengetahui penyebab Garuda Indonesia terus merugi.
Ringkasan
Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, menyoroti risiko eksploitasi wilayah pesisir akibat hilirisasi nikel yang masif di Indonesia. Produksi nikel yang tinggi, yang mana Indonesia menyumbang 50% produksi dunia, seringkali mengabaikan perlindungan nelayan dan ekosistem pesisir, mengakibatkan pencemaran, penurunan hasil tangkapan, dan hilangnya akses masyarakat terhadap ruang hidup.
Undang-Undang yang melarang pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil kerap dilanggar, seperti yang terjadi di Pulau Wawonii. Laporan Nexus3 Foundation juga mengungkap pencemaran berat sedimen sungai dan kandungan arsenik serta merkuri pada ikan di Teluk Weda akibat aktivitas pertambangan nikel, menuntut evaluasi izin usaha pertambangan dan tindakan tegas pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan.









